Beberapa jenis buah memiliki musim sendiri, yang suatu saat ada kalanya tidak bisa dinikmati. Namun, di Dusun Kandangan, Desa Kedondong, Kecamatan Kebonsari, Madiun, segala macam buah bisa dinikmati tanpa melihat musimnya.
Semua itu berkat ide kreatif Lambang Wijayanto (35), dengan mengeringkan berbagai jenis buah-buahan agar bisa dikonsumsi setiap saat. Warga RT 30, RW 10 ini, terinspirasi setelah melihat melimpahnya buah nangka pada setiap musim buah ini.Ia mulai memproduksi keripik buah sekitar tahun 2000 silam. Dengan berjalannya waktu, kini Lambang tidak hanya membuat keripik nangka saja. Tetapi juga memroduksi keripik dari berbagai jenis buah lainnya, seperti keripik pisang, salak, nanas, apel, semangka, melon, mangga, bahkan durian.
“Awalnya, memang saya menggeluti usaha ini karena melimpahnya buah nangka di sekitar sini, setiap masim nangka. Lama kelamaan, justru semakin berkembang. Pasalnya, dari hasil produksi keripik buah ini, orang tidak perlu kesulitan mencari buah jika tidak pada musimnya,” terang lulusan MIPA Universitas Brawijaya Malang pada 1999 ini, pekan lalu.
Lambang mengakui, usaha yang digelutinya ini seringkali mengalami kesulitan bahan baku, yaitu buah musiman yang dibutuhkan untuk setiap produksi. Buah nangka misalnya, terpaksa hanya produksi saat musim buah itu tiba. Seandainya tidak pada musimnya, ia mau tidak mau harus memroduksi buah lainnya.
“Untuk buah musiman ini, kami terkadang juga menyiasati dengan memroduksi keripik sebanyak-banyaknya lalu menimbunnya. Agar sampai musimnya datang, stok keripik buah musiman masih ada,” jelasnya.
Sejak menggeluti usaha ini, selama hampir 11 tahun terakhir, lelaki yang telah dikaruniai 4 orang anak itu, mampu memroduksi 1 hingga 2 ton keripik buah setiap bulannya. Hal itu, bergantung persediaan bahan baku buah-buahan yang dapat diperoleh dalam setiap produksi.
Keripik buah aneka jenis itu kemudian dikemas dengan aluminium foil berukuran 250 gr, yang ditawarkan antara Rp 8.500-10.000. Untuk memroduksi keripik buah itu, Lambang mempekerjakan sebanyak 30 karyawan. Mereka terbagi dalam karyawan yang digaji secara borongan, harian, dan bulanan.
“Untuk karyawan pengupas buah, biasanya kami gaji Rp 1.700 per jam, kalau operator mesin pengering buah kami gaji bulanan,” ungkap Enggar, salah seorang adik kandung Lambang, yang dipercaya mengurusi masalah karyawan dan keuangan di usaha keripik buah ini.
Menurut perempuan alumnus ITN Malang tahun 2004 ini, uang yang bergulir dalam usaha produksi keripik buah berkisar Rp 50 juta hingga Rp 60 juta per bulan. Namun, dana itu belum terhitung atas sejumlah pelanggan atau toko yang tagihannya seringkali tidak membayar tepat waktu. “Semua itu, termasuk kebutuhan untuk gaji karyawan, beli bahan baku, dan tagihan yang masuk dari para pelanggan,” jelasnya.
Untuk pemasarannya, Enggar menuturkan, produksi keripik buah ini telah merambah Karesidan Madiun, Karasidenan Kediri, Malang, dan Surabaya. Kemudian, merambah Solo, Jogjakarta, Semarang, juga pasar di Jakarta, Bandung, dan Bogor. Sementara untuk luar Jawa, ia memasarkan di Bali, Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan. “Ekspor ke luar negeri pernah kami lakukan, tetapi sekarang tidak berjalan lagi,” kata Enggar.
Menurut Lambang, ekspor ke Jerman dengan jumlah permintaan sebanyak 900 kilogram per bulan sekali kirim, terhenti karena adanya krisis global yang terjadi awal 2009. Padahal, potensi pasar negara itu sangat besar, ini dilihat dari permintaan rutin setiap bulannya.
“Sebenarnya saya sempat kecewa karena ekspansi ke luar negeri yang sudah saya rintis sejak 2007 lalu harus terhenti sejak terjadi krisis global. Jerman menghentikan permintaannya. Beruntung permintaan dalam negeri terus meningkat,” urai Lambang.
Guna melayani permintaan pelanggan dari berbagai daerah, selain di rumahnya sendiri, Lambang juga menyediakan sebuah outlet dan toko di Kota Ponorogo. Sebab, selain ada pelanggan perorangan, selama ini ada juga pelanggan dari toko oleh-oleh makanan khas dan pelanggan yang tergolong sebagai tengkulak. Mereka akan menjual produk keripik buahnya lagi.
Salah seorang karyawan usaha kripik buah ini, Marwanto (44) mengaku, mendapatkan gaji Rp 1 juta lebih per bulan. Hal itu cukup membantunya, setelah sebelumnya harus merantau ke Malaysia dan Hongkong. Sehari-hari, ia membantu proses pembersihan kulit dan pemotongan buah, kemudian menjalankan mesin pengering buah mulai dari memasukkan buah hingga mengentas setelah kering.
“Untuk buah yang kadar airnya rendah membutuhkan waktu selama 1 jam dalam mesin pengiring (oven). Sedangkan buah yang kadar airnya tinggi, seperti semangka dan melon butuh waktu selama 1,5 jam untuk proses pengeringannya,” jelas lekaki yang dipercaya Lambang untuk menjaga stabilitas produksi setiap hari ini.
Hal yang sama diungkapkan pekerja kupas buah lainnya, Ny Nuryati (48). Perempuan ini justru sudah bekerja selama 10 tahun terakhir. “Usaha lainnya masih tetap sebagai buruh tani. Hal itu saya lakukan saat musim buah belum datang,” ujar Nuryati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar