JAKARTA - Pelaku industri kelapa olahan nasional mendesak pemerintah untuk melarang ekspor buah kelapa (kelapa bulat). Pasalnya, saat ini, industri mulai kesulitan mendapatkan pasokan bahan baku dan dikhawatirkan akan menurunkan utilisasi pabrik.
Direktur Utama salah satu pemain di industri pengolahan kelapa, Sambu Group Tay Juhana mengatakan, apabila ekspor tidak bisa dihentikan, maka pihaknya meminta pemerintah untuk menerapkan bea keluar (BK) ekspor.
Dalam surat permohonannya kepada Menko Perekonomian pada 25 November 2010 lalu, Tay menjelaskan, akibat kekurangan pasokan bahan baku, utilisasi pabrik hanya 64,3 persen pada 2009.
"Dalam beberapa tahun terakhir, kami merasakan kesulitan mendapat bahan baku kelapa bulat. Akibatnya, kapasitas produksi tidak optimal. Berdasarkan pengamatan, diduga sebagian kelapa bulat (harmonized system/HS 0801.19.00.00) diekspor ke Malaysia tanpa dilengkapi dokumen dengan benar. Setiap bulan, sekira 15-20 juta butir kelapa bulat dijual ke Malaysia," kata Juhana dalam salinan suratnya di Jakarta, akhir pekan ini.
Menurut Tay, seharusnya kebutuhan kelapa bulat dari Sambu Group pada 2009 mencapai 840 juta butir per tahun. Namun, kata Tay, dia hanya bisa mendapatkan 540.192.000 butir. Maka dari itu, pihaknya mengusulkan agar pemerintah menerapkan BK kelapa bulat Rp200-Rp300 per butir atau per kilogram (kg). Tay mencontohkan, Filipina dan Srilanka telah menerapkan kebijakan yang melarang ekspor kelapa bulat.
Sementara itu, Marketing Development Officer Asian and Pacific Coconut Community Amrizal Idroes mengatakan, apabila ekspor kelapa bulat terus berjalan, maka industri pengolahan nasional tidak akan berkembang.
"Itu potensi kehilangan nilai tambah. Kami minta ekspor kelapa bulat dibatasi. Kami juga meminta pemerintah memperhatikan infrastruktur di daerah produsen kelapa. Karena tersebar, distribusi ke industri yang terpusat di Jawa dan Sumatera jauh," kata Amrizal.
Asisten Deputi Urusan Perkebunan dan Hortikultura Kemenko Perekonomian Musdhalifah Machmud dalam surat jawaban atas permohonan Direktur Utama Sambu Group menyatakan, penerapan BK kelapa bulat akan dikomunikasikan dengan instansi terkait. Namun, menurut Musdhalifah, penerapan BK bukan satu-satunya instrumen untuk membatasi eskpor kelapa.
“Yang dapat diupayakan, penertiban dokumen pengangkutan kelapa ke luar negeri dan meningkatkan daya tarik pasar di dalam negeri," tutur Musdhalifah.
Lebih lanjut Amrizal menjelaskan, industri berbasis daging kelapa di Indonesia terdiri atas beberapa sektor yakni minyak kelapa, santan cair dan bubuk, kelapa parut kering, dan kopra dengan produk jadi orientasi ekspor.
Selain itu, kelapa bulat juga digunakan untuk memproduksi coconut based activated carbon untuk penjernihan air dan memisahkan emas dari kandungan lain, filter rokok, serta bahan baku industri farmasi.
Amrizal memperkirakan, Indonesia mempunyai sekira 20 pabrik industri berbasis kelapa, di mana tujuh di di antaranya berlokasi di Sumatera, delapan di Sulawesi Utara, satu di Sulawesi Tengah, dan pulau Jawa.
Amrizal mengungkapkan, produksi kelapa bulat Indonesia sekira 16,5 miliar butir atau setara Rp12,37 triliun pada 2009 dari seluruh Indonesia. Devisa yang dihasilkan dari komoditas ini adalah sekira USD600 juta-USD1 miliar.
Dia menambahkan, pada minggu ini, harga kelapa bulat internasional berdasarkan referensi Bangkok adalah USD35 sen per kg. Sedangkan, harga minyak kelapa naik menjadi USD2.200 per ton per Jumat 28 Januari dibandingkan minggu lalu yang sebesar USD1.009-USD2.005 per ton. (SI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar