Palu. Achrul Udaya, seorang pemerhati ekonomi di Palu, Sulawesi Tengah (Sulteng) mengatakan petani di daerah itu masih enggan melakukan fermentasi karena selama ini harganya belum dibedakan.
"Harga biji kakao fermentasi dengan tidak fermentasi di pasaran sama saja," katanya di Palu, Jumat (29/4).Akibatnya, para petani kakao hingga kini tidak melakukan fermentasi karena mereka berpikir toh harganya sama saja antara yang fermentasi dengan belum fermentasi. Karena itu, pemerintah di daerah ini perlu mengatur masalah harga kakao fermentasi dengan yang belum, sehingga petani bisa melakukan sistem fermentasi yang benar.
Menurutnya, sepanjang belum ada perbedaan masalah harga antara biji kakao fermentasi dengan tidak, maka petani di Sulteng dipastikan enggan untuk melakukan fermentasi. “Sebenarnya, petani selama ini rugi cukup besar. Yang untung justeru pedagang pengumpul dan pengimpor," kata kata Ahcrul yang juga pengusaha itu.
Ia berharap hal ini akan mendapat perhatian pemerintah. Pemerintah setempat perlu mengatur tata niaga kakao, khususnya membedakan harga biji kakao fermentasi dengan yang tidak. Jika biji kakao petani Sulteng sudah seluruhnya difermentasi, maka konsumen tidak akan ragu untuk membelinya dengan harga yang tinggi pula. “Sulteng daerah produsen kakao terbesar di Indonesia, tetapi sayang sekali biji kakao yang dihasilkan petani hingga kini belum juga difermentasi,” jelasnya.
Sementara Ketua Asosiasi Fermentasi Kakao Indonesia (AFKI) pusat Syamsuddin Said mengatakan, tanpa disadari oleh petani, setiap tahun mereka kehilangan penghasilan dari penjualan biji kakao mencapai ratusan miliar rupiah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar