TASIKMALAYA . Keberhasilan petani dari Kabupaten Tasikmalaya mengekspor beras organik ke sejumlah negara sejak 2009 semakin menguatkan tekad pemerintah setempat untuk menjadikan Tasikmalaya sebagai lumbung pangan organik Jawa Barat. Untuk itu, saat ini luas lahan sawah organik yang akan diuji sertifikasi organik terus diperluas.
Terdapat 320 hektar sawah yang dikelola secara organik lebih dari lima tahun oleh petani. Sawah ini telah mendapat sertifikat organik internasional dan perdagangan berkeadilan dari The Institute for Marketology (IMO), sebuah lembaga sertifikasi internasional yang berbasis di Swiss. Dari sawah inilah beras dieskpor ke Amerika Serikat, Singapura, Malaysia, Jerman, dan Uni Emirat Arab (UEA).
"Kami sekarang sedang menyiapkan 50 hektar sawah yang akan diajukan sertifikasi sesuai Standar Nasional Indonesia (SNI). Kemudian ada juga 30 hektar sawah yang sudah dikelola secara organik selama tiga tahun yang akan diajukan sertifikasi ke IMO bersamaan dengan perpanjangan sertifikat untuk 320 sawah terdahulu. Di luar itu sedang dikembangkan juga 30 hektar beras hitam yang juga akan dikelola secara organik," tutur Kepala Bidang Produksi Padi dan Palawija Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Tasikmalaya Soni Prayatna, Minggu (23/1/2011).
Dengan modal sawah organik yang ada sekarang dan keberhasilan petani menembus pasar ekspor, kata Soni, pemerintah daerah bertekad menjadikan Kabupaten Tasikmalaya sebagai lumbung pangan organik di Jawa Barat. "Lumbung beras Jawa Barat bolehlah Karawang atau Indramayu, tapi lumbung pangan organik ya Kabupaten Tasikmalaya. Cita-cita jangka panjang kami ingin menjadikan seluruh sawah di Kabupaten Tasikmalaya yang seluas 49.565 hektar menjadi sawah organik," tuturnya.
Soni menambahkan, yang terpenting dari pengembangan sawah organik ini adalah terciptanya lingkungan ekosistem sawah yang sehat yang akan diwariskan kepada anak cucu kita.
Sementara itu, Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Simpatik Tasikmalaya yang selama ini mengekspor beras organik ke sejumlah negara sedang menantikan mesin penyortir warna beras dan alat vakum bantuan dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Tambahan alat penyortir warna diharapkan dapat meningkatkan kapasitas pengolahan beras dan menekan biaya produksi sortasi beras secara manual.
Ketua Gapoktan Simpatik Uu Saeful Bahri mengatakan, biaya untuk tenaga kerja penyortir beras mencapai Rp 16 juta untuk 18 ton beras. "Karena proses sortir dilakukan manual, produksi beras organik dalam sebulan hanya 18 ton. Padahal, dalam sebulan permintaan bisa lebih dari itu," ujarnya.
Pengalaman petani di Kabupaten Tasikmalaya, produksi padi organik dari 1 hektar sawah bisa mencapai 12 ton, sedangkan produktivitas sawah konvensional paling tinggi 7 ton per hektar. (kompas)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar