Berbicara bisnis tentu berbicara modal dan kemampuan. Karena modal merupakan bagian terpenting dalam menjalankan roda usaha. Tetapi tunggu dulu, modal yang paling penting tidak selamanya finansial atau uang. Melainkan kemauan dan tekad yang kuat untuk memulai usaha tersebut. Seperti yang dilakoni Tugimin. Pria yang hanya mengecap pendidikan kelas tiga sekolah dasar (SD) ini nyatanya mampu menghasilkan rupiah berkisar Rp 11,9 juta per bulan hanya dari penjualan ikan hias yang dikelolanya.
Tugimin, adalah salah seorang dari segelintir orang yang berpikiranmaju. Pria berkulit hitam manis ini tidak tampak seperti yang tidak
tamat SD, bahkan dari cara bicara dan gaya berpikirnya kita
menganggapnya ia seorang pakar atau ahli yang menyandang gelar sarjana.
Ya, itulah sosok seorang Tugimin saat ini. Pria berusia 58 tahun ini
telah berubah menjadi sosok pria yang sukses.
Padahal bila dilihat dari masa lalunya, Tugimin hanyalah seorang pria yang miskindan tidak memiliki apa-apa. Ia hanya seorang petani padi sawah biasa yang hanya berharap rupiah saat panen tiba. Bahkan setelah ia menikahi istrinya Kaliem, kemiskinan makin mendera kehidupan mereka terlebih saat buah hatinya (anak-anaknya) lahir. Hasil panen dan penjualan gabah yang diperoleh pun tidak lagi mampu mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.
Tidak mau menerima keadaan hidup begitu saja, Tugimin pun memutar otak mencari usaha yang bisa dikerjakannya sesuai dengan kemampuannya. Dan, ia pun memilih usaha pembesaran ikan mas. Usaha itu dilakoninya sekira tahun 1990 an di kediamannya di Dusun I, Desa Karang Anyar, Kecamatan Beringin, Deliserdang, Sumatera Utara (Sumut).
"Dulu hidup kami sangat susah, penghasilan saya sebagai petani padi tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Kami dikarunia Tuhan 6 orang anak yang membutuhkan biaya sangat besar karena anak-anak masih kecil waktu itu," kenang Tugimin saat memulai obrolannya.
Pria yang suka guyon ini menuturkan, kalau dulunya ia mengawali usahanya hanya untuk pembesaran ikan mas saja. Ikan yang dibesarkan pun tidak terlalu banyak karena terbentur dengan keterbatasan modal. Sementara anakan dibeli dari penangkar ikan lainnya. Hingga akhirnya ada temannya yang menawarkan untuk memelihara ikan hias.
Waktu itu sekira tahun 1998, namun, tak mau putus asa, Tugimin tetap serius menjalani usaha barunya itu. Ia selalu mengumpulkan sisa hasil penjualan untuk pengembangan usahanya. Selama dua tahun lamanya Tugimin hanya membesarkan saja, sampai akhirnya sekira tahun 2000, dia memberanikan diri untuk mencoba memijahkan sendiri ikan dewasa yang telah dibesarkannya.
Didampingi putri ketiganya Sutinah (34) yang kini mengelola manajemen keuangan dan administrasi di usaha peternakan miliknya, Tugimin mengakui, dulunya proses pemijahan yang dilakukannya sering gagal. Wajar saja, karena ilmu yang dimilikinya sangat terbatas. Ia hanya belajar secara otodidak dari sifat-sifat alami ikan itu sendiri.
"Saya belajar sendiri dari ikan-ikan itu. Saya selalu mencari tahu apa yang cocok untuk ikan-ikan ini, bagaimana mereka melakukan perkawinan sampai apa yang bisa ditambah agar saat perkawinan terjadi ikan merasa lebih aman, semuanya itu saya pelajari secara otodidak," akunya.
Gagalnya proses pemijahan dilakukan Tugimin, karena dia belum mengetahui cara yang tepat untuk pengembangan anakan yang baru ditetaskan. Anakan yang baru lahir habis dimakan hama yang biasa disebutnya dengan istilah gambo-gambo.
Biasanya gambo-gambo memakan sampai habis anakan yang baru menetas hingga bersia satu minggu. Sementara untuk anakan usia 1 hingga 2 minggu akan diserang hama larva capung yang masih hidup di dalam air.
"Waktu itu saya sempat kaget, hasil pijahan saya kerap sekali habis tak bersisa. Ternyata semakin saya perhatikan dan pelajari, kedua hama tersebutlah yang memakan anakan ikan hasil pijahan saya. Saya pun mencoba lebih intens lagi merawat ikan hasil pijahan saya selanjutnya. Hingga saat ini, saya masih tetap belajar untuk merawat bayi-bayi ikan hasil pijahan itu," paparnya.
Buah kerja keras Tugimin pun telah memberanikan dirinya membangun impian besar dalam hidupnya. Waktu masih hidup susah dulu, Tugimin selalu berharap bisa membahagiakan kedua orangtuanya. Namun, saat itu dia tak bisa berbuat banyak karena keterbatasan ekonomi yang dideritanya. Tapi kini, Tugimin sudah bisa tersenyum puas, hasil jerih payahnya bisa membahagiakan ibunya yang telah renta.
Bahkan Tugimin telah merencanakan untuk naik haji tahun depan guna memenuhi impiannya memijakkan kaki di Kota Suci Makkah. "Dulu saya selalu terpana setiap kali lihat orang berangkat atau pulang naik haji. Selalu terngiang di telinga saya, kapan ya saya bisa seperti mereka? Tapi kini impian itu terasa semakin dekat dalam kehidupan saya," ujarnya sembari tersenyum. (analisa)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar