Senin, 11 April 2011

Menikmati Harmoni Desa Penglipuran


Beginilah suasana Desa Adat Penglipuran, Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli, merupakan salah satu obyek wisata alam pedesaan andalan Bali, akhir Februari. Desa ini memiliki keunikan, seperti keseragaman angkul-angkul (pintu masuk pekarangan rumah).

Ayu Sulistyowati

Bangli, satu-satunya dari sembilan kabupaten/kota di Pulau Bali yang tak memiliki kemolekan pantai laksana Kuta. Meski begitu, rugi rasanya jika berwisata ke Bali tanpa singgah di kabupaten ini. Panorama dan budaya unik seperti Desa Adat Penglipuran adalah daya tarik tersendiri.

Lokasinya pun mudah, tak jauh dari kesejukan Kintamani dan Istana Tampaksiring serta Tirta Empul (Kabupaten Gianyar). Desa ini terletak di Kelurahan Kubu, Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli, sekitar 45 kilometer dari Kota Denpasar.

Begitu memasuki areal desa tersebut, mata sudah pasti akan bertemu arsitektur rumah yang hampir semuanya mirip.

Kemiripan bangunan rumah itu antara lain bentuk gerbang yang sama dengan sedikit atap dari bambu, pintu pun hanya selebar orang dewasa berkacak pinggang dengan tinggi sekitar dua setengah meter yang biasa disebut angkul-angkul, dan cat rumah menggunakan dari tanah, bukan cat tembok. Itu keunikan awal perjumpaan….

Kesamaan lainnya juga terdapat pada pembagian bangunan di dalam rumah, seperti bale, kamar, dan dapur. Hampir semuanya juga menggunakan bahan baku bambu.

Kepala Desa Adat Penglipuran I Wayan Supat (44) mengatakan, keseragaman bangunan baik bentuk dan bahannya itu semata-mata membina kebersamaan. Selain itu, mereka berharap bisa terus bersahabat dengan alam sehingga mampu ramah dengan lingkungan. Keramahan lingkungan itu pun menjadikan desa mendapat penghargaan Kalpataru.

Hanya saja, ia mengakui beberapa warganya mulai menggeser sebagian bangunannya dengan material batu bata dari asalnya bambu.

”Kami memang berupaya mempertahankan warisan leluhur. Namun, kami juga tak kuasa membendung modernisasi. Akhirnya, kami merelakan jika warga meminta izin membangun beberapa bagian rumahnya dengan bahan baku lain selain bambu. Toh, bangunan inti dan bentuk bangunan tetap tak berubah,” jelas Supat.

Namun, jangan khawatir. Harmoni yang terbangun di desa itu tak mengurangi keindahan alam yang ada. Dengan tiket wisatawan lokal Rp 7.500 per orang dan wisatawan asing Rp 10.000 per orang, kepuasan panorama indah dan keramahan masyarakatnya jadi nilai tambah siapa pun yang berkunjung ke sana. Sejak menjadi obyek wisata unggulan Pulau Dewata, setiap hari tercatat sekitar 100 wisatawan mengunjungi desa itu.

Sejak 1995, Pemerintah Provinsi Bali dan Kabupaten Bangli menetapkan desa ini menjadi salah satu obyek wisata unggulan Pulau Dewata.

Desa ini memiliki panorama, kesejukan, kenyamanan, keheningan, kedamaian, dan keunikan dengan bentuk atau arsitektur bangunan berbeda serta kerapian zonasi desanya. Tak kalah menarik, warganya pun sadar lingkungan serta berswasembada air dengan manajemen mirip dengan perusahaan daerah air minum.

Daya tarik yang kuat dari Desa Adat Penglipuran ini masih berupaya mempertahankan zonasi hunian yang mirip pembagian tubuh manusia. Zona ini terbagi tiga bagian, yaitu zona parahyangan (hulu/kepala), zona pawongan (badan), dan zona palemahan (kaki). Zona parahyangan merupakan daerah suci dan paling tinggi dibandingkan zona lainnya dengan ketinggian sekitar 700 meter dari permukaan laut dan merupakan wilayah sembahyang bersama bernama Pura Penataran.

Menuruni beberapa anak tangga dari Pura Penataran, pengunjung memasuki zona pawongan, yang terdiri atas rumah tinggal di bagian barat (kauh) dan timur (kangin).

Kedua bagian kauh dan kangin dipisahkan oleh rurung gede yang berupa jalan sekitar tiga meter yang membujur dari utara menurun ke selatan.

Pada wilayah pawongan dihuni 226 kepala keluarga. Penduduknya rata-rata bermata pencarian petani, peternak, dan perajin bambu. Nenek moyang mereka mengajarkan agar ramah lingkungan.

Karena itu, luas tanah tinggal 112 hektar itu hampir 40 persennya adalah hutan bambu. Bahkan, menebang bambu pun tak bisa sembarangan tebang. Harus izin dan mendapat izin dari pemangku adat setempat.

Menghormati perempuan

Budayawan Katut Sumarta, mengatakan, kekhasan keturunan Bali Aga di antaranya adalah sangat memuja dan menghormati perempuan, selain menjunjung tinggi keharmonisan alam, manusia, dan Tuhan (konsep Tri Hita Karana). Wujud hormat kepada perempuan itu dituangkan ke dalam awig-awig (semacam kesepakatan bersama dan biasanya berkaitan dengan pelanggaran), termasuk di Desa Penglipuran.

”Mereka pun sangat menjaga itu sampai sekarang. Belum ada warga yang berani mengubah awig-awig itu. Bahkan, hampir tidak ada catatan warga yang melanggarnya,” kata Sumarta.

Dalam awig-awig, siapa pun laki-laki di desa itu hanya diizinkan menikah dengan satu perempuan. Tidak dibenarkan adanya poligami. Jika laki-laki itu ketahuan melakukan poligami atas sepengetahuan istri pertama atau tidak, ia tetap harus mendapatkan hukuman. Hukuman yang dijatuhkan adalah dikucilkan.

Ya laki-laki itu tak boleh tinggal serumah dengan istri pertamanya selamanya. Parahnya, ia juga tak boleh menginjakkan kaki dan bersembahyang di pura. Intinya, ia dikucilkan baik batin maupun secara sosial. Wah....

Di Desa Penglipuran, tempat pengucilan itu pun dinamai Karang Memadu. Luas tanahnya hanya sepetak. Sejarah ratusan tahun lalu hingga sekarang, Karang Memadu belum pernah ditempati sehingga masih berupa tanah tanpa bangunan.

Sekitar 1994, warga sempat terpikir untuk mengubahnya, tetapi batal. Sepertinya, kaum lelaki tak ada yang berani melanggar dan mengubah awig- awig!

Selain dilarang menduakan istri, warga juga enggan melakukan kesalahan lainnya, seperti mencuri. Jika ketahuan melakukan kejahatan, hukumannya juga berat karena harus memberikan sesaji sedikitnya lima ekor ayam berbagai warna ke masing-masing empat pura leluhur mereka. Jadi, pasti semua warga akan tahu siapa yang melakukan kejahatan dengan adanya upacara itu. Malu!

Sementara zona palemahan adalah zona untuk setra atau orang yang sudah meninggal. Karena secara budaya, warga Hindu Bali di Penglipuran tidak menganut budaya Ngaben. Jenazah hanya dikubur tanpa di- bakar. Alasannya, pembakaran bisa menjadikan pencemaran untuk lingkungan.

Satu lagi yang khas dari desa adat ini, minuman asli loloh cemceman! Rasanya seperti air tape atau es rujak di Pulau Jawa. Namun, warnanya kehijauan karena berasal dari daun cemceman yang diperas, di beri air kelapa serta garam, dan direbus.

Begitulah harmoni Desa Adat Penglipuran terbangun. Mereka berupaya tetap menjaga keasrian adat-istiadat secara turun-temurun. Mereka pun menyadari kekuatan alam lebih dari apa pun.

Jadi hendaknya menjaga alam dengan keseimbangan. Maka tak ada salah pula jika Penglipuran menjadi alternatif pelipur lara dalam berwisata di Pulau Dewata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar