Jakarta. Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI) meminta pemerintah untuk menjadikan ubi kayu atau singkong sebagai komoditas andalan nasional.
Sekretaris Jenderal HIPPI Herman Heru Suprobo di Jakarta, Jumat (10/6) mengatakan, hingga saat ini ubi kayu belum dimanfaatkan secara optimal padahal memiliki potensi ekonomi yang tinggi. "Dari segi penanaman, singkong di Indonesia termasuk "secondary crops", komoditi kelas dua," katanya dalam seminar bertajuk "Optimalisasi Potensi Ubi Kayu sebagai Komoditi Andalan Nasional" yang digelar HIPPI bekerja sama dengan Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI).
Nilai gizi singkong sebagai sumber karbohidrat lebih tinggi dibanding beras, meski memang nilai protein dan lemaknya lebih rendah. "Tapi kalau diolah dengan pangan lain yang mempunyai nilai gizi lebih tinggi, maka sangat bermanfaat sebagai bahan pangan," katanya.
Menurut Herman, para petani ubi kayu hingga kini masih enggan menggunakan benih unggul, pupuk, teknologi dan penerapan pemeliharaan tanaman yang baik dan benar.
Petani ubi kayu banyak yang berpindah ke tanaman lain yang mana hal itu terlihat dalam lima tahun terakhir, luas areal panen ubi kayu terus menurun hingga 0,63%. "Masalahnya adalah harga jual ubi kayu yang rendah dan cenderung fluktuatif, serta harga beli produk rendah dan penerapan teknologi yang minim," katanya.
Sementara itu Wakil Ketua Umum Bidang Perindustrian dan Perdagangan HIPPI Muhammad Syahrial mengingatkan, agar pemerintah segera berperan dalam mengklasifikasi berapa banyak porsi ubi kayu yang digunakan untuk pangan, pakan dan industri.
Menurut dia, upaya untuk meningkatkan produksi tidak dapat dilepaskan pada ketersediaan lahan dan jenis bibit yang digunakan. Apalagi komoditas ini dapat diproses lebih lanjut menjadi produk yang bernilai jual lebih tinggi, seperti biofuel dan tepung tapioka, yang prospektif laku di pasar internasional.
Tentunya, dengan ketersediaan lahan yang terjamin dan penerapan teknologi pemicu produktivitas, Indonesia bisa bersaing dengan Thailand dan Vietnam. "Memang tidak dapat dipersaingkan dengan kelapa sawit, karet atau kakao, tetapi singkong juga bisa menguntungkan jika ada komitmen membangun industri terintegrasi," katanya.
Presidium ICMI Marwah Daud Ibrahim mengatakan, Indonesia banyak menghasilkan dan membutuhkan ubi kayu. Bahkan ke depan, kebutuhan ubi kayu dalam negeri akan meningkat dan peranannya semakin strategis sebab terkait dengan penyediaan sumber karbohidrat untuk pangan dan bahan baku aneka industri yang terus berkembang.
Marwah menilai, ubi kayu umumnya diusahakan oleh petani kecil pada lahan kering yang umumnya mempunyai kesuburan sedang sampai rendah. Rata-rata produktivitas ubi kayu nasional masih rendah yaitu 15,5 ton per hektar umbi segar, sebab petani baru sedikit yang menanam varietas unggul (10%) dan tidak atau sedikit menggunakan pupuk.
Kini telah tersedia teknologi inovatif untuk mendukung pengembangan dan peningkatan produksi maupun produktivitas ubi kayu hingga 30-40 ton/ha umbi segar. Nigeria, saat ini menjadi produsen ubi kayu terbesar di dunia dengan angka produksi sekitar 99,1 juta ton, sementara Thailand memasok hampir 70% pangsa pasar internasional. (ant)
Nilai gizi singkong sebagai sumber karbohidrat lebih tinggi dibanding beras, meski memang nilai protein dan lemaknya lebih rendah. "Tapi kalau diolah dengan pangan lain yang mempunyai nilai gizi lebih tinggi, maka sangat bermanfaat sebagai bahan pangan," katanya.
Menurut Herman, para petani ubi kayu hingga kini masih enggan menggunakan benih unggul, pupuk, teknologi dan penerapan pemeliharaan tanaman yang baik dan benar.
Petani ubi kayu banyak yang berpindah ke tanaman lain yang mana hal itu terlihat dalam lima tahun terakhir, luas areal panen ubi kayu terus menurun hingga 0,63%. "Masalahnya adalah harga jual ubi kayu yang rendah dan cenderung fluktuatif, serta harga beli produk rendah dan penerapan teknologi yang minim," katanya.
Sementara itu Wakil Ketua Umum Bidang Perindustrian dan Perdagangan HIPPI Muhammad Syahrial mengingatkan, agar pemerintah segera berperan dalam mengklasifikasi berapa banyak porsi ubi kayu yang digunakan untuk pangan, pakan dan industri.
Menurut dia, upaya untuk meningkatkan produksi tidak dapat dilepaskan pada ketersediaan lahan dan jenis bibit yang digunakan. Apalagi komoditas ini dapat diproses lebih lanjut menjadi produk yang bernilai jual lebih tinggi, seperti biofuel dan tepung tapioka, yang prospektif laku di pasar internasional.
Tentunya, dengan ketersediaan lahan yang terjamin dan penerapan teknologi pemicu produktivitas, Indonesia bisa bersaing dengan Thailand dan Vietnam. "Memang tidak dapat dipersaingkan dengan kelapa sawit, karet atau kakao, tetapi singkong juga bisa menguntungkan jika ada komitmen membangun industri terintegrasi," katanya.
Presidium ICMI Marwah Daud Ibrahim mengatakan, Indonesia banyak menghasilkan dan membutuhkan ubi kayu. Bahkan ke depan, kebutuhan ubi kayu dalam negeri akan meningkat dan peranannya semakin strategis sebab terkait dengan penyediaan sumber karbohidrat untuk pangan dan bahan baku aneka industri yang terus berkembang.
Marwah menilai, ubi kayu umumnya diusahakan oleh petani kecil pada lahan kering yang umumnya mempunyai kesuburan sedang sampai rendah. Rata-rata produktivitas ubi kayu nasional masih rendah yaitu 15,5 ton per hektar umbi segar, sebab petani baru sedikit yang menanam varietas unggul (10%) dan tidak atau sedikit menggunakan pupuk.
Kini telah tersedia teknologi inovatif untuk mendukung pengembangan dan peningkatan produksi maupun produktivitas ubi kayu hingga 30-40 ton/ha umbi segar. Nigeria, saat ini menjadi produsen ubi kayu terbesar di dunia dengan angka produksi sekitar 99,1 juta ton, sementara Thailand memasok hampir 70% pangsa pasar internasional. (ant)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar