Jakarta. Badan Standardisasi Nasional (BSN) menyiapkan penerapan standar nasional Indonesia wajib untuk biji kakao terfermentasi.
"Drafnya sudah selesai dibuat, sekarang masih dalam proses notifikasi ke World Trade Organization (WTO) untuk mendapat tanggapan. Biasanya proses itu butuh waktu sekitar dua bulan," kata Kepala BSN Bambang Setiadi di Jakarta, Kamis (9/6).
Bambang menjelaskan, pihaknya menyiapkan penerapan wajib SNI untuk komoditas biji kakao terfermentasi setelah mengidentifikasi beberapa masalah terkait kualitas dalam kegiatan perdagangan dalam negeri maupun ekspor biji kakao.
"Petani lebih senang menjual biji kakao apa adanya, tanpa diolah lebih dulu, sehingga mudah rusak dan nilainya rendah. Seharusnya difermentasi lebih dulu," katanya.
Menurut Bambang, BSN secara khusus mengundang pengekspor biji kakao dari Pantai Gading untuk mendapat lebih banyak masukan dalam menyusun SNI wajib untuk biji kakao terfermentasi.
Lebih lanjut dia menjelaskan bahwa sebelumnya BSN sudah menyusun SNI wajib untuk produk olahan kakao berupa bubuk kakao. "Kalau biji kakao SNI-nya sudah ada, tapi tidak wajib dilakukan," katanya.
Dengan produksi biji kakao antara 600.000 ton sampai 700.000 ton per tahun, saat ini Indonesia merupakan produsen kakao terbesar ketiga di dunia setelah Ghana dan Pantai Gading. Selama ini sebagian besar hasil biji kakao dalam negeri diekspor dan hanya sebagian kecil yang diolah di dalam negeri.
Pemerintah berusaha mendorong pertumbuhan industri hilir kakao dengan menerapkan kebijakan pengenaan bea keluar untuk ekspor biji kakao sejak 1 April 2010.
Menurut Wakil Menteri Perdagangan Mahendra Siregar, penerapan kebijakan tersebut telah berdampak terhadap pertumbuhan industri hilir kakao dalam negeri.
Hal senada diungkapkan oleh Ketua Umum Asosiasi Industri Kakao Indonesia Piter Jasman. Ia mengatakan produksi industri pengolahan kakao yang pada 2010 sebanyak 150.000 ton tahun ini akan meningkat menjadi 280.000 ton.
Pangsa ekspor biji kakao pun kemudian cenderung menurun dan sebaliknya untuk produk turunan kakao. Menurut data Kementerian Perdagangan, pada 2010 nilai ekspor biji kakao dan kulitnya sebesar 1,19 miliar dolar AS atau 72,49% dari seluruh ekspor kakao yang nilainya 1,64 miliar dolar AS, lebih rendah dibandingkan dengan 2009.
Nilai ekspor biji dan kulit biji kakao pada 2009 memberikan kontribusi hingga 76,98% terhadap nilai keseluruhan ekspor kakao yang mencapai US$ 1,41 miliar. Sementara ekspor produk olahan kakao cenderung meningkat pangsanya. Sebagai gambaran, ekspor produk turunan pertama kakao berupa pasta dan "butter" terhadap seluruh ekspor kakao meningkat dari 17,71% pada 2009 menjadi 18,43% pada 2010. (ant)
Bambang menjelaskan, pihaknya menyiapkan penerapan wajib SNI untuk komoditas biji kakao terfermentasi setelah mengidentifikasi beberapa masalah terkait kualitas dalam kegiatan perdagangan dalam negeri maupun ekspor biji kakao.
"Petani lebih senang menjual biji kakao apa adanya, tanpa diolah lebih dulu, sehingga mudah rusak dan nilainya rendah. Seharusnya difermentasi lebih dulu," katanya.
Menurut Bambang, BSN secara khusus mengundang pengekspor biji kakao dari Pantai Gading untuk mendapat lebih banyak masukan dalam menyusun SNI wajib untuk biji kakao terfermentasi.
Lebih lanjut dia menjelaskan bahwa sebelumnya BSN sudah menyusun SNI wajib untuk produk olahan kakao berupa bubuk kakao. "Kalau biji kakao SNI-nya sudah ada, tapi tidak wajib dilakukan," katanya.
Dengan produksi biji kakao antara 600.000 ton sampai 700.000 ton per tahun, saat ini Indonesia merupakan produsen kakao terbesar ketiga di dunia setelah Ghana dan Pantai Gading. Selama ini sebagian besar hasil biji kakao dalam negeri diekspor dan hanya sebagian kecil yang diolah di dalam negeri.
Pemerintah berusaha mendorong pertumbuhan industri hilir kakao dengan menerapkan kebijakan pengenaan bea keluar untuk ekspor biji kakao sejak 1 April 2010.
Menurut Wakil Menteri Perdagangan Mahendra Siregar, penerapan kebijakan tersebut telah berdampak terhadap pertumbuhan industri hilir kakao dalam negeri.
Hal senada diungkapkan oleh Ketua Umum Asosiasi Industri Kakao Indonesia Piter Jasman. Ia mengatakan produksi industri pengolahan kakao yang pada 2010 sebanyak 150.000 ton tahun ini akan meningkat menjadi 280.000 ton.
Pangsa ekspor biji kakao pun kemudian cenderung menurun dan sebaliknya untuk produk turunan kakao. Menurut data Kementerian Perdagangan, pada 2010 nilai ekspor biji kakao dan kulitnya sebesar 1,19 miliar dolar AS atau 72,49% dari seluruh ekspor kakao yang nilainya 1,64 miliar dolar AS, lebih rendah dibandingkan dengan 2009.
Nilai ekspor biji dan kulit biji kakao pada 2009 memberikan kontribusi hingga 76,98% terhadap nilai keseluruhan ekspor kakao yang mencapai US$ 1,41 miliar. Sementara ekspor produk olahan kakao cenderung meningkat pangsanya. Sebagai gambaran, ekspor produk turunan pertama kakao berupa pasta dan "butter" terhadap seluruh ekspor kakao meningkat dari 17,71% pada 2009 menjadi 18,43% pada 2010. (ant)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar