Jakarta. Sekitar 40% krisis pangan global terjadi karena dipengaruhi buruknya tempat yang digunakan untuk menyimpan persediaan produksi buah dan sayuran yang dihasilkan para petani.
"30 - 40 persen pangan terutama buah dan sayuran hilang disebabkan buruknya penyimpanan," kata Ketua Dewan Pengurus Pusat Serikat Petani Indonesia (SPI), Henry Saragih, di Jakarta, Kamis (23/6).
Untuk itu, menurut Henry, diperlukan respon lebih cepat dan koordinasi global untuk mengantisipasi krisis pangan tersebut seperti dengan pengembangan fasilitas penyimpanan pangan regional. Fasilitas tersebut, bisa berkembang menjadi semacam pusat cadangan pangan di tingkat regional sehingga jika terjadi kasus kelaparan di kawasan itu dapat direspon dengan cepat.
Selain itu, ia juga mengemukakan perlunya investasi untuk pemenuhan pelayanan publik seperti riset teknologi tepat guna untuk pangan dan pertanian berkelanjutan, dukungan untuk koperasi/UKM di sektor pangan, serta pembangunan infrastruktur pedesaan seperti irigasi dan jalan. "Di atas semua ini, pemerintah negara-negara terutama Indonesia harus memajukan kedaulatan pangan," kata Henry.
Dengan demikian, terdapat jaminan terhadap hak setiap bangsa dan rakyatnya untuk memproduksi pangan secara mandiri, dan hak untuk menetapkan sistem pertanian, peternakan, dan perikanan tanpa adanya subordinasi dari kekuatan pasar internasional.
Dalam laporan "Krisis Pangan Spekulasi dan G-20" yang dibuat oleh SPI bersama-sama Koalisi Anti Utang dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, disebutkan bahwa Indonesia hendaknya menggunakan forum G-20 untuk menyuarakan perlunya kedaulatan pangan seperti yang diperjuangkan oleh berbagai gerakan petani secara internasional.
Menurut laporan tersebut, solusi kedaulatan pangan bercirikan antara lain adanya demokratisasi alat-alat produksi pertanian di negara berkembang, pembaruan agraria untuk meningkatkan kemerataan produksi, penguatan kelembagaan serikat petani, serta perubahan orientasi produksi pangan untuk konsumsi dalam negeri dan negara lain yang kekurangan.
Solusi itu juga menuntut anggaran pemerintah untuk mampu menyediakan jaminan pangan yang memadai bagi seluruh warga negaranya, dan peran pemerintah untuk memastikan kemerataan alokasi pangan yang mensyaratkan adanya kontrol kuat rakyat dan negara atas hasil produksi pangan, serta kebersatuan negara-negara berkembang untuk menghalau dominasi oligopolis dan spekulan global. (ant)
Untuk itu, menurut Henry, diperlukan respon lebih cepat dan koordinasi global untuk mengantisipasi krisis pangan tersebut seperti dengan pengembangan fasilitas penyimpanan pangan regional. Fasilitas tersebut, bisa berkembang menjadi semacam pusat cadangan pangan di tingkat regional sehingga jika terjadi kasus kelaparan di kawasan itu dapat direspon dengan cepat.
Selain itu, ia juga mengemukakan perlunya investasi untuk pemenuhan pelayanan publik seperti riset teknologi tepat guna untuk pangan dan pertanian berkelanjutan, dukungan untuk koperasi/UKM di sektor pangan, serta pembangunan infrastruktur pedesaan seperti irigasi dan jalan. "Di atas semua ini, pemerintah negara-negara terutama Indonesia harus memajukan kedaulatan pangan," kata Henry.
Dengan demikian, terdapat jaminan terhadap hak setiap bangsa dan rakyatnya untuk memproduksi pangan secara mandiri, dan hak untuk menetapkan sistem pertanian, peternakan, dan perikanan tanpa adanya subordinasi dari kekuatan pasar internasional.
Dalam laporan "Krisis Pangan Spekulasi dan G-20" yang dibuat oleh SPI bersama-sama Koalisi Anti Utang dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, disebutkan bahwa Indonesia hendaknya menggunakan forum G-20 untuk menyuarakan perlunya kedaulatan pangan seperti yang diperjuangkan oleh berbagai gerakan petani secara internasional.
Menurut laporan tersebut, solusi kedaulatan pangan bercirikan antara lain adanya demokratisasi alat-alat produksi pertanian di negara berkembang, pembaruan agraria untuk meningkatkan kemerataan produksi, penguatan kelembagaan serikat petani, serta perubahan orientasi produksi pangan untuk konsumsi dalam negeri dan negara lain yang kekurangan.
Solusi itu juga menuntut anggaran pemerintah untuk mampu menyediakan jaminan pangan yang memadai bagi seluruh warga negaranya, dan peran pemerintah untuk memastikan kemerataan alokasi pangan yang mensyaratkan adanya kontrol kuat rakyat dan negara atas hasil produksi pangan, serta kebersatuan negara-negara berkembang untuk menghalau dominasi oligopolis dan spekulan global. (ant)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar