Masih terngiang-ngiang ditelinga saya ketika beberapa waktu lalu seorang rekan melontarkan pertanyaan, "Harga beras di Indonesia termahal di dunia, tetapi kenapa petaninya miskin?".
Pertanyaan itu, saya jawab, boleh jadi karena petani Indonesia hanya sekadar instrumen (alat) dari industri pertanian, bukan pelaku.
Sepanjang petani kita tidak berdaulat atas tanah dan hasil pertaniannya, sepanjang itu pula hasil jual komiditi pertanian tidak ekuivalen dengan kesejahteraan mereka. Adalah wajar di saat Rakeras HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia) I yang digelar di Medan, kita bertanya: kapan petani berdaulat atas tanah dan hasilnya?
Lihatlah hasil survei Badan Pusat Statistik (2003) yang menyebutkan 85 persen petani Indonesia ialah petani gurem dan petani tak bertanah. Lalu benarkah petani Indonesia masih dapat disebut petani jika merujuk defenisi WHO dan ilmu pertanian yang diajarkan di kampus-kampus?
Dua Hektar Lahan
Rekan saya Ir Fadmin Prihatin Malau yang alumnus Fakultas Pertanian salah satu universitas di Medan mengemukakan, menurut definisi ilmu pertanian, yang dimaksud petani adalah pemilik sedikitnya dua hektar lahan dan hasilnya. Definisi WHO juga demikian, yang dikatakan petani adalah individu yang berkuasa atas lahan minimal dua hektar serta hasilnya.
Maka ketika digelar Rapat Kerja (Rakernas) I Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) pada 26-28 April lalu yang bertema "Bersatu dan Bangkit, Petani Makmur, Berdaulat dan Bermartabat" pertanyaan: ketika harga besar mahal kenapa petani tetap miskin? adakah mendapat tempat di relung-relung hati para petinggi HKTI?
Logikanya, ketika harga produk pertanian naik (mahal), niscaya petani akan mendapat margin lebih yang mengantarkannya jadi sejahtera. Kenyataannya, petani kita tetap saja miskin. Bahkan, di media-media kerap kita baca, untuk membeli bibit pun terkadang harus utang sana-sini. Ironis. Kenapa bisa demikian?
Jika merujuk dari data statistik 2003 tersebut, kita menemukan jawabannya, 85% petani kita tak berdaulat atas lahan dan produk pertanian yang dihasilkannya. Jika hanya mengerjakan lahan orang lain, masih pantaskan petani yang 85% tersebut disebut "petani"? Tidakkah mereka sesungguhnya hanya buruh dari industri pertanian?
Seperti juga banyak nelayan kita yang dewasa ini hanya buruh dari kapal penangkap ikan. Seberapa besar pun hasil tangkapan mereka, gajinya telah ditentukan oleh toke (pengusaha) kapal ikan. Sang petani juga demikkian, seberapa besar pun hasil pertanian yang mereka hasilkan, gajinya telah ditentukan oleh para toke pemilik lahan pertanian alias petani berdasi.
Maka harapan Rakernas HKTI I yang sekaligus HUT HKTI ke-38 dapat menjadi ajang untuk mencari solusi terhadap besarnya ketergantungan pada impor komoditi pertanian seperti saat ini boleh jadi akan terwujud. Tetapi harapan untuk menjadikan petani Indonesia – terutama petani gurem yang jumlahnya 85 % – sejahtera akan menjadi tanda tanya besar.
Benar apa yang dikatakan Ketua Harian DPN HKTI Pusat, Dr Sutrisno Iwantono kepada media (baca berita di media-media terbitan 26 April 2011), tujuan mengurangi komoditi pangan impor, agar terjadi penghematan anggaran negera sehingga bisa dialihkan untuk perbaikan infrastruktur. Ya, Kalau impor komiditi pangan dapat dikurangi, niscaya anggaran negara dapat dialihkan kepada pembangunan infrastruktur pertanian seperti irigasi dan lain sebagainya.
Tidak Otomatis
Berkurangnya impor komoditi pangan, tidak otomatis meningkatkan kesejahteran petani jika sang petani tidak berdaulat atas tanah dan hasil pertaniannya. Padahal Sutrisno Iwantono mengatakan: "Dengan begitu, diyakini kesejahteraan petani dalam empat tahun ke depan juga akan meningkat," (Seputar Indonesia, Selasa, 26 April 2011 halaman 4).
Sutrisno menjelaskan, dalam Rakernas HKIT I akan disusun program kerja untuk tahun 2011-2015. Program inilah yang nantinya akan menjadi pedoman bagi seluruh jajaran HKTI di seluruh Indonesia.
Dia juga memaparkan, impor komoditi pertanian dalam setahun saat ini sudah mencapi 12 miliar US dolar. Untuk itulah harus dicari upaya menurunkan impor komoditi pertanian sebesar 50 persen dalam empat tahun ke depan dengan tujuan untuk meningkatkan para petani kecil.
Dengan diturunkannya impor pertanian, maka negara bisa mengehmat anggaran, dan mengalokasikan anggara sebesar 12 miliar US dolar setahun itu untuk perbaikan infrastruktur pertanian. Sebab, katanya hingga saat ini masih terdapat 500 ribu hektar lahan irigasi yang rusak. "Kalau anggaran mengimpor itu kita alihkan untuk perbaikan infrastruktur irigasi maka produktifitas pertanian Indonesia juga akan meningkat. Termasuk juga kita bisa mendorong pembangunan lahan sawah baru," terang Mantan Ketua KPPU Pusat ini.
Eksportir
Sutrisno mengharapkan, ke depan Indnesia harus kembali menjadi eksportir gula terbesar. "Dulu kita pernah menjadi eksportir gula terbesar, tetapi sekarang kita malah menjadi importir gula. Begitu juga kita penghasil beras nomor tiga terbesar di dunia setelah China dan India, namun mesikpun negara pengasil beras kita juga masih mengimpor beras dari negara luar," ungkapnya.
Alangkah tidak holistiknya, jika Rakernas yang bertema "Bersatu dan Bangkit, Petani Makmur, Berdaulat dan Bermartabat" tidak memasukkan agenda kedaulatan petani atas lahan dan hasil pertaniannya.
Lihat pula gambaran semakin menyempitnya lahan bagi petani Indonesia, berbanding terbalik dengan lahan yang dikuasai pengusaha. Ini seyogianya menjadi arena perjuangan orang-orang HKTI. Mengapa tidak, saat ini sekitar 29 juta hektar lahan dimanfaatkan untuk usaha mengambil hasil hutan kayu, 7 juta hektar untuk pengusaha hutan tanaman industri, 2,4 juta hektar dikuasai Perhutani dan 6 juta hektar dikuasai pengusaha perkebunan sawit.
Jurang ketimpangan akan makin dalam jika RUU Pengadaan Tanah tidak menjadi agenda dalam Rakernas HKTI I ini. Karena dalam RUU Pengadaan tanah ini juga memfasilitasi pengusaha untuk memperoleh tanah dalam berbagai proyek pembangunan. Jika RUU itu disahkan, sungguh akan makin sulit buat petani mempertahakan lahannya yang sedikit itu bila diambil pengusaha dengan alasan demi kepentingan pembangunan (pemerintah).
Struktur Agraria
Para ahli mengakui, kita menghadapi kompleksitas persoalan agraria. Dari segi kebijakan, tumpang tindih peundang-undangan dan sektoralisme pengurusan masalah tanah dan sumber daya alam antarsektor masih terjadi. Padahal, konsensus politik mengakhiri sektoralisme ini telah dicapai pada 2001 melalui TAP MPR No IX tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Namun tetap saja petani kecil akan jadi korban, jika pengusaha ingin "merampas" lahannya dengan alasan: kepentingan pembangunan.
Kompleksitas persoalan agraria lain adalah sulitnya mewujudkan keadilan agraria bagi rakyat Indonesia (terutama petani), seperti diamandatkan Pasal 33 UUD 1945. Keadilan ini sulit mewujud karena kita mewarisi struktur agraria yang sangat timpang dari masa kolonial sampai pemerintahan Orde Baru.
Tugas sejarah kitalah – terutama orang-orang yang memakai label petani seperti HKTI – berjuang menata struktur agraria yang timpang melalui pelaksanaan reformasi agraria, tidak justru mendorong terbentuknya aturan yang menambah ruwet persoalan pertanahan dan menjauhkan negara memenuhi kewajiban konstitusionalnya. Ini jika HKTI berkeinginan petani kita berdaulat atas tanah dan hasil pertaniannya. Semoga! ***
Penulis peminat masalah sosial budaya dan Mahasiswa Fakultas Hukum UMA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar