Senin, 11 April 2011

Berita Pertanian : Industri Pupuk Skala Kecil Mati

Yogyakarta. Rencana PT Pupuk Sriwidjaja—selaku induk perusahaan pupuk badan usaha milik negara—memaksakan penggunaan pupuk majemuk merek Phonska berpotensi mematikan industri pupuk di sentra-sentra produksi pangan. Selain merugikan petani, hal itu juga bertentangan dengan pemerataan pembangunan ekonomi.

Menteri Badan Usaha Milik Negara Mustafa Abubakar, Minggu (10/4), saat dihubungi di Jakarta, mengatakan, terlalu menyederhanakan masalah apabila BUMN pupuk menstandardisasi pupuk nitrogen, fosfat, dan kalium (NPK) atau pupuk majemuk dalam satu komposisi. Hal itu tidak sesuai dengan karakteristik pertanian di Indonesia.

Mustafa mengungkapkan, semangat awal pengembangan dan pembentukan induk perusahaan pupuk BUMN adalah agar industri pupuk mampu menjalankan peran komersialisasi, di samping pelayanan publik melalui pupuk bersubsidi.

Sasarannya adalah sektor perkebunan. Hal itu karena peluang peningkatan penjualan pupuk ke sektor perkebunan besar, seperti tebu dan kelapa sawit, untuk mendukung peningkatan produksi. Apalagi, aspek komersial industri pupuk baru berjalan 51 persen dari potensi yang ada. ”Dengan komersialisasi, industri pupuk BUMN akan berkembang,” katanya.

Mahal

Agus Pakpahan, mantan Deputi Agroindustri, Kehutanan, Kertas, Percetakan dan Penerbitan Kementerian BUMN, mengatakan, dengan situasi negara seperti sekarang, pemaksaan standardisasi NPK mengikuti satu standar dan menggunakan teknologi granula, biayanya akan mahal. Kondisi yang tidak mendukung adalah ekonomi tidak pasti, keuangan negara yang terbatas, tuntutan untuk menyelamatkan bumi dari perubahan iklim yang mendesak, partisipasi petani, serta tuntutan perubahan dalam budidaya pertanian.

SElain itu, standarisasi itu bergantung pada teknologi asing, tidak berdampak pada ekonomi regional atau lokal, tidak fleksibel, dan hanya akan menguntungkan segelintir kelompok orang atau pengusaha, tetapi merugikan petani.

Kebijakan PT Pusri itu menunjukkan mereka tidak peka akan kepentingan lokal, kepentingan lingkungan hidup, dan tidak melihat kepentingan masa depan yang menggantungkan bahan baku fosfat dan kalium impor. Padahal, kebutuhan kalium dapat dipenuhi dari bahan baku di dalam negeri.

Agus mengungkapkan, gagasan awal pengalihan penggunaan pupuk tunggal ke NPK atau majemuk untuk menekan penggunaan urea. Apabila terealisasi akan ada penghematan urea 2 juta ton per tahun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar