Tak hanya bisa menjadi pupuk kandang, kotoran sapi bisa diolah menjadi kerajinan yang menguntungkan. Syammahfuz Chazali membuktikannya. Mendapat ide ketika di kamar mandi, ia mengolah kotoran sapi menjadi bahan baku membuat keramik, gentong, bata, dan genteng. Pasar lokal dan luar negeri menyukainya.
Ide memang bisa muncul dari mana saja. Termasuk saat di kamar mandi. Itulah yang dialami Syammahfuz Chazali, pemilik merek Faerumnesia7G. Tahun 2006, saat ia di kamar mandi terlintas di benaknya: apakah kotoran manusia bisa bermanfaat bagi orang lain dan sekitarnya. Pertanyaan itu terus menghantuinya selama berhari-hari.
Agar memperoleh jawaban, Syam, panggilan akrab pria ini lantas berselancar di dunia maya. Syam yang kala itu baru berusia 22 tahun dan berstatus mahasiswa jurusan agribisnis di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta juga terus mencari jawaban lewat berbagai buku.
Jawaban itu sedikit terkuak ketika ia datang ke pameran yang diadakan Kementerian Lingkungan Hidup di Yogyakarta. Dengan mata kepala sendiri, ia melihat gas dari kotoran manusia bisa menjadi bahan bakar kompor dan bisa mendidihkan air.
Sepulang dari workshop itu, ia lantas mencoba mengolah tinja menjadi bahan bakar. Sayang, kegiatan itu hanya bertahan tiga bulan. "Ibu kos saya jijik," ujar Syam. Padahal, Syam bertekad menjadikan hasil sekresi tubuh manusia ini menjadi bahan bakar rumah tangga.
Meski aksi coba-coba itu terhenti, Syam masih menyimpan bara di benaknya. Ia bertekad mewujudkan mimpinya, mengolah kotoran menjadi sumber bahan bakar.
Keinginan itu semakin menguat kala seorang kawan menyemangati ide itu. Kawan ini yakin ada perumahan yang mau menggunakan bahan bakar dari tinja. "Tapi, sampai sekarang belum ada yang mau," ujarnya diselingi dengan tawa.
Kotoran manusia belum terwujud, Syam lalu mencoba dengan kotoran hewan. Suatu hari, ia melihat kawannya mengerjakan tugas orientasi studi dan pengenalan kampus (ospek). Tugasnya itu adalah membuat karya dari kotoran sapi. Salah seorang kawannya ini menjemur kotoran sapi di bawah sengatan matahari sampai keras. Dari situ, terbersit ide Syam untuk membuat keramik, genteng atau bata dari kotoran sapi.
Ide ini didukung pula oleh material di sekitar tempat tinggal Syam di Yogyakarta. Tak jauh dari tempat tinggal Syam, yakni di Godean, banyak peternak sapi. Limbah sapi oleh peternak selama ini hanya dipakai untuk pupuk kandang.
Berbeda dengan tanah liat, Syam yakin kotoran sapi lebih ramah lingkungan untuk membuat keramik, bata, dan genteng. "Kalau pakai tanah harus ambil dari sawah. Ini bisa merusak lingkungan," ujarnya.
Satu tahun Syam dan empat kawannya melakukan penelitian terhadap kotoran sapi. Syam ingin kotoran sapi tidak menimbulkan bau dan bisa liat seperti tanah dan mudah dibentuk sesuai dengan keinginan.
Tahun 2007, Syam dan kawan-kawannya menemukan hasil sesuai keinginan. Ia pun bergegas menjual hasil karyanya. Syam lantas menjalin kerjasama dengan seorang perajin di Kasongan yang bersedia menggunakan kotoran sapi sebagai bahan baku. Dalam jualan gentong, keramik, tak lupa ditulis kalau produk tersebut terbuat dari kotoran sapi.
Benar saja, banyak orang tertarik dengan produk tersebut. "Saya ingat, pembeli pertama membeli gentong," ujar Syam yang yakin bahwa keramik dari kotoran sapi ada pasarnya.
Ia pun lantas memproduksi keramik dan genteng secara masal di tahun 2008. Sejak saat itu, secara konsisten, pesanan datang. Tak hanya dari pasar lokal tapi juga luar negeri. "Produk yang kerap diminta yakni gentong dan lampu aladin," ujar Syam.
Mematok lampu aladin dengan harga Rp 250.000 per lampu dan gentong seharga Rp 100.000 hingga Rp 300.000 tergantung ukuran, pasar terbesar dari produk kerajinan Syam di Jakarta. "Dorce Gamalama dan Wulan Guritno pernah jadi pembeli saya," kata Syam yang pernah membuat gentong berukuran besar seharga Rp 600.000. Pasar ekspor datang dari Belanda yang meminta pot dalam ukuran kecil.
Dari sekian produk yang mampu dihasilkan Syam, permintaan terbesar adalah bata. Bulan ini saja, Syam dapat pesanan membuat 3.000 bata dari Jakarta. "Sebulan, omzet saya bisa Rp 100 juta," ujar Syam yang dapat order lebih besar di bulan berikutnya.
Syam ditampik bank, modal dari penghargaan
Tiada uang, Syammahfuz Chazali mengawali usahanya akhir 2007. Proposal pinjamannya ditolak bank. Modal dia peroleh dari berbagai penghargaan yang menghampirinya. Kini, setelah 3,5 tahun berlalu, pemuda ini bisa menghasilkan puluhan juta rupiah sebulan. Ia pun banyak dicari perusahaan luar negeri yang tertarik pada idenya.
Nama Faerumnesia 7G sengaja dipilih Syammahfuz Chazali sebagai bendera usaha. Farumnesia adalah akronim dari feses (kotoran), ruminansia (lambung sapi), dan Indonesia. Adapun, 7G singkatan dari 7 orang Gigabyte. “Artinya, karya Indonesia dari kotoran sapi. Tujuh orang terdiri dari lima mahasiswa dibantu dua dosen,” tutur Syam, panggilan karibnya.
Syam tak sendiri mendirikan Farumnesia 7G ini. Ia dibantu 4 kawan kampusnya serta dua dosen dari jurusan agribisnis dan jurusan tanah.
Bila bulan ini ia berkutat hanya memproduksi 3.000 bata, bulan depan, kapasitas produksinya meningkat 10 kali lipat. Ia harus membuat 30.000 bata seharga Rp 3.000 per buah. Alhasil, Syam pun bisa mengantongi omzet Rp 90.000.000, Juli nanti.
Selain sibuk memproduksi bata, Syam juga harus meladeni permintaan beberapa perusahaan dari dalam dan luar negeri. Perusahaan-perusahaan itu hendak mengadopsi ide pemanfaatan kotoran sapi.
Perusahaan-perusahaan di luar negeri itu, antara lain dari Kenya, India, Meksiko, Venezuela, Italia, Belanda, dan Amerika Serikat. “Yang paling berminat itu perusahaan dari India. Dia sudah hubungi saya berkali-kali,” kata Syam yang lahir di Medan, 5 November 1984 itu.
Tentu saja, perusahaan itu tidak datang begitu saja. Mereka mengetahui adanya produk bata Syam ketika Tim Prasetiya Mulya Businees School (PMBS) meraih juara pertama di Global Social Venture Competition, April 2009. Kompetisi rencana bisnis pemanfaatan limbah ini digelar di Universitas Berkeley, Amerika Serikat.
Kala itu PMBS mengajak EcoFaeBrick sebagai objek rencana bisnisnya. EcoFaeBrick adalah nama produk bata dari Faerumnesia 7G. Batu bata dari kotoran sapi ini lebih ringan dari batu bata tanah liat. Namun, daya tekan EcoFaeBrick 20% lebih kuat.
Bata buatan Syam menggunakan kotoran sapi dengan kadar 75%. Sisanya, proses pemanasan biogas. Proses ini mampu menggantikan emisi CO2 yang dihasilkan dari pembakaran saat memproduksi bata dari tanah liat. “Saat menang itu, saya dan teman-teman diliput media massa di sana. Akhirnya banyak perusahaan mengenal kami,” tutur Syam.
Di AS, banyak orang mengomentari EcoFaeBrick. “Alhamdulilah, bagus. Mereka berpikir kotoran sapi bisa jadi solusi bagi negara yang menghasilkan CO2 tinggi,” ungkap Syam.
Sepulangnya ke Indonesia, beberapa perusahaan mengontak Syam. Mereka minta ilmu pemanfaatan kotoran sapi kepadanya. Namun, informasi itu tak diberinya lengkap. Sebab, penggunaan kotoran sapi jadi kerajinan bermerek Farumnesia 7G sudah dipatenkan pada 2007.
Berkat kotoran sapi, Syam meraih banyak penghargaan. Ia pernah masuk delapan besar nominator Wirausaha Muda Mandiri Regional Jateng-DIY dan 50 besar peserta Intensive-Student Technopreneurship Program RAMP.
Syam juga menggondol juara I Lomba Bisnis Plan Pemuda dan Olahraga pada 2007. Syam pun pernah menerima penghargaan Rektor UGM sebagai Mahasiswa Berprestasi di Bidang Kewirausahaan pada 2007.
Saat Faerumnesia 7G baru lahir, Syam menghampiri sebuah bank. Ia minta pinjaman modal. Tapi, bank itu menolak permintaannya dengan berbagai alasan. Akhirnya, dengan tertatih-tatih, Syam mengumpulkan modal dari kemenangannya di berbagai kompetisi.
Hingga akhirnya terkumpul Rp 4,5 juta sebagai modal awal, yang digunakan untuk membeli bahan baku dan menyewa alat. Syam pun bekerja sama dengan seorang perajin di Godean. “Sekarang saat saya sudah produksi, sudah punya omzet besar, bank-bank itu datang ke saya menawarkan bantuan. Saya tolak semuanya,” kata Syam.
Syam benar-benar membangun usaha dari nol. Ia tak mengeluarkan sepeser pun dari kantong pribadinya. Hanya ide yang ia tawarkan. “Saya bertarung sendiri sejak awal,” ujarnya.
Syam sebarkan ilmu wirausaha ke banyak pemuda
Syammahfuz Chazali tidak lupa membagikan motivasi berwirausaha. Ia keluar masuk universitas memberi semangat para mahasiswa untuk membuka usaha. Bahkan, awal tahun ini Syam membuka YES!, lembaga pelatihan bisnis bagi pemuda.
Pemilik merek Faerumnesia 7G, Syammahfuz Chasali tengah didera kesibukan. Bulan ini, ia harus mengurus produksi 3.000 batu bata di Godean, Yogyakarta. Ia juga harus meladeni pertanyaan dari beberapa perusahaan luar negeri tentang penggunaan kotoran sapi.
Lalu, ia juga harus mendatangi beberapa universitas untuk bertukar pikiran soal kewirausahaan. Tiga hari ini saja, ia berada di Semarang, Jawa Tengah, untuk memberi motivasi kewirausahaan di Universitas Diponegoro dan IAIN Walisongo.
Menurutnya, banyak mahasiswa punya ide kreatif. Sayangnya kurang dukungan. "Jadi mahasiswa haru mampu menciptakan lapangan kerja sendiri dari ide-ide kreatifnya," ujar Syam.
Dalam hitungannya, ongkos yang harus dikeluarkan mahasiswa selama kuliah dan gaji yang mereka dapatkan setelah bekerja habis begitu saja. Dengan gaji Rp 2 juta, uang mereka akan habis untuk sewa kos, makan, transportasi, komunikasi dan hiburan. "Habis uangnya. Kapan mereka punya tabungan?” ujarnya.
Dari situ, Syam bersama dua kawannya, Fauzan Teguh Hananto dan Ghozali bertekad mengajak mahasiswa menjadi entrepeneur dengan mendirikan YES!. Ini adalah lembaga pelatihan bisnis bagi pemuda-pemudi berusia 18 hingga 19 tahun.
Walau masih berusia lima bulan, YES! sudah tersebar di 25 kota di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat. Markasnya ada di Jalan Kayun, Surabaya, Jawa Timur. YES! pusat mengirimkan standard operating procedure (SOP) ke pengelola di masing-masing kota.
Berbekal SOP itu, pengelola bisa menjalankan visi misi YES! Siswa akan mendapat kursus singkat selama tiga bulan. Sejak awal masuk, siswa ditanya bentuk usaha seperti apa yang ingin dipilihnya.
Selama kursus itulah, materi dan diskusi akan membahas bentuk usaha itu. Setiap kelas diisi maksimal 20 orang, agar setiap siswa punya ruang besar mengasah jenis usaha yang akan digelutinya.
Kursus berisi mentoring dari berbagai pengusaha yang mau berbagi ilmu kewirausahaan selama enam minggu. Sisa waktu untuk magang. “Ada siswa YES! yang sudah punya omzet sampai Rp 40 juta per bulan," ujarnya.
Ide-ide kreatif mengalir di YES! "Ada yang mau buka usaha kopi celup dan nasi sego klopo, ” kata lulusan Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada ini.
Yang menarik, Syam bakal mengembalikan biaya kursus sebesar Rp 3 juta bila siswa gagal membangun usaha. Makanya, selesai masa kursus, Syam dan kawan-kawan tetap membimbing siswa. Bagi Syam, YES! harus mengambil peran bagi perekonomian Indonesia lewat usaha kecil dan menengah.
Ia menargetkan mendirikan YES! di 20 kota di Indonesia. Malah, ia bercita-cita YES! ada di Malaysia dan Australia.
Tekadnya mencetak pemuda menjadi wirausahawan yang membuka lapangan kerja buat orang lain. “Saya ingin memberi motivasi ke banyak pemuda untuk bangun bisnis tanpa modal," ujarnya. Baginya masalah bisnis bukanlah modal, tapi mental.
Meski sibuk, Faerumnesia 7G tetap harus berkibar. Saat ini, Syam tengah menggelar riset untuk mencari bahan lain serupa tekstur kotoran sapi yang bisa dijadikan bata, lantai dan genteng.
Dua bulan ini, ia akan meriset serius soal itu. Setelah itu, Syam akan mendatangi Kementerian Pekerjaan Umum untuk melakukan ujicoba.
Ia menargetkan produknya nanti bisa kedap suara, tahan gempa dan tahan air. Dari usaha ini, Syam ingin memberi contoh bagi banyak pemuda bahwa anak-anak muda bisa menjadi bos untuk dirinya sendiri.
Anak-anak muda bisa menjalankan usaha sekaligus menikmati hidup. Itu pula yang dilakukan Syam. “Keinginan terbesar saya jadi pengusaha," ujarnya. Ia ingin punya uang dan waktu luang banyak. "Saya tak ingin menggadaikan hidup hanya untuk gajian,” ujar Syam diiringi tawa membahana. (kontan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar