Rabu, 21 Desember 2011

Stop Alih Fungsi Lahan dengan UU 41 Tahun 2009

Alih fungsi lahan yang begitu dahsyat baik untuk perumahan, perkantoran maupun gudang menjadikan kondisi pertanian di tanah air semakin mengkhawatirkan. Produksi semakin menurun. Dan, itu diperparah lagi dengan laju pertumbuhan penduduk yang sangat tinggi sekitar 1,3% per tahun mengakibatkan kebutuhan orang akan beras/nasi kian besar.

Kondisi tersebut membuat pemerintah panik apalagi krisis pangan mengancam dunia. Dan, salah satu langkah yang dianggap manjur untuk mengatasi masalah tersebut adalah melahirkan Undang-Undang No 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan atau PLP2B.

Secara nasional, pola konversi lahan sawah di Pulau Jawa untuk property berkisar 58,7%, sawah menjadi lahan pertanian lainnya seperti perkebunan kelapa sawit, kakao, kopi, karet dan lain lain sebagainya berkisar 21,8% dan sawah menjadi non perumahan berkisar 19,5%.

Sementara pola konversi yang terjadi di luar Pulau Jawa untuk perumahan berkisar 16,1%, pertanian lainnya 48,6% dan non perumahan berkisar 35,3%. “Itulah yang terjadi dengan lahan sawah kita saat ini dan angka itu akan semakin membesar bila tidak segera dicegah. Dan, UU No 41 inilah yang akan mencegahnya,” ujar Kasubid Pengendalian Lahan Direktorat Jenderal (Ditjend) Prasarana dan Sarana Kementerian Pertanian Tangkas Panjaitan kepada MedanBisnis, saat melakukan kunjungan ke Dinas Pertanian Sumut, Jalan AH Nasution Medan, Jumat pekan lalu.

Didampingi Kasie Lahan dan Perluasan Areal Dinas Pertanian Sumut Adelina Hanum, Tangkas mengatakan, Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan atau PLP2B adalah sistem dan proses dalam merencanakan dan menetapkan, mengembangkan, memanfaatkan dan membina, mengendalikan dan mengawasi lahan pertanian pangan dan kawasannya secara berkelanjutan.

Dengan kata lain UU itulah nantinya yang melindungi lahan-lahan pertanian yang ditetapkan masing-masing daerah sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan dalam rangka ketahanan dan kedaulatan pangan nasional sekaligus merencanakannya sebagai bagian dari penyusunan rencana tata ruang tata wilayah (RTRW) nasional, propinsi dan kabupaten/kota. “UU No 41 ini juga sesuai dengan amanat UU No 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang,” jelas Tangkas.

Terkait dengan UU No 26 itu, Poppy Boru Hutagalung selaku Kasubid Tata Ruang Bappeda Sumut mengatakan, dalam rencananya tata ruang tersebut dibagi menjadi pola ruang dan struktur ruang. Dan, berdasarkan fungsinya struktur ruang ada yang disebut dengan kawasan lindung dan kawasan budidaya.

“Nah, di kawasan budidaya inilah ditentukan semua lahan-lahan yang bisa dipakai untuk dibudidayakan termasuk untuk pertanian, apakah itu untuk pertanian tanaman pangan ataupun untuk hortikultura. Dan, itu ditentukan oleh masing-masing daerah lewat Peraturan Daerah (Perda) rencana tata ruang dan tata wilayah (RTRW) yang mereka susun,” paparnya.

Jadi mekanismenya lanjut Poppy, kabupaten/kota mengusulkan dimana akan diletakkan lahan pertanian itu. Karena merekalah yang mengetahui potensi lahannya sesuai dengan tekstur tanahnya serta keberadaan atau kondisi jaringan irgasinya. Setelah ini ada maka disampaikan ke propinsi untuk selanjutnya ditetapkan dalam tata ruang bahwa daerah yang ditetapkan itu tidak boleh dirubah peruntukannya. Tetapi untuk menguatkan itu, daerah harus membuat perdanya.

Dengan begitu, lahan-lahan pertanian yang ditetapkan itu akan menjadi lahan pertanian yang dilindungi peruntukannya. “Intinya, setelah daerah menetapkan lahan pertaniannya maka lahan pertanian itu tidak boleh lagi diganggu gugat hingga 20 tahun ke depan dengan catatan peninjauan dilakukan sekali lima tahun,” jelas Poppy.

1 komentar: