Tampilkan postingan dengan label kelapa sawit. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kelapa sawit. Tampilkan semua postingan

Minggu, 01 Mei 2011

Berita Pertanian : "Green Product" Sawit RI ke Eropa

Jakarta. Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pertanian melakukan kampanye green product (produk ramah lingkungan) kelapa sawit kepada dua negara Eropa, yakni Spanyol dan Prancis guna mengantisipasi isu negatif tentang komoditas tersebut terkait dengan lingkungan.

Menteri Pertanian Suswono di Jakarta, Sabtu, mengatakan, misi kegiatan palm oil campaign tersebut untuk menyampaikan informasi dan mengkomunikasikan kebijakan serta upaya mengembangkan industri kelapa sawit nasional dengan memperhatikan prinsip keberlanjutan (sustainability).

Selain itu, lanjutnya ketika menyampaikan hasil kunjungan ke Madrid, Spanyol, dan Paris, Prancis, guna menyampaikan perhatian dan keberatan Indonesia terhadap pandangan negatif LSM pada pengembangan kelapa sawit dan aturan negara importir yang berdampak negatif terhadap ekspor minyak sawit.

"Kegiatan ini dalam bentuk seminar dan pertemuan dengan pejabat terkait di kedua negara," katanya.

Dalam pertemuan dengan Menteri Lingkungan, Pedesaan dan Perikanan Spanyol, Suswono menjelaskan komitmen pemerintah Indonesia dalam implementasi Indonesia Sustainable Palm Oil System dan peduli terhadap kriteria lingkungan yang tercantum dalam energi langsung terbarukan (Renewable Energy Directive/RED) yang berpotensi sebagai non-tarif barrier dalam perdagangan.

Begitu juga ketika bertemu dengan Menteri Pertanian Prancis, Suswono kembali menyampaikan perhatian Indonesia terhadap kriteria lingkungan yang tercantum dalam RED.

"Pemerintah Prancis dapat memahami pandangan Indonesia dan mengharapkan dapat memperoleh masukan dari hasil penelitian tentang minyak sawit yang dapat digunakan sebagai evaluasi kebijakan terkait dengan penggunaan sawit di negara tersebut," katanya.

Selain ke Spanyol dan Prancis, Indonesia juga akan melakukan kampanye serupa ke Amerika Serikat yang rencananya melalui kunjungan Menteri Pertanian pada 23 Mei 2011.

"Kita akan menjelaskan secara gamblang bagaimana pengembangan kelapa sawit di Indonesia," katanya.

Selain itu, tambahnya, pihaknya juga akan menyerahkan orang utan kepada kebun binatang di AS untuk menunjukkan perhatian pemerintah terhadap satwa tersebut terkait pengembangan industri sawit.

Menurut Suswono, kampanye negatif terhadap kelapa sawit Indonesia yang dilakukan negara-negara maju dengan mengangkat isu lingkungan sebenarnya lebih berdasarkan karena persaingan dagang bukan semata-mata lingkungan.

Dikatakannya, saat ini penggunaan lahan untuk pengembangan kelapa sawit di Indonesia hanya sekitar enam persen dari luas hutan di tanah air yang mencapai 137 juta hektar.

Selain itu, tambahnya, perkebunan kelapa sawit memberikan kontribusi sekitar 45-46 persen terhadap pengurangan emisi karbon.

Mengenai ekspor minyak sawit Indonesia ke Uni Eropa, Suswono mengungkapkan, pada 2008 mencapai 4,36 juta ton (2,73 miliar dolar AS) kemudian naik menjadi 4,79 juta ton (2,16 miliar dolar AS) pada 2009 dan 4,06 juta ton pada 2010 (2,61 miliar dolar AS).

Sedangkan ekspor CPO pada 2008 sebanyak 1,76 juta ton (1,4 miliar dolar AS) naik menjadi 2,36 juta ton (1,4 miliar dolar AS) pada 2009 dan turun menjadi 2.22 juta ton (1,77 miliar dolar AS) pada 2010.(ant)

Selasa, 05 April 2011

Berita Pertanian : Dampak Kemarau, Panen Sawit Turun 50%

Jambi. Musim kemarau di kawasan transmigrasi kecamatan Sungai Bahar, Kabupaten Muarojambi, berakibat turunnya produksi panen Tandan Buah Segar (TBS) sawit bahkan sampai 50%. "Dampak kemarau sudah semakin terasa, bencana kekeringan semakin nyata mengancam. Meski baru dua pekan, musim kemarau dimulai tersebut sudah berakibat pada menurunnya panen TBS masyarakat hingga 50 persen," kata Sekretaris desa Unit 13 desa Transmigrasi Sungai Bahar M Yani, saat dihubungi di Jambi, Senin (4/4).

Lebih jauh, Yani merinci, produksi TBS yang dipanen masyarakat dalam musim panen selama dua minggu terakhir turun drastis antara 50-60 persen. "Biasanya untuk lahan satu hektare masyarakat bisa memanen satu ton. Saat ini hanya bisa menghasilkan lima kwintal, jadi sangat drastis sekali menurunnya. Para petani mulai resah karena kuwatir akan terjadi gagal panen besar-besaran dalam bulan-bulan ke depannya," terang Yani.

Bencana kekeringan diakuinya pada 2011 ini mengintai perkebunan sawit menyusul terjadinya perubahan cuaca ekstrim yang diprediksi para ahli iklim dan cuaca terjadi pada 2011-2012.

Kondisi tersebut jelas meresahkan masyarakat karena tanaman sawit sangat rawan terhadap ketersediaan air. TinPanen Sawitgkat konsumsi air pohon-pohon sait memang sangat besar, sebatang sawit sedikitnya membutuhkan 2000 liter air setiap harinya.

"Saat ini, warga masyarakat kita beri penyuluhan untuk bersabar dan bersiap diri menghadapi terbesar dari kemungkinan terjadinya musim kemarau paling ekstrim pada tahun ini. Kita hanya bisa meminta warga untuk berhemat atau tidak hidup boros,"" kata Yani.

Pasalnya, tambahnya, selama ini semenjak semakin berkembangnya sawit di pasaran kehidupan para petani pun berubah drastis karena peningkatan perekonomian dan kesejahteraan yang terus meningkat.

Tanda-tanda akan dimulainya musim paceklik kekeringan tersebut kini sudah semakin jelas terlihat. Kanal-kanal air dalam areal perkebunan yang menjadi sumber air cadangan bagi tanaman sawit selama ini kini sudah kering, debit air sungai semkin menyusut, sumur-sumur di rumah warga pun sudah mengering.

Selain itu, satwa-satwa air pun seperti ikan-ikan ditemukan banyak yang mati terdampar di pinggir sungai. Burung-burung belukar pun banyak yang ditemukan mati di semak-semak."Kita sudah mengingatkan kalau musim kemarau ini berlangsung terus menerus dalam dua bulan ke depan, maka bukan tidak mungkin seluruh kawasan Transmigrasi di Sungaibahar akan mengalami bencana kekeringan paling hebat dalam tahun ini. Kita juga mengharapkan pemerintah juga bisa secepatnya bergerak mengantisipasi kondisi yang bisa memicu konflik sosial tersebut sedini mungkin," tandasnya. (ant)

Selasa, 08 Maret 2011

Berita Pertanian : Aktivitas Bisnis Kelapa Sawit Ancam Keanekaragaman Hayati


Seirampah. Indonesia merupakan negara penyumbang terbesar penghasil kelapa sawit di dunia dan sejak 2007 telah menggeser Malaysia yang beberapa masa memegang predikat tersebut. Aktivitas bisnis kebun kelapa sawit mengalami perkembangan pesat, namun aktivitas tersebut potensial mengancam hilangnya keberadaan keanekaragamaan hayati.

Hal tersebut diungkapkan Ir Bambang Dwi Laksono saat menjadi narasumber program CSR 2011 pelatihan petani kebun kelapa sawit di lingkungan PT PP London Sumatra (Lonsum) Indonesia Tbk, Selasa (2/3) di Rambong Sialang Training Center (RSTC), Seirampah, Serdangbedagai.

Menurutnya, keanekaragaman hayati terancam hilang bila aktivitas bisnis kebun kelapa sawit tidak memperhatikan dan mempertimbangkan kepentingan lingkungan yang sangat sensitif serta potensial menimbulkan konflik antara satwa dengan masyarakat dan perusahaan.

Dipaparkan Bambang, bicara tentang bisnis perkebunan kelapa sawit tidak lepas dari 3 lingkaran menghimpit yakni, produksi, sosial dan lingkungan. Ketiga aspek tersebut harus menjadi perhatian petani dan perusahaan yang bergerak dibidang kelapa sawit serta tidak bisa tidak.

Hal mendasar dari aktivitas bisnis kelapa sawit tentu meningkatkan produksi karena orientasinya terkait bisnis menguntungkan, akan tetapi bukan produksi saja yang harus diperhatikan. Kehidupan sosial dan lingkungan sekitar juga tidak boleh diabaikan terlebih lingkungan.

Pengabaian terhadap lingkungan berdampak bukan saja rusaknya lingkungan, melainkan akan menimbulkan konflik luas baik terhadap satwa yang berkembang di areal perkebunan maupun kepada aktivis-aktivis lingkungan seperti LSM dan lain sebagainya. "Jadi, fokus pertimbangan terhadap lingkungan memang perlu dilakukan" ujarnya.

Pemantauan

Untuk itu, petani kebun kelapa sawit harus melakukan pemantauan terhadap keanekaragaman hayati baik udara, tanah dan air dampak dari aktivitas kebun kelapa swit tersebut. Terutama terkait penanganan terhadap pengelolaan hama secara terpadu dengan memanfaatkan secara alami seperti, membiakkan burung hantu dan bunga pukul delapan menjadi ‘predator’ yang mengusir hama semacam, tikus dan lain sebagainya.

Sedangkan penggunaan pestisida hanya sebagai alternatif terakhir bila penanganan secara alami tidak berhasil mengingat isu pemanasan global yang menyebabkan gas rumah kaca.

Ketidakpahaman petani rakyat terhadap bahaya mengabaikan lingkungan ini menurut Bambang bukan dikarenakan kebodohan mereka, tetapi disebabkan kurangnya sosialisasi tentang hal tersebut. (analisa)

Selasa, 01 Maret 2011

Berita Pertanian : Petani Bengkulu Keluhkan Harga Kelapa Sawi Turun



Bengkulu. Para petani dan pedagang pengumpul tandan buah (TBS) segar kelapa sawit mengeluhkan harga pada tingkat pabrik sepekan terakhir turun.

"Kami punya stok dengan harga rata-rata Rp1.500 per kilogram, tiba-tiba harga pada tingkat pabrik turun menjadi Rp1.600 dari sebelumnya Rp1.885 per kilogram," kata seorang pedagang buah kelapa sawit, Yahyo, Minggu.

Turun drastsinya harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit itu sebagian besar pedagang pengumpul mengalami rugi, karena harga beli dengan petani rata-rata Rp1.500 per kilogram.

Biasanya petani sebelum menjual buah sawitnya sudah mengambil uang muka rata-rata separuh dari volume buah sawit mereka yang akan dijual dengan harga Rp1.500 per kilogram.

Melihat kondisi harga turun mendadak itu pihaknya membeli buah kelapa sawit kepada petani berkisar antara Rp1.300-Rp1.400 per kilogram dan tergantung kualitas buah termasuk biaya angkut ke pabrik.

"Biasanya kami menjual ke pabri pengolahan di Bengkulu Utara Rp1.700 per kilogram, sedangkan harga pada pabrik di Muara Enim, Sumsel Rp1.885 per kilogram," katanya.

Harga TBS kelapa sawit Rp1.400 itu berlaku untuk TBS berada dipinggir jalan aspal, sementara TBS jaraknya jauh didalam perkebunan dan sulit dijangkaun kendaraan roda empat dibeli dengan harga Rp1.250 per kilogram.

Seorang petani kelapa sawit di Arau Bintang, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Seluma, Muhidin, mengatakan bahwa harga saat ini lebih murah dan sortiran pedagang pengumpul cukup tinggi.

"Kami sangat terpukul dengan harga sawit secara mendadak tersebut karena sebelumnya sudah mengambil uang dengan pedagang tidak seimbang buah yang ada dijual," ujarnya.

Pinjaman uang itu bila tetap dengan harga awal Rp1.500 tidak begitu besar, namun dengan harga turun drastis sekarang cukup memberatkan, ujarnya.

Sementara itu, Kepala Sub Dinas Bina Usaha Tani Dinas Perkebunan Provinsi Bengkulu, Ir Riki, mengatakan bahwa fluktuasi harga sawit itu biasanya tergantung kebutuhan pabrik.

Harga pada tingkat petani tergantung jarak tempuh ke pabrik, kalau rata-rata jarak dibawah 30 kilometer dari pabrik harganya di atas Rp1.300 per kilogram.

Sebaliknya, bila jarak di atas itu harga beli buah kelapa sawit petani membeli rata-rata Rp1.100 per kilogram dan tergantung kualitas buah, katanya.

Jumlah pabrik kelapa sawit yang ada di Bengkulu sampai sekarang belum sebanding dengan luas perkebunan di daerah ini, sehingga memaksa sebagian TBS dibawa ke pabrik CPO di luar Bengkulu, antara lain Muara Enim, Sumsel.

Produksi TBS kelapa sawit yang dihasilkan petani mandiri di Bengkulu mencapai 2,2 juta ton naik dari sebelumnya 1,8 juta ton per tahun.

Dijelaskannya, luas perkebunan sawit di daerah ini mencapai 93.727 hektare atau 4,73 persen dari luas kawasan, baik perkebunan besar swasta maupun kebun masyarakat, dengan produksi rata-rata naik dari sebelumnya 851.821,17 ton per tahun.

Sentra perkebunan sawit di Bengkulu, terdapat di Kabupaten Bengkulu Selatan,Bengkulu Utara, Kota Bengkulu, Seluma , Kaur dan Kabupaten Mukomuko. (ant)

Rabu, 16 Februari 2011

Berita Pertanian : 1.000 Hektar Sawit Digunduli Hama Ulat Api

Jambi. Sedikitnya sekitar 1.000 hektare lahan sawit milik PT SAL di Kecamatan Tabir Timur dan Tabir Selatan Kabupaten Merangin, Jambi, dilaporkan telah gundul akibat diserang hama ulat api.

"Sekurang-kurangnya sudah 1.000 hektar lahan sawit di Tabir Timur dan Tabir Selatan telah gundul karena daunnya habis dimakan hama ulat api semenjak tiga pekan belakangan," ungkap Kadishutbun Ir. Syafri, di Bangko, Senin.

Semenjak mulai kasus serangan ulat api yang melahap habis daun-daun sawit hingga hanya menyisakan batang, buah dan sedikit lidi tersebut, pihak Dishutbun bersama petugas dari PT SAL dan Disbun Provinsi Jambi sudah melakukan tindakan pemberantasan hama.

"Kita semenjak sepekan lalu sudah menurunkan tim menangani serangan hama ulat api tersebut. Kita sudah melakukan tindakan Fogging (pengasapan) dan penyemprotan insektisida. Sudah 500 hektare sudah tertangani," terang Syafri.

Lebih jauh dia merinci, serangan ulat api tersebut adalah kasus pertama yang terjadi terhadap perkebunan sawit setidak di Kabupaten Merangin. Dia juga merinci 1.000 hektare lahan yang diserang tersebut berada di Desa Sungai Durian, Seri Sembilan, dan Bukit-bukit, serta beberapa desa yang berada dalam kawasan Betung Berdarah yang merupakan wilayah administratif Kabupaten Tebo.

Kasus tersebut, menurut Syafri sudah langsung mendapat respon dari pihak Dinas Perkebunan (Disbun) Provinsi Jambi dengan langsung memberikan peralatan fogging dan penyemprotan insektisida.

Menurut Syafri, serangan hama ulat tersebut memang hanya menyerang daun sawit dan tidak menyerang bagian lain seperti buah, sehingganya buah sawit tetap aman dan bisa diproduksi.

"Pohon sawit yang diserang tetap hidup atau tidak mati, hanya saja akibat serangan ulat api ini mengakibatkan pohon sawit mengalami kegundulan sehingga mengakibatkan tanaman kesusahan untuk melakukan fotosintesa memasak makanan di klorofil daunnya yang berguna untuk pertumbuhan sawit itu sendiri," terangnya.

Ditegaskan Syafri, akibat serangan ulat api yang menyebabkan kegundulan tersebut, tanaman sawit akan mengalami kegundulan terus-menerus hingga situasi kembali normal.

"Menurut analisa tim ahli kita, kondisi kegundulan itu tidak bisa kembali pulih dalam waktu singkat, minimal baru bisa kembali tumbuh normal dalam jangka waktu setahun. Kondisi ini tentu berpengaruh terhadap kemampuan berproduksi pohon-pohon sawit itu sendiri dalam jangka panjang," tandasnya.(ant)

Minggu, 06 Februari 2011

Berita Pertanian : Apkasindo Usul Penetapan Harga TBS Direvisi

Medan. Seringnya dikenainya pemotongan harga Tandan Buah Segar (TBS) di tingkat petani sekitar 5%, Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) meminta pemerintah untuk segera merevisi Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No 17 Tahun 2010 tentang Pedoman Penetapan Harga Pembelian Tandan Buah Segar Kelapa Sawit Produksi Pekebun.
Ketua DPP Apkasindo Anizar Simanjuntak mengatakan, pada peraturan tersebut Apkasindo minta sortasi (grading) total terhadap TBS produksi pekebun yang diterima pabrik sehingga mutu sesuai dengan ketentuan mutu. Selama ini TBS petani tetap di beli oleh supplier walaupun belum begitu matang. Namun dikenakan pemotongan hingga 5%.

"Ini jelas merugikan petani karena memengaruhi produksi tanaman secara keseluruhan. Seharusnya kalau belum matang, supplier tidak usah membeli. Begitu juga dengan pabrik kelapa sawit (PKS) menolak TBS yang belum matang dari supplier meski ada pemotongan," katanya saat konferensi pers di Medan, Jumat (4/2).

Menurutnya, jika ketentuan itu diterapkan, otomatis tidak ada pemotongan lagi sehingga petani dan PKS memeroleh keuntungan karena rendemen sudah sesuai standard. "Tindakan ini sekaligus mendidik karena selama ini petani tetap menjual walaupun belum matang karena ada pembeli. Padahal bisa memengaruhi tanaman keseluruhan, produksi akan rusak," jelasnya.

Dari hasil penelitian yang dilakukan pihaknya pada satu kelompok petani sawit, terbukti jika petani memanen saat matang maka produksi akan meningkat tajam. Sebelumnya, kelompok tani hanya menghasilkan 45 ton setiap sekali panen dan naik menjadi 89 ton. ”Apabila revisi ini disetujui dan komitmen dilaksanakan maka keuntungan besar akan diperoleh semua pihak,” tegasnya.

Selain itu, pemerintah juga harus memberikan insentif sebesar 4% yang telah ditetapkan pada Permentan. Sebab, selama ini insentif itu tidak pernah diterima petani dengan alasan TBS yang dimasukkan ke PKS banyak tidak sesuai dengan ketentuan dalam Permentan.

Padahal diketahui, sekitar 42% CPO dihasilkan dari petani dan sudah seharusnya petani menikmati hasil dengan tingginya harga CPO saat ini. Untuk harga TBS di tingkat PKS mencapai Rp 1.920 per kg dan di tingkat petani hanya berkisar Rp 1.470 hingga Rp 1.600 perkg. Dengan jauhnya perbedaan harga tersebut, petani tetap mendapatkan pemotongan dari pihak supplier dengan alasan kematangan yang kurang baik.

"Sanksi-sanksi yang tidak jelas pada PKS yang berani menerima TBS yang tidak sesuai standar belum ada. Seharusnya dengan otonomi daerah, pemda masing-masing segera membentuk tim pengawasan harga TBS dengan serius yang didalamnya Apkasindo siap untuk ikut sehingga hasil TBS petani lebih baik lagi dan tidak mengalami kerugian," kata Anizar. (MB)