Medan. Impor beras yang masih dilakukan pemerintah dalam memenuhi kebutuhan produksi di dalam negeri harus dapat dihentikan, dengan mengoptimalkan alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2012 sebesar Rp 17,8 triliun di Kementerian Pertanian. Pengamat Ekonomi Universitas Sumatera Utara (USU) Jhon Tafbu Ritonga mengatakan, dana yang dialokasikan pemerintah untuk Kementerian Pertanian sebesar Rp 17,8 triliun bisa didorong dalam peningkatan sub sektor pangan, irigasi yang bagus serta penyebaran benih dan pupuk yang lancar.
"Pemerintah pusat hingga kabupaten/kota harus benar-benar fokus dalam mengupayakan target produksi tanaman pangan khususnya padi di tahun depan, sehingga tidak perlu lagi melakukan kebijakan impor yang lebih besar menyerap dana," ujarnya, Kamis (18/8).
Dikatakannya, nilai absolut dana tersebut memang banyak tapi mengingat sektor pertanian penyerap tenaga kerja, maka angka APBN itu menjadi kecil. Masih jauh di bawah dibanding dengan subsidi utang perbankan, BBM dan energi. "Lebih 40% sektor ini penyerap tenaga kerja terbanyak, jadi anggaran yang dialokasikan menjadi kecil," katanya.
Untuk kebijakan impor beras sendiri, lanjut Ritonga, pemerintah harus dapat mengontrol penggunaan budget yang bagus dan lancar. Dana Rp 17,8 triliun jangan dijadikan Sisa Lebih Penggunaan Anggaran (Silpa).
Kalau saja pencapaian produksi padi di Indonesia dapat meningkat hingga aman dalam stok kebutuhan nasional, maka tidak diperlukan impor dari luar negeri seperti dari Vietnam dan Thailand. Apalagi Indonesia masih menjadi negara agraris yang lahannya subur dan dapat ditanam komoditi apapun. "Pemerintah harus kerja ekstra giat dalam meningkatkan produksi padi. Sarana dan prasarana pertanian yang dibutuhkan di lapangan harus dapat terpenuhi ditambah lagi dengan peningkatan teknologi," jelasnya.
Sementara untuk pertumbuhan ekonomi 6,5% dengan alokasi APBN 2012 senilai Rp 1.418,5 triliun, ditambahkan Ritonga, dapat tercapai dengan catatan belanja investasi dan rutin ke sektor-sektor ekonomi berjalan lancar atau daya serap anggaran optimal.
Menurutnya, nilai APBN itu cukup besar dan secara relatif juga lumayan dengan arti dampak pertumbuhannya besar tapi tidak cukup untuk mendorong tercapainya hingga di atas 6,7%.
"Masih sangat penting dan dominan roda ekonomi swasta ditingkatkan, namun itu juga kembali lagi pada pemerintah untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif," imbuhnya.
Penasihat Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Sumut, MPL Tobing meminta pemerintah meniadakan impor beras untuk tahun depan, karena dikhawatirkan harga jual produksi petani anjlok dan menghancurkan petani.
"Pemerintah seharusnya dapat membantu petani di dalam negeri dalam harga pemasaran dan peningkatan produksi dibandingkan melakukan impor beras. Dengan APBN yang diterima kementerian pertanian diharapkan dapat membantu dalam penyediaan sarana dan prasarana termasuk distribusi pupuk dan benih bersubsidi serta irigasi," ujarnya.
Impor beras yang telah dilakukan hanya menguntungkan oknum-oknum dari pemerintah. Sebab selama ini berdasarkan data Indonesia bisa swasembada beras tapi realisasinya tetap saja melakukan impor. "Berarti data selama ini hanya bohong. Pemerintah lebih memilih impor untuk mencari keuntungan sendiri, dibandingkan membantu petani dalam menghasilkan produksi beras di dalam negeri," ungkapnya.
Belum Terganggu
Sementara Kepala Dinas Pertanian Sumut, Muhammad Roem, menyatakan, kebijakan impor beras belum menganggu produksi dan harga beras ditingkat petani. "Sampai saat ini harga gabah lokal masih tinggi atau diatas HET, jadi petani masih untung. Dengan begitu berarti impor beras belum mengganggu," katanya.
Memang yang dikhawatirkan selama ini, tambah Roem, masuknya beras impor akan melemahkan harga beras lokal. Tapi karena beras impor tidak dilepas ke pasar, membuat harga gabah petani tetap bertahan tinggi. "Namun begitu, Bulog tetap harus selektif atau tetap sasaran seperti untuk kebutuhan Raskin. Saat harga gabah lokal turun, Bulog harus hentikan impor dan bahkan membeli gabah petani," tuturnya.
Sedangkan untuk produksi padi hingga Mei 2011, sudah mencapai 1,86 juta ton dari realisasi panen 390.051 hektare dan tanam 242.968 hektare. Sedangkan target produksi pada Angka Ramalan II (ARAM II) 2011 mencapai 3,6 juta ton Gabah Kering Giling (GKG) atau naik dibandingkan dengan produksi padi 2010 sebanyak 3,58 juta ton. "Target produksi kita memang naik pada Aram kedua ini. Melihat dari iklim di Sumut, kita optimis target dapat teralisasi," pungkasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar