Jakarta. Pemerintah akan memberlakukan bea keluar pada beberapa olahan kelapa sawit pertengahan September ini. Menurut Wakil Menteri Pertanian Bayu Krisnamurthi, pada 15 Agustus lalu Menteri Keuangan telah menandatangani Peraturan Menteri Keuangan Nomor 128/PMK.01/2011 tentang perubahan atas PMK 67 Tahun 2010 tentang penetapan bea keluar dan tarif bea keluar.
"Aturan ini guna mendorong hilirisasi industri kelapa sawit," kata dia ketika berbincang dengan wartawan di ruang kerjanya, Kamis 25 Agustus 2011. Aturan ini berlaku sebulan usai ditandatangani.
Bayu menyatakan baik PMK 67 maupun PMK 128 bertujuan untuk stabilisasi harga minyak goreng. Pada saat PMK 67 dibuat isu utama yang dihadapi adalah stabiitas harga minyak dalam negeri.
Menurutnya, selain mempertahankan kebijakan stabilitas harga minyak goreng, PMK 128 ini juga untuk mendorong hilirisasi industri sawit. Perubahan yang konkret dalam aturan baru ini adalah semakin hilir produknya, bea keluarnya semakin rendah.
Bayu mencontohkan, pada PMK 67 bungkil alias ampas perasan kelapa sawit tidak masuk daftar barang ekspor yang kena bea keluar. "Namun pada PMK 128 kena bea keluar sebesar 20 %," ujarnya. "Walaupun bahan mentah, bungkil sebenarnya bisa dikembangkan untuk industri hilir atau untuk energi."
Dalam PMK 128 Kementerian tetap berpihak pada produk yang dalam kemasan bermerek sampai batas kurang dari 20 kilogram masih tetap dapat bea keluar yang lebih rendah. "Ini untuk mempromosikan produk Indonesia,"" kata dia.
Pada pengelompokan produk sawit, menurut Bayu, hampir seluruhnya konsiten pada hilirisasi. Semua produk dalam bentuk crude (kasar) dalam satu kelompok. Sedangkan yang lebih halus (sudah diolah), bea keluarnya akan lebih rendah. Untuk batasan tarif, pada PMK 67 jika harga CPO mencapai US$ 700 per ton bea keluar baru berlaku. Sedangkan pada PMK 128 bea keluar berlaku jika harga CPO US$ 750 per ton. Tiap harga CPO naik US$ 50, bea keluar naik 1,5 %. Batas atas bea keluar adalah 22,5 % di harga US$ 1.250.
Misalnya bea keluar produk hilir RBD (refine bleach deodorise) palm oil sebelumnya maksimum mencapai 25 %, pada PMK 128 maksimum hanya 10 %. Untuk CPO, aturan lama mengenakan bea keluar 25 %, yang baru 22,5 %.
Kebijakan ini, kata Bayu, menunjukkan kebijakan lebih pro pada hilirisasi. Bayu akan mendorong agar nilai tambah itu banyak diperoleh dalam negeri. "Kalaupun diekspor, produknya lebih hilir lagi," kata dia.
Saat ini produksi CPO Indonesia mencapai 20 juta ton lebih. Menurut beberapa lembaga internasional tahun ini Indonesia akan memproduksi 24 juta ton dan mengekspor 18 juta ton di antaranya. Bayu sendiri memperkirakan angka produksi CPO mendekati 22,5-23 juta ton mengekspor 17 juta ton.
Saat ini hasil CPO lebih banyak diekspor ketimbang diolah dalam negeri. Jika produksi kita 20 juta ton saja, yang diolah di dalam negeri untuk minyak goreng sekitar 6-7 juta ton, diolah untuk chemical dan biofuel sekitar 1,5-2 juta ton. "Sisanya masih dijual dalam bentuk CPO," kata dia.
Pasar ekspor CPO terbesar terdapat di India, Cina, dan Eropa. Setelah ada PMK 28 ini industri diharapkan terdorong untuk mengolah CPO lebih lanjut menjadi produk-produk industri daripada mengekspor dalam bentuk CPO.
Kebijakan ini, kata Bayu, tidak bertujuan mematikan ekspor CPO. "Pasarnya ada," kata dia. Perusahaan Indonesia, kata dia, banyak memiliki perusahaan di luar negeri yang menyiasati perbedaan bea masuk itu terhadap harga dunia. Misalnya India memberlakukan bea masuk yang lebih tinggi pada prodk hilir dibanding CPO. Maka pengusaha Indonesia membangun pabrik di India.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar