Jakarta. Ketua Harian Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Sutrisno Iwantono berharap pemerintah bertindak agresif melindungi petani pangan saat membuat perjanjian perdagangan bilateral karena sebagian besar petani pangan adalah petani kecil.

"Padahal produk pangan banyak dikelola oleh petani kecil," kata Sutrisno Iwantono yang dihubungi di Yogyakarta, Senin.

Iwantono yang berada di Yogyakarta dalam rangka pelantikan Dewan Pengurus Provinsi HKTI DIY oleh Ketua Umum DPN HKTI Oesman Sapta, mengatakan, neraca perdagangan produk pertanian Indonesia dengan negara lain memang seringkali positif namun untuk produk pangannya negatif.

Produk pertanian yang sering diekspor antara lain adalah produk perkebunan seperti minyak sawit mentah, karet, dan coklat yang banyak dikelola oleh perusahaan besar. Sementara itu neraca perdagangan produk pangan seperti jagung, kedelai, gula, beras, dan daging seringkali negatif.

"Lebih banyak impor daripada ekspor produk pangan," katanya.

Ia mengatakan untuk melindungi petani pangan maka pemerintah bisa menerapkan kuota dan tarif yang ketat terhadap impor produk pertanian.

Ia mengatakan produk pangan masuk dalam produk khusus yang perlu dilindungi sehingga pemerintah tidak perlu takut untuk menerapkan kuota dan tarif impor.

Dalam melakukan perjanjian bilateral, Iwantono juga mengingatkan agar pemerintah tidak terlalu menggebu-gebu meminta negara lain membuka akses pasarnya karena negara lain pun pasti meminta Indonesia membuka akses pasarnya, dan yang paling sering diminta adalah akses pasar pertanian Indonesia.

Jika Indonesia diminta membuka akses pasar produk pangan maka Indonesia harus menolaknya karena akan sangat memukul petani Indonesia.

Untuk melindungi petani dan peternak dalam jangka pendek, ia meminta pemerintah mengawasi impor ilegal produk pertanian seperti daging, gula, dan beras.

Harga produk ilegal tersebut, katanya, sangat memukul petani dan peternak.

Mengenai perdagangan yang merugikan petani atau peternakan Indonesia, Iwantono antara lain mengatakan impor daging sapi dari Australia dan Selandia Baru merugikan peternak di daerah Jatim, Jateng dan Jabar.

"Banyak peternak terpukul karena daging impor murah. Bahkan akibat murahnya, peternak Jatim demo ke Jakarta, dan memotong sapi betina yang mengakibatkan hilangnya bibit sapi dan mengganggu upaya peternak swasembada daging," katanya.

Selain itu, untuk meningkatkan daya saing peternak dalam negeri perlu diupayakan pengadaan bibit sapi murah dan baik. "Peternak mesti diberikan kredit murah dan pembenahan tataniaga, karena selama ini harga dikuasai pedagang perantara sehingga yang diuntungkan bukan peternak. Dengan berbagai langkah itu, peternak memiliki daya saing," katanya.

Petani tebu, katanya, tertekan dengan maraknya gula murah yang masuk pasar Indonesia. Gula impor lebih murah karena memperoleh subsidi besar dari pemerintahnya.(ant)