PARA petani Himalaya mendapat dukungan sains iklim atas kecurigaan mereka bahwa lapisan salju, sumber daya air dan ekosistem di wilayah mereka kini mengalami perubahan.
Sebuah studi yang disiarkan Rabu menyebutkan kecurigaan para petani itu terbukti punya alasan yang kuat.
Para penyusun laporan riset yang dilakukan oleh Britain’s Royal Society mengungkapkan ini merupakan pertama kalinya berbagai persepsi subjektif soal perubahan iklim telah ditakar dalam tes ilmiah secara luas.
Dan, ujar para pakar itu, pengujian tersebut menunjukkan pengetahuan lokal, sama sekali tidak ngacau atau berat sebelah, dapat menjadi alat yang bermanfaat untuk memerangi ancaman iklim.
Para periset mewawancarai 250 orang yang tinggal di 10 desa lingkungan Taman Nasional Singalila, di Pebukitan Darjeeling, negara bagian Bengal Barat, India, dan di delapan desa di distrik Ilam, Nepal.
Para peneliti menanyai orang-orang itu tentang 18 kemungkinan indikator perubahan iklim dalam sedekade terakhir.
Daftar
Wawancara-wawancara itu kemudian dilanjutkan dengan daftar pertanyaan berstruktur longgar dalam berbagai pertemuan di 10 desa lain kawasan sama, dengan tujuan meneliti silang hasil-hasilnya.
Tiga perempat dari mereka mengatakan mereka yakin cuaca makin panas dalam 10 tahun terakhir, sementara dua pertiga mengaku kemunculan musim panas dan monsoon makin cepat.
Hampir separuh dari para responden berpendapat kini salju makin sedikit di pegunungan tadi dibanding sebelumnya dan 70 persen bilang air kini tak sebanyak dulu.
Sekira separuh mengatakan mereka yakin sejumlah species tumbuhan bersemi lebih dini daripada sebelumnya dan bahwa nyamuk telah muncul di berbagai desa yang pada waktu sebelumnya tidak pernah ada. Sedikitnya sepertiga menuturkan beberapa hama tanaman baru atau rumput kecil baru telah muncul di berbagai lokasi tempat mereka bertani. Observasi-observasi ini sesuai dengan hasil berbagai studi ilmiah mengenai suhu udara, curah hujan dan species yang dilakukan di wilayah Himalaya atau daerah-daerah lain, meskipun tidak ada konfirmasi bahwa kemunculan monsoon terjadi lebih dini, papar telaah tadi.
Perubahan
Mereka yang tinggal di daerah dataran tinggi (antara 2.000 - 3.000 meter) berpeluang lebih besar mengatakan mereka telah melihat perubahan-perubahan dibandingkan dengan orang-orang yang tinggal di dataran rendah, dianggap di bawah 2.000 meter.
Ini juga mencerminkan berbagai prediksi ilmiah bahwa area-area pegunungan dan berselimut salju kini lebih besar kemungkinannya mengalami dampak-dampak iklim sebelum kawasan-kawasan dataran rendah.
Laporan tadi, yang dipublikasikan dalam jurnal Biology Letters, menandai upaya terbesar sejauh ini untuk membedah pengetahuan lokal mengenai perubahan iklim dan membandingkannya dengan bukti ilmiah.
Pengetahuan lokal biasanya memiliki gengsi rendah dalam sains cuaca karena hal tersebut kerap tak lengkap, jangka pendek atau tidak simetris dibuat pengalaman pribadi.
Misalnya, jika seorang petani mengalami dua atau tiga musim panen yang buruk, dia bisa saja keliru karena menyalahkan perubahan iklim, yang merupakan suatu fenomena jangka panjang, bukannya teknik-teknik pertanian yang rendah atau lantaran nasib jelek pengaruh cuaca, yang bersifat jangka pendek.
Sumber Daya
Namun hasil studi itu menyebut bahwa pengetahuan intim tentang lingkungan lokal bisa menjadi sumber daya yang bermanfaat untuk menguji berbagai teori dan kebijakan soal aneka problema semisaql banjir, kemarau dan species penyerbu.
Wilayah Himalaya kini terimbas oleh perubahan iklim karena perubahan-perubahan pola monsoon dan lebih tingginya suhu udara mempengaruhi lapisan salju, yang pada gilirannya mempengaruhi sumber daya air bagi manusia.
Sebanyak 15.000 gletser di pegunungan itu merupakan sumber air untuk delapan sungai terbesar di Asia, yang lima darinya -- Indus, Gangga, Brahmaputra, Sungai Yangtze dan Kuning-- kemunginan terkena dampak stres air yang memburuk dalam dekade-dekade mendatang, dengan bermacam konsekuensi mengancam lebih 1,4 milyar orang.
"Kendati kemungkinan kerugiannya akan sangat besar terhadap lingkungan, ekonomi dan sosial, informasi layak dipercaya soal seberapa parah dan besarnya perubahan iklim dan berbagai konsekuensinya di pegunungan Himalaya tidak dikenal," ujar laporan tadi.
Para peneliti studi itu adalah Pashupati Chaudhary, mahasiswa sarjana biologi dari University of Massachusetts at Boston (UMB) dan Kamaljit Bawa, seorang profesor biologi dari UMB dan ketua Ashoka Trust for Research in Ecology and the Environment (ATREE) di Bangalore, India.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar