Oleh : Ir.Immanuel Otto S.Siahaan.
Akhir-akhir ini sering terjadi sengketa diatas lahan kebun
PT.Perkebunan Nusantara II (PTPN II) yang berada disekitar perkotaan. Tulisan ini bermaksud mengupas secara ringkas persoalan tersebut melalui pendekatan sosial ekonomi, tanpa membahas soal status hukum dan tidak pula bermaksud memihak ataupun menyudutkan pihak-pihak yang bersengketa.
Usaha perkebunan di Sumatera Utara dimulai pada tahun 1863 dengan dibukanya perkebunan tembakau (Tembakau Deli) oleh Jacob Nienhuys di Labuhan. Perkebunan tembakau ini terus berkembang pesat menyebar di kawasan tanah Deli sekitar kota Medan dan Binjai. Keberadaan perkebunan tembakau ini juga berdampak sangat besar terhadap perkembangan perekonomian dan perdagangan di tanah Deli, sehingga kemudian kota Medan berkembang menjadi pusat perdagangan dan pemerintahan untuk wilayah Sumatera Timur (Wikipedia: Sejarah Kota Medan).
Akhir-akhir ini sering terjadi sengketa diatas lahan kebun
PT.Perkebunan Nusantara II (PTPN II) yang berada disekitar perkotaan. Tulisan ini bermaksud mengupas secara ringkas persoalan tersebut melalui pendekatan sosial ekonomi, tanpa membahas soal status hukum dan tidak pula bermaksud memihak ataupun menyudutkan pihak-pihak yang bersengketa.
Kemudian pada tahun 1911 perkebunan kelapa sawit mulai didirikan di Sumatera Utara. Perkebunan kelapa sawit ini juga berkembang pesat, hingga sejak awal 1980-an mulai melakukan ekspansi ke seluruh pulau Sumatera dan Kalimantan.
Riwayat PTPN II
Setelah kemerdekaan banyak perusahaan perkebunan di Indonesia yang dinasionalisasi menjadi BUMN termasuk Tembakau Deli yang kemudian berubah nama menjadi PTP IX. Akibat pengaruh booming kelapa sawit, pada awal 1980-an PTP IX mulai mengalihkan (konversi) sebagian lahannya menjadi kebun kelapa sawit dan tebu yang diikuti dengan pembangunan beberapa PKS dan PG. Sejak saat itu produksi tembakau terus menurun, hingga kemudian pada tahun 1996 dilakukan restrukturisasi BUMN, dimana PTP IX digabung dengan PTP II menjadi PTPN II. Saat ini dari seluruh lahan ex Tembakau Deli yang masih ditanami tembakau hanya di kebun Klumpang, selebihnya telah menjadi kebun kelapa sawit, tebu dan bahkan sebagian tidak ditanami dan digarap oleh masyarakat.
Masalah yang sering dihadapi PTPN II di lapangan saat ini adalah pencurian buah dan penyerobotan lahan. Diantara tiga BUMN perkebunan yang ada di Sumatera Utara saat ini, kelihatannya PTPN II yang paling terbebani dengan masalah non teknis ini. Hal ini tidak terlepas dari kenyataan bahwa banyak lahan kebunnya berada disekitar perkotaan.
Kepadatan Penduduk Sekitar
Pada tahun 1918 penduduk kota Medan masih berjumlah 43.826 jiwa (Wikipedia), kemudian berdasarkan Sensus Penduduk 2010 sudah berjumlah 2.109.339 jiwa dengan kepadatan kira-kira 8.000 jiwa/km persegi. Kalau diperhitungkan pembagian peruntukan lahan di kota Medan sepertiganya untuk fasilitas umum dan sosial, maka yang bisa dikuasai penduduk untuk lahan pemukiman dan usaha hanyalah duapertiga dari luas kota. Artinya setiap penduduk hanya bisa menguasai lahan rata-rata sekitar 82,5 meter persegi.
Di negara maju biasanya penduduk perkotaan mempunyai pekerjaan kantoran, tetapi di negara kita tidaklah demikian. Akibat sempitnya lapangan kerja maka banyak penduduk melakukan pekerjaan apa saja untuk menghidupi keluarganya. Dengan kondisi ekonomi yang sulit dan kepemilikan lahan yang sangat minim, sementara banyak orang dapat melihat dari jendela rumahnya kebun kelapa sawit yang berbuah dengan penjagaan minim atau lahan kosong yang luas tidak diusahai, maka banyak pulalah yang menjadi tergoda untuk secara bersama-sama atau sendiri-sendiri mencuri buah kelapa sawit atau menggarap lahan-lahan kosong milik perkebunan tersebut.
Kedua masalah yang sering dihadapi PTPN II itu (pencurian buah dan sengketa lahan) adalah persoalan di lapangan. Untuk lebih mengenali akar permasalahannya, ada beberapa hal yang perlu kita pahami yaitu tentang manajemen lapangan khas perkebunan dikaitkan dengan perkembangan demografi/kepadatan penduduk diwilayah sekitarnya, serta kelayakan usaha perkebunan dikaitkan dengan nilai investasinya.
Manajemen Lapangan di Perkebunan
Unit produksi terkecil didalam pengelolaan sebuah perkebunan skala besar adalah afdeling, suatu lahan produksi dengan luas sekitar 400 sampai dengan 800 ha untuk kebun kelapa sawit dan 200 sampai dengan 400 ha untuk kebun karet (tergantung keadaan medan/topografinya). Ujung tombak perusahaan di afdeling ini adalah mandor (perawatan, pemupukan dan panen) serta centeng. Hirarki penguasaan lapangan didalam suatu perusahaan perkebunan kira-kira sebagai berikut: Direksi -->Administrateur (ADM)-->Asisten Kepala dan Papam -->Asisten Afdeling -->Mandor (3 orang) dan Centeng. Suatu perusahaan perkebunan besar biasanya memiliki beberapa kebun maka biasanya direksi tidak berada di kebun, melainkan di "kantor besar". Sedangkan pekerja lapangan yang diawasi oleh mandor biasanya adalah para Buruh Harian Lepas (BHL) yang hanya menerima upah harian dari pemborong (pihak ketiga) sehingga boleh dibilang tidak mempunyai ikatan batin atau tanggungjawab moril terhadap keberadaan perusahaan. Dengan demikian maka yang benar-benar secara fisik dan mental mewakili perusahaan di kebun dan menjadi "penguasa" kebun adalah mulai dari ADM hingga Mandor dan Centeng, sehingga kalau dihitung jumlah SDM yang menguasai secara penuh suatu afdeling seluas ratusan hektar hanyalah sekitar 8-10 orang. Dengan minimnya jumlah SDM yang mengawasi lahan kebun yang sangat luas, tentu sulit bagi perusahaan untuk berhadapan dengan desakan kebutuhan lahan tempat tinggal dan usaha dari penduduk sekitar kota seperti telah diuraikan diatas.
Pada masa awal berdirinya perkebunan ketika kepadatan penduduk masih rendah, masalah seperti ini jarang terjadi dan usaha perkebunan berjalan lancar. Besar kecilnya keuntungan perusahaan hanya bergantung pada fluktuasi harga komoditas yang diusahai dan kemampuan manajerial pimpinannya. Namun sekarang dengan himpitan perkembangan populasi masyarakat sekitar, beban perusahaan semakin bertambah dengan pekerjaan-pekerjaan ekstra yaitu okupasi (penguasaan kembali) lahan dari penggarap serta pengamanan ekstra untuk mengurangi pencurian buah.
Kelayakan Usaha Perkebunan di Sekitar Kota
Kalau ditinjau secara profesional, usaha perkebunan diatas lahan sekitar perkotaan sebenarnya tidaklah layak usaha. Harga tanah disekitar kota Medan saat ini sudah tinggi sehingga nilai aset perusahaan berupa lahan disekitar kota bisa mencapai Rp 1 M per hektar. Kalau ditambah dengan investasi awal untuk tanaman (land clearing, bibit dan pemeliharaan/pupuk TBM) maka nilai aset plus investasi bisa mencapai lebih dari Rp 1 M/ha.
Produksi kebun kelapa sawit secara umum adalah sekitar 12 - 25 ton/ha/thn. Kalau diambil rata-rata produksi buah 18 ton/ha/thn, dengan harga TBS Rp 1.500,-/kg maka hasil kotornya adalah Rp 27 juta/ha/thn. Setelah dipotong biaya produksi maka tinggallah hasil bersih sekitar Rp 15 juta/ha/thn, itupun kalau lahannya bisa ditanami secara penuh dan tidak ada pekerjaan-pekerjaan ekstra seperti diuraikan diatas. Secara awam saja kita bisa menilai bahwa usaha dengan nilai aset plus investasi mencapai lebih dari Rp 1 M tetapi perolehan keuntungannya hanya Rp 15 juta/thn adalah sesuatu yang kurang layak dikerjakan.
Relokasi atau Diversifikasi Usaha
Untuk menghindari masalah tersebut berlarut dan terus menggerogoti kesehatan perusahaan, perlu diambil kebijakan yang sedikit radikal antara lain:
1. Memindahkan lokasi perkebunan ke wilayah yang masih jarang penduduknya namun secara teknis (topografi dan kesuburan tanah) cukup layak diusahai. Hal ini dapat ditempuh melalui kordinasi dengan instansi pemerintah/pertanahan, misalnya dengan melepas HGU lahan-lahan disekitar perkotaan dan diganti dengan lahan yang jauh dari kota.
2. Karena perkebunan disekitar kota sudah kurang layak usaha, maka PTPN II juga perlu mencari dan mempertimbangkan peluang-peluang usaha lain diatas lahan HGUnya, misalnya dalam bidang properti berupa pembangunan perumahan atau kawasan industri.
Baru-baru ini PT.Telkom mengumumkan rencananya untuk melakukan diversifikasi usaha ke bidang perhotelan, dengan memanfaatkan aset-aset gedungnya yang tersebar di banyak kota. Kenapa PTPN II tidak? Apalagi belakangan ini semakin menghangat wacana perluasan kota Medan. Kalau terus dibiarkan tanpa perubahan maka PTPN II akan semakin terhimpit perkembangan kota. ***
Penulis adalah alumnus F.T.Sipil Unpar, tinggal di Medan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar