Sentra industri rumahan keripik tempe di Dusun Sadang, Desa Karangtengah Prandon, Kecamatan/Kabupaten Ngawi, merupakan kawasan pembuat camilan berbahan baku kedelai terbesar di wilayah Karesidenan Madiun. Meski awalnya, hanya sebagai kampung penghasil tempe sayur rumahan, seiring berjalannya waktu jumlah perajin keripik tempe ini kian tak terbendung.
Pengusaha keripik tempe yang mulai berkembang sejak 1985 ini diperkirakan telah mencapai 400 orang. Hampir setiap tahun, kondisinya terus bertambah. Bahkan, sekarang tidak hanya di Sadang, namun berkembang ke perkampungan sebelahnya, di Desa Ngawi Purba, Kecamatan/Kabupaten Ngawi.
Semakin berkembang dan kian banyak pesaing itulah, yang mendorong pasangan suami istri, Dani (32) dan Tri Rukmini (28), warga Dusun Jetis Baru, Kelurahan Ngawi Purba, Kecamatan/Kabupaten Ngawi, mulai berinovasi membuat keripik tempe dengan variasi rasa. Sejak dua tahun terakhir, produsen dengan merek ‘Dhimas’ ini memroduksi keripik tempe rasa barbeque, balado, dan keju.
“Persaingan usaha keripik tempe tidak hanya dari warga sekitar, tetapi juga dari wilayah lain, seperti Malang dan Trenggalek yang juga memiliki kampung industri keripik tempe. Inovasi keripik tempe tiga rasa itu kami lakukan setelah mencoba membuat keripik tempe bentuk bulat dan diterima pasar. Rata-rata pasar hanya menjual bentuk kotak atau lempeng,” terang Dani, pekan lalu.
Selama ini, ia mengaku belum berani memroduksi keripik tempe tiga rasa dan bentuk bulat dalam jumlah banyak. Untuk hasil inovasi itu, masih diproduksi sesuai pesanan distributor dan sales. Proses pembuatannya juga hampir sama dengan keripik tempe pada umumnya. Bedanya hanya pada penambahan rasa barbeque, keju, dan balado.
“Keripik varian rasa ini memang belum bisa diproduksi setiap hari. Namun, untuk keripik bulat sudah banyak yang mulai meniru di pasar,” urai Dani, yang memulai usaha ini sejak 2002 silam.
Kini, setelah melakukan berbagai inovasi dan bergelut hampir 10 tahun, produksinya kian hari semakin meningkat. Hampir setiap hari, tanpa mengenal libur, ia bersama 12 pekerjanya memroduksi antara 35-45 kilogram keripik tempe. Para pekerja itu memiliki tugas masing-masing, 2 orang membuat tempe, 3 orang pengiris, 3 orang penggoreng, serta 4 orang bagian pengemasan.
“Minimal, sepekan sekali kami mengirim satu mobil boks ke Lamongan sebagai pasar utamanya. Namun, pada saat liburan bisa mengirim hingga dua kali seminggu,” ungkap Dani, yang menjual kemasan produknya seharga Rp 2.500 per kemasan.
Meski demikian, produk keripik tempe ‘Dhimas’ ini juga dapat dinikmati pelanggan di wilayah Karesidenan Madiun, Jogjakarta, Solo, Surabaya, Malang, Lamongan, Bojonegoro, Tuban, Sidoarjo, dan Surabaya. Untuk menguasai pasar itu, Dani harus mampu bersaing dengan produk keripik Tempe Malang dan Jogjakarta, yang telah beredar di pasar lebih awal.
“Kalau kami tak mampu mempertahankan kualitas rasa dan tidak berinovasi, pasti sulit menembus pasa,” jelas mantan produsen kacang goreng dan kering ini.
Tidak hanya mengandalkan pembeli eceran dan hasil pengiriman langung, Dani selama ini juga mengandalkan jasa sejumlah sales dan distributor yang selalu memesan dalam jumlah besar. Meski dengan selisih harga cukup besar dan tanpa mencantumkan label miliknya, Dani tak pernah mempersoalkan. Alasannya, untuk kalangan pengusaha kecil seperti dirinya, yang lebih diutamakan adalah cash flow atau aliran uang tunai yang bisa segera diperolehnya.
“Wah, kalau nitip di toko-toko, bisa jadi saya gulung tikar. Barang belum habis uang tak bisa kembali, returnya pasti lebih banyak. Kalau ada sales dan permintaan permanen, dipastikan tak ada retur,” ungkap lulusan SMK Cepu ini.
Dani mencontohkan, hasil produksinya banyak diambil distributor Malang, Jogjakarta, dan Sidoarjo. Akan tetapi, selama ini, para distributor itu tidak pernah memasang atau menggunakan merek miliknya. Rata-rata mereka menggunakan labelnya sendiri-sendiri.
“Kalau orang Ngawi, pasti tau rasa keripik hasil buatan sini, meski dijual di kota lain atau labelnya diubah. Saya yakin, semua produsen di sini tak pernah mempersoalkan merek. Yang utama, pemasaran cepat dan bisa menghasilkan uang tunai,” tegas bapak 2 anak ini.
Terkecuali persoalan kenaikan bahan baku kedelai impor, Dani mengaku, ia tidak pernah merasakan kesulitan dalam menjalankan usahanya. Namun, ia berharap perhatian dan bantuan dari Pemkab Ngawi. Selama ini, proses produksi keripik tempe masih dilakukan secara manual, mengandalkan tenaga manusia dan peralatan tradisional seadanya.
“Nah, untuk mengajukan bantuan dan lain-lain harus ada SIUP dan NPWP, tetapi juga harus menggunakan jaminan, kan sama juga bohong. Artinya, saya mengajukan bantuan secara pribadi, disertai jaminan dan survei,” urai Dani.
Salah seorang pengusaha keripik tempe tertua, Kemis (50) mengungkapkan, pembuat keripik tempe di Sadang pertama kali dilakukan Pak Durrahman. Saat itu, ia membuat keripik tempe, ketika di Sadang para produsen tempe kelebihan bahan baku kedelai.
“Namun, dalam perkembanganya, usaha ini menjadi industri rumahan. Untuk memertahankan dan membesarkan usaha ini, ada yang menjadi anggota koperasi dan ada pula yang mengandalkan bantuan bank titil,” tandas pemilik Ika Keripik Tempe ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar