Senin, 02 April 2012

Bertani ala Masyarakat Perkotaan


Lahan yang sempit tidak menjadi kendala untuk mewujudkan kemandirian pangan masyarakat. Bahkan dapat dijadikan sumber pangan yang sehat untuk konsumsi sehari-hari. Urban farming atau dapat juga disebut dengan urban agriculture, salah satu solusi pemberdayaan masyarakat perkotaan yang memiliki keterbatasan dalam ketersediaan dan kepemilikan lahan.
Juliana Astuti, selaku Ketua Gapoktan Johor, yang berada di Jalan Eka Rasmi, Gang Eka Rosa, Kelurahan Gedung Johor, Kecamatan Medan Johor mengatakan, prinsip utama dari urban farming adalah pemanfaatan lahan sempit di perkotaan sebagai lahan pertanian yang tidak hanya menghasilkan keuntungan tetapi juga membangun masyarakat yang kokoh secara sosial dan ekonomi.

"Masyarakat perkotaan yang kebanyakan landless atau tak punya tanah atau punya tanah tapi sedikit, dari sisi ketersediaan pangan, harus bisa diatasi sendiri," katanya, Sabtu (24/3).

Ia menjelaskan, perkotaan adalah suatu kawasan yang mana pembangunan fisik terjadi sangat masif. Lahan seluas apapun seolah tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan akan perumahan, pertokoan dan properti lainnya. Pembangunan tersebut tak jarang memasuki kawasan yang sebenarnya jauh lebih potensial sebagai kawasan pertanian yang dapat menopang perekonomian masyarakat bawah yang jumlahnya sangat banyak.

Akibatnya, lahan untuk pertanian semakin berkurang padahal sejatinya masyarakat Indonesia adalah masyarakat agraris yang tidak bisa dipisahkan dengan kerja-kerja di bidang pertanian. "Agar perkonomian bisa bertahan dengan lahan sempit, masyarakat harus dapat
memanfaatkannya sebagai lahan pertanian yang menghasilkan manfaat ekonomi," ujarnya.

Masyarakat perkotaan memang sangat beragam latar belakangnya. Namun secara budaya tetap saja lebih memiliki kedekatan di bidang pertanian. Masyarakat perkotaan berprofesi di luar pertanian disebabkan tidak adanya lahan yang bisa digarap menjadi lahan pertanian. Dengan demikian, lebih memilih menjadi buruh ataupun profesi lainnya.

Menurutnya bakat alami sebagai petani tetap melekat dalam dirinya. Ketika mereka memiliki lahan kecil yang bisa dimanfaatkan, mereka berhasil mengolah tanahnya sehingga menghasilkan keuntungan ekonomi. "Bakat itu harus digali, kemudian akan muncul dengan sendirinya," katanya.

Bukti lainnya, menurutnya, masyarakat perkotaan yang bertani tersebut bahkan dapat menciptakan teknologi pertanian mulai dari pola tanam, pemupukan dan teknik menghalau hama dengan cara yang mereka temukan di lapangan. Dari pola tanam sendiri petani sangat mengetahui bagaimana tanaman sayuran yang di dalam pekarangan tidak diganggu oleh hama yakni dengan menanam tanaman kacang panjang yang mengelilingi pekarangan, misalnya.

Begitu juga dengan pemupukan, mereka lebih memilih untuk menggunakan apa yang ada di sekitar sebagai bahan pupuk dan menghindari penggunaan bahan-bahan kimia. "Petani sudah mengerti, penggunaan pupuk organik yang didapatkan dari sekitar dapat mengurangi risiko terkena dampak residu kimia yang dihasilkan dari pupuk kimia," katanya.

Dengan kata lain, urban farming adalah salah satu gerakan kemandirian pangan yang melibatkan masyarakat perkotaan dari pemanfaatan lahan-lahan sempit yang masih tersedia yang mana dalam perawatan tanaman tidak menggunakan bahan-bahan kimia sehingga produk pertaniannya tidak tercemar oleh zat-zat yang dapat membahayakan kesehatan, lebih segar dan tahan lama. Begitu juga dengan petaninya, tidak terkena penyakit yang ditimbulkan dari bahan-bahan kimia dalam pupuk.

“Dengan konsep urban farming, terjadi hubungan yang erat antara petani dengan masyarakat konsumen. Hal ini misalnya bisa dilihat dari sistem jual beli yang mana konsumen dapat langsung mengambil di lokasi pertanaman atau diantar oleh pengantar setelah sebelumnya melakukan pememesanan,” jelasnya.

Di samping itu, masyarakat konsumen juga dapat melihat secara langsung bagaimana proses penanaman dan perawatan yang ramah lingkungan sehingga dapat dipercaya produk pertanian organik. "Kalau masyarakat konsumen sudah mengetahui proses pertanian organik, dari situ lah kemudian disepakati harga produk pertanian organik dengan harga sekian, misalnya," ujarnya.

Juliana mengatakan, dalam urban farming, khususnya di Gapoktan Johor, penentuan organik tidak berdasarkan penelitian di laboratorium sebagaimana umumnya. Ini disebabkan karena selain proses membawa ke laboratorium memakan waktu cukup lama sementara produksi dan kebutuhan tidak bisa ditunda. "Kita menggunakan participatory guarantee system, yang mana konsumen melihat dan mengetahui secara langsung proses sejak awal hingga akhir, maka dari situ bisa disebut sebagai organik," katanya sembari menambahkan konsep urban farming sudah dikembangkannya sejak tahun 2008.

Gapoktan Johor ini sendiri, dikatakannya beranggotakan 5 kelompok tani antara lain Kelompok Melati, Kelompok Tani Anggrek, Kelompok Tani Pedasur, Kelompok Tani Serasi dan Kelompok Tani Suka Mandiri menjadi binaan dari Serikat Petani Indonesia (SPI) Wilayah Sumatera Utara dan Sintesa dengan luas lahan pertanian yang dikelola seluas 10 hektare.

Masih bersama Juliana Astuti. Menurutnya, petani sudah mengerti bahwa penggunaan bahan-bahan kimia untuk pertanian akan berpengaruh pada produk dan tanahnya. "Pupuk yang digunakan petani di sini berasal dari sekitar, tidak ada bahan kimia yang akan membahayakan konsumen," katanya.
Ia menjelaskan, urban farming adalah upaya paling mudah menjamin bahan pangan mereka tidak diintervensi bahan kimia seperti pupuk pabrik, insektisida, dan pestisida. Apalagi bahan pangan organik cenderung lebih mahal daripada bahan pangan biasa. Selain itu, urban farming juga memudahkan masyarakat ataupun para vegetarian memenuhi kebutuhan sayuran segar, yang dipetik langsung dari pekarangan.

Dari Gapoktan Johor, dengan luas lahan 10 hektare yang tersebar di beberapa titik, 5 kolompok tani yang beranggotakan 90 orang tersebut tidak ada yang menggunakan pupuk kimia. Pupuk tersebut dihasilkan dari sampah organik rumah tangga atau kompos dari kotoran ternak yang kemudian diolah. "Penggunaan pupuk lebih memanfaatkan apa yang didapatkan di lingkungan sekitar," katanya.

Dengan demikian, produk sayuran seperti bayam, kangkung, kacang panjang, sawi, cabai, terung, buncis, ubi roti, pok choy, selada terbebas dari bahan-bahan kimia yang membahayakan kesehatan manusia. Petani juga membuat pestisida nabati yang berfungsi untuk mengalihkan perhatian hama agar memakan tanaman lain.

Dari pengalaman yang didapatkan petani, ternyata daun sereh dapat mengusir hama tanaman. Begitu juga dengan tanaman bunga tahi ayam dan kenikir, cukup efektif menghilangkan hama dengan cara alamiah. "Jadi, alam juga menyediakan segalanya untuk mengatasi persoalan, tapi harus dicari dulu," katanya.

Sejak awal dikembangkan, produk pertanian dari kelompok tani yang tergabung dalam Gapoktan Johor sudah berkomitmen untuk memproduksi pertanian secara organik. Apalagi produk organik tetap memiliki pasar yang tidak sedikit.

Julianti mengatakan, jika di tingkat petani saja sudah sadar akan pertanian organik, apalagi masyarakat konsumen semakin selektif memilih kebutuhan pangan mereka. "Untuk kebutuhan sayuran, di daerah Medan Johor sudah bisa dicukupi dari sini," katanya.

Untuk mendapatkan sayuran organik misalnya, dapat dengan cukup menelpon atau mengirim pesan dan sayuran akan diantar ke rumahnya. Salah satu cara yang dilakukan Gapoktan Johor untuk memasarkan produknya adalah dengan cara promosi Senin Hari Konsumen. Cara promosi ini adalah dengan menginformasikan kepada masyarakat bahwa di hari Senin petani akan melakukan panen sayuran.

Umumnya masyarakat, akan merespon dengan memesan sayuran dalam jumlah tertentu. "Bisa juga datang langsung kemari dan memetiknya sendiri," katanya.

Ia mengakui, dari sisi harga, produk pertanian organik lebih tinggi dari pada produk pertanian dengan cara umum. Selisih harganya berkisar Rp 2.000 per kg. Namun hal demikian tidak menjadi kendala berarti dalam pemasarannya karena sasaran masyarakat yang menjadi konsumen sudah mengerti bagaimana proses pertanaman, perawatan hingga pemasaran yang membutuhkan biaya lebih banyak dan tenaga disribusi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar