Tampilkan postingan dengan label sayuran karo. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sayuran karo. Tampilkan semua postingan

Kamis, 07 Juli 2011

Berita Pertanian : Harga Sayur di Brastagi Berangsur Naik

Brastagi. Harga sayur di Brastagi, Tanah Karo kini berangsur-angsur naik, para petani mulai merasakan dampak kenaikan harga itu. Namun, bagi petani yang memiliki tanaman jeruk sekarang ini, sudah memasuki musim panen, tidak bernasib seperti para petani capcai atau petani tanaman muda.

Edi Sofyan dan T Purba. sebagai pengirim sayur mayur saat ditemui wartawan, Rabu (7/7) di pasar tradisional Brastagi dan pasar tradisional Kabanjahe mengungkapkan, memasuki minggu awal Juli ini, melihat pesanan sayur mayur dari luar daerah sedikit mengalami lonjakan, dengan demikian harga sayur pasti ikut naik.

Harga kol sudah mencapai Rp 1.300/kg, cabe merah Rp 12.000, kentang Rp 6000/kg, kentang merah Rp 7500/kg, wortel Rp 2600/kg, tomat Rp 4000/kg, kol bunga Rp 2700/kg, cabe rawait Rp 18000/kg, buah ropah Rp 160/ buah, Ubi Rambat Madu 1700/kg dan buah jeruk kualitas AB dari 6500/kg turun menjadi Rp 4500 / kg.

Kenaikan harga sayur saat ini, menurut para pengumpul itu, berkurangnya pasokan sayur mayur dari sentral pertanian, seperti Padang, Aceh, maupun dari luar negeri, yang belakangan ini sempat membanjiri pasar sayur di Medan.

Beberapa petani ketika di minta tanggapan mereka seputar kenaikan harga sayur mayur itu, di antaranya Dedy Tarigan mengungkapkan rasa gembiranya.

"Kenaikan harga ini, kami sedikit terbantu dengan biaya anak-anak sekolah, yang saat ini sudah mendekati masuk sekolah tahun ajaran baru, hingga kebutuhan bagi biaya anak cukup tinggi karena semua mesti baru," ungkapnya.

"Selaku petani, kami meminta kepada pemerintah, agar bisa mengontrol perdagangan sayur ini dengan baik. Jangan sempat sayur dari Tanah Karo ini tidak bisa terjual di daerah-daerah maupun luar provinsi. Jika tidak ada campur tangan pemerintah, kami khawatir memasuki hari-hari besar umat Islam, harga sayur mayur ini bisa anjlok kembali," ungkap Dedi selaku petani cabe di Desa Gurusinga.

Selasa, 05 Juli 2011

Berita Pertanian : Sayuran dari Berastagi Digemari Mancanegara

Medan. Sayuran asal Berastagi seperti kentang, sawi dan kol yang banyak dihasilkan di Kabupaten Karo, ternyata banyak diminati pengusaha mancanegara asal Malaysia, Taiwan dan Singapura untuk dijadikan komoditas ekspor unggulan, karena kualitas sayur dari daerah tersebut cukup terjamin.
Hal tersebut dikatakan Staf Informasi Pasar Dinas Pertaniaan Sumatera Utara, Zainal Abdi SP, saat ditemui di ruang kerjanya, Selasa (5/7).

"Rasa kentang, kol dan sawi serta sayur-mayur lainnya, yang berasal dari Brastagi sungguh luar biasa, beda dengan hasil pertanian dari daerah lainnya seperti Bandung dan daerah lainnya di Pulau Jawa. Sampai-sampai kentang yang diekspor ke negara-negara tersebut dijuluki kentang Brastagi," ujarnya.

Saat ini, sebutnya, permintaan komoditas holtikultura asal Berastagi, Tanah Karo dari sejumlah negara itu terus meningkat. "Ini merupakan peluang bagi para petani kita khususnya di Tanah Karo untuk lebih meningkatkan produksi dan kualitas komoditas holtikultura kita. Sebab, pasarnya kini sangat bagus di sejumlah Negara itu," ujarnya.

Menurut data dari Dinas Pertanian Sumatera Utara, untuk tahun 2010 perkembangan volume dan nilai ekspor sayur mayur tertinggi yaitu kol/kubis yang memiliki volume 19.541.538 kg dengan nilai US$4.880.938 dengan tujuan negara Taiwan. Diikuti oleh kentang dengan volume ekspor 5.054.821 kg serta nilai US$1.809.798 dengan tujuan Malaysia dan Singapura.

Rabu, 06 April 2011

Berita Pertanian : Harga Kol di Karo Masih Murah








KARO. Harga tanaman kol (kubis), beberapa bulan belakangan turun drastis hingga titik terendah. Bahkan beberapa pekan terakhir, petani memilih tidak lagi memanen salah satu hasil komoditi holtikultura andalan dataran tinggi Karo tersebut sebagai produk ekspor atau barang lokal.

Rendahnya harga jual petani di tingkat pasar tradisional atau lelang di areal peraladangan, memaksa petani kol harus merelakan tanamannya hingga pecah dan membusuk di ladang. Hal ini terpaksa dilakukan mengingat biaya produksi panen yang sangat tinggi dibanding hasil yang diterima.

Minimnya perhatian pemerintah untuk mendongkrak harga kol, semisal upaya yang dilakukan ketika harga cabai melonjak, tentunya membuat asumsi miring petani , khususnya yang bergerak di bidang budidaya kol. Itu dikarenakan, ekspor tanaman kol dari kawasan Karo, ke negeri jiran Malaysia dan Singapura, memiliki kapasitas cukup besar.

Petani kol, asal Desa Juma Raja, T Tarigan mengatakan, dulu pernah Pemkab Karo menyampaikan wacana pemasaran sayuran kol , tapi sejauh ini belum ada memberikan solusi dan langkah pasti guna menekan tingkat kerugian petani.

Menurutnya, kerugian yang dialami petani kol bukan yang pertama kali terjadi, namun kali ini merupakan hal yang paling buruk dalam sejarah tahun 2011. Itu karena kol saat ini hanya diterima dengan harga Rp200 hingga Rp300 per kg. Padahal harga harga produksi 1 batang kol mencapai Rp600 hingga 800/ batang.

Jumat, 18 Maret 2011

Sayuran Karo, Masih Ada Asa untuk Bangkit















M Burhanudin dan M Hilmi Faiq

Kesuburan tanah adalah anugerah tak ternilai bagi warga di Dataran Tinggi Karo. Aneka jenis hortikultura bisa tumbuh. Sayuran dan buah-buahan Karo menghiasi etalase pasar hingga swalayan di kota-kota besar. Beberapa petani sejahtera karenanya, namun ironisnya sebagian besar justru merana dan pasrah. Kini, mereka bersiasat untuk bangkit.

” Selada... Selada...! Diobral, Bang. Masih cantik-cantik ini...,” teriak Dian Purba (36), seorang pedagang sayuran di Pasar Sayur Berastagi, Kabupaten Kar. Perempuan itu mencoba menawarkan sayurannya.

Setengah jam berlalu, tak satu pun pengunjung yang membeli selada dagangannya. Dari harga Rp 1.100 per kilogram, dalam setengah jam dia sudah menurunkannya menjadi Rp 800 per kilogram (kg). Nilai yang sangat jauh turun dibandingkan dua bulan silam saat harga selada masih Rp 2.300 per kg di tingkat pedagang.

”Harga sayuran sekarang ini seperti main sulap. Tiba-tiba jatuh sangat murah, seperti selada ini,” keluh Dian.

Bukan hanya selada. Jenis sayuran yang banyak diusahakan petani Karo dalam sebulan terakhir harganya pun jatuh. Kubis, yang semula Rp 2.500 per kg kini Rp 700 per kg. Tomat yang semula Rp 3.500 per kg kini hanya Rp 1.500 per kg. Demikian pula dengan, kentang, bawang prei, wortel, cabai merah, lobak, bunga kol, dan petsai.

Dermawan Silalahi (43), petani sayuran di Desa Lingga Julu, Kecamatan Simpang Empat, Karo, mengatakan, anjloknya harga sayuran menjadi hantu bagi petani dalam beberapa tahun terakhir. Setiap kali panen, harga jatuh. Petani pun merugi. Membuang hasil panen karena tak laku sudah menjadi hal biasa.

Sepekan lalu, dia panen 10 ton kubis. Dia merugi lantaran harga jualnya hanya Rp 800 per kg. Padahal, modal tanamnya mencapai Rp 10 juta.

Jenis dan jumlah hama yang terus meningkat memicu petani bergantung pada pestisida yang harganya terus meroket. Mereka sadar cara tersebut telah merusak kesuburan tanah. Hasil panen pun tak sebagus dahulu akibat rusaknya unsur hara tanah itu. Dilematis.

Ekspor ambruk

Tahun 1980-an sayuran Karo sempat merajai di pasar Singapura dan Malaysia. Namun, memasuki dekade 1990-an, semuanya berubah. Sayuran dari China, Vietnam, dan Thailand pertengahan 1990-an giliran menggamit pasar Singapura.

”Waktu itu kita lalai. Tak menyadari bahwa negara lain bakal mengembangkan yang sama dengan kemasan lebih bagus, harga bersaing, dan kualitas lebih baik,” kata M Roem, Kepala Dinas Pertanian Sumatera Utara.

Sekitar 11 tahun lalu, bahkan, Singapura dan Malaysia sempat menolak ekspor sayuran dari Karo lantaran residu kimia dalam produk hortikultura dinilai terlalu tinggi. Akibatnya, pamor pertanian dataran tinggi Karo meredup.

Tergerusnya pasar ekspor membuat jaminan harga produk sayuran petani kian tak jelas. Pedagang besar semaunya sendiri memainkan harga. Petani kian tak punya daya tawar atas produknya. Pemerintah pun seakan lepas tangan atas problem tata niaga yang membelit warga.

Namun, sesungguhnya mereka tak benar-benar tinggal diam. Di balik keprihatinan, muncul kegundahan dan inovasi. Untuk menyiasati ketidakmenentuan harga, petani menerapkan sistem tanam tumpang sari.

Penanaman secara multikultur tersebut memang membantu petani bertahan di tengah kondisi sulit. Namun risikonya hasil panen tanaman pokok pun tak maksimal karena harus berbagi nutrisi dan kesuburan dengan tanaman lain.

Sayangnya, pengenalan teknik budidaya yang efektif dan teknologi produksi baru untuk memecahkan masalah ini belum diterima petani. Masalahnya pun jadi kian rumit seiring fenomena cuaca tak menentu akhir-akhir ini.

Pemahaman ragam tanam, kualitas, kesinambungan pasokan, dan kuantitas yang sesuai dengan permintaan pasar juga belum terbangun.

”Petani di sini rata-rata masih latah atau ikut-ikutan. Kalau musim panen sekarang kubis menguntungkan, semuanya ikut tanam kubis. Akibatnya, waktu panen harga jatuh. Rugi semua. Permintaan tak ada,” kata Konggres Lingga (54), petani di Desa Bandar Kinalang, Kecamatan Purba, Simalungun.

Pada masa Orde Baru, pembinaan teknik bertani yang baik banyak dilakukan tenaga penyuluh pertanian yang masuk hingga ke desa-desa. Namun, sekarang tak ada lagi tenaga penyuluh. Penyuluhan justru sering dilakukan oleh distributor dan produsen pupuk dan obat-obatan kimia, sehingga pemakaian bahan kimia meningkat.

”Sering juga mereka menarik simpati dengan memberi obat gratis dan hadiah alat-alat pertanian,” kata Jamin Sembiring (29), petani kentang di Perbuluan I, Kecamatan Perbuluan, Kabupaten Dairi.

Problem infrastruktur

Infrastruktur jalan adalah masalah klasik lainnya yang masih berlarut-larut. Bukan rahasia lagi, jalur nasional, provinsi, maupun kabupaten di wilayah Dataran Tinggi Karo yang meliputi Kabupaten Karo, Simalungun, dan Dairi, banyak yang rusak parah.

Bernardus Situmorang (60), petani kentang di Desa Perbuluan, Kecamatan Sidikalang, Dairi, mengeluhkan buruknya kondisi jalan yang menghubungkan Dairi-Kebanjahe. Jalur sepanjang 70 kilometer yang semestinya dapat ditempuh 1,5 jam itu terpaksa ditempuh 3-4 jam, karena banyaknya ruas yang rusak.

Kapasitas pengangkutan sayuran pun terpaksa dikurangi dari semestinya 7 ton sekali pemberangkatan menjadi hanya 3-4 ton. Akibatnya, banyak sayuran yang menumpuk dan rusak karena terlambat pengirimannya. Bila sudah begitu, harga jualnya pasti anjlok dan daya saingnya turun.

Pasar Sayuran Berastagi yang merupakan sentra penjualan utama produk pertanian di tanah Karo kondisinya semrawut. Setiap sore atau pagi hari, saat tengkulak dan pedagang sayur dari kota-kota besar bertemu, kemacetan kendaraan berlangsung selama berjam-jam. Kondisi ini mengakibatkan pengiriman barang terhambat. Selain itu, gudang-gudang penyimpanan yang dilengkapi teknologi pendinginan agar komoditas awet pun juga belum ada, apalagi sarana pengemasan.

Roem mengatakan, selama ini Dinas Pertanian Sumut sudah berupaya menyusun program peningkatan produksi dan menyosialisasikan pentingnya pertanian organik. Namun, itu tak mudah karena berhubungan dengan kebiasaan dan sikap petani yang sudah berlangsung bertahun-tahun.

”Belum semua kabupaten memiliki lembaga penyuluh pertanian. Kalaupun ada baru di tingkat kecamatan,” kata dia.

Ditanya soal kerusakan jalan itu, Wakil Gubernur Sumut, Gatot Pudjo Nugroho, mengungkapkan akan segera memperbaikinya. Saat ini telah dianggarkan dana Rp 111 miliar. ”Semoga itu bisa bantu petani,” kata dia.

Mandiri

Di tengah persoalan yang berkelindan itu, masih ada sejumlah petani di Karo yang sukses dengan langkah kemandirian mereka. Mereka adalah petani-petani yang ulet dan mau belajar untuk sukses dengan tak sekadar ikut-ikutan.

Kongres Lingga dan istrinya, Lina Purba, misalnya. Dalam tiga tahun terakhir, mereka tidak melulu menanam sayuran semacam kubis, daun bawang, ataupun kentang. Mereka mencoba jenis sayuran lain, yakni labu siam atau jipang, yang harganya relatif stabil.

Jipang ditanamnya di lahan seluas 2 hektar. Setelah masa pertumbuhan selama tiga tahun, dalam setahun terakhir dia dapat menikmati hasil panen 24.000 buah per pekan. Itu setara dengan Rp 7,2 juta per pekan atau sekitar 30 juta sebulan.

”Saya dulu juga menanam kubis dan sayuran lainnya. Tahun 2006, harga-harga jatuh semua. Saya rugi besar sampai Rp 120 juta. Dua hektar lahan saya jual. Sekarang kami bangkit lagi dengan menanam tanaman yang berbeda,” kata Kongres. Dari kesuksesannya itu, Kongres bisa menyekolahkan 5 anaknnya di Universitas Sumatera Utara (USU).

Martin Tarigan (45), petani di Desa Simpang Bage, Kecamatan Silimakuta, Simalungun, kini mengusahakan lahan seluas 30 hektar. Dia tak melulu menanami sayuran dengan kubis dan sayuran lain selama setahun, namun berselang-seling dalam setahun. ”Dengan cara itu, nilai jual hasil panennya relatif stabil, dan tak mudah diserang hama,” ujar dia.

Inisiatif individu yang sukses menyiasati keadaan tersebut menunjukkan bahwa potensi Karo dan sekitarnya belumlah habis. Langkah strategis pemerintah sangat ditunggu, bukan sekadar mendorong produktivitas, tetapi juga membuka lagi celah pasar bagi petani sayuran di tanah Karo yang masih memelihara semangat untuk bangkit kembali merebut masa keemasan.

Rabu, 02 Maret 2011

Berita Pertanian : Sayur Berastagi Ekspor ke Singapura


KARO. Puluhan petani sayuran di Kabupaten Karo, Sumatera Utara, yang mengelola lahan pertanian sekitar 20 hektar mendapatkan kepastian pasar untuk produk sayuran yang mereka budidayakan. Kepastian pasar diperoleh setelah ada kerja sama pemasaran antara petani dan eksportir sayur ke Singapura.

Hal itu terungkap saat kunjungan lapangan Menteri Pertanian Suswono ke lokasi sayur ekspor hasil kerja sama petani dan eksportir, PT Hortijaya Lestari, Rabu (2/3/2011) di Brastagi, Karo. Suswono menyatakan, kerja sama pemasaran ini merupakan langkah positif untuk memberikan kepastian pasar dan harga bagi petani. Selama ini harga sayuran fluktuatif dan tidak menguntungkan petani. ”Ini upaya terobosan pasar dari pemerintah untuk menjaga harga supaya stabil,” kata Suswono yang juga menegaskan pentingnya menjaga pasar lokal dari produk impor.

Bijak Ginting (42), petani sayuran anggota Kelompok Tani Matahari di Desa Rumah Brastagi-Ujung Aji, Kabupaten Karo, mengungkapkan, sebelum ada kerja sama dengan eksportir petani kesulitan mendapatkan pasar.

Harga sayur tidak stabil akibat permintaan pasar lokal yang kadang tak pasti. Dengan adanya kerja sama ini, pasar sudah jelas. Petani bisa tenang berproduksi dan tinggal mengutamakan kualitas.

Pihak eksportir membeli sayur, seperti peleng, dengan harga kontrak Rp 4.500 per kilogram. Bijak menyatakan, untuk setengah hektar lahan, bisa menghasilkan peleng hingga 10 ton. Benih yang dibutuhkan 2,5 kilogram dan dibeli dari pihak eksportir seharga Rp 85.000 per 250 gram. Bijak sendiri memiliki lahan 1 hektar dan akan ditanami peleng semua.

Agusta Kemit (40), petani sayur anggota Mitra Tani Horti Jaya di Desa Ajijulu, Kecamatan Tiga Panah, Kabupaten Karo, menyatakan, dalam kerja sama ini ia menanam sayuran 4.000 meter persegi. Salah satunya sayuran peleng. Tanaman peleng bisa panen 40 hari sekali. Produksinya juga tinggi, bisa 700 kilogram per 400 meter persegi. ”Yang paling utama bagi kami adalah adanya kepastian pasar,” katanya.

Selama ini petani menjual produk sayuran ke pasar lokal. Harganya fluktuatif. Kadang Rp 3.500 per kilogram, kadang Rp 6.000. ”Dengan sistem kerja sama dengan eksportir, pasar menjadi lebih jelas dan harga stabil,” katanya.

Menurut rencana, para petani akan menandatangani kontrak dagang pemasaran sayuran untuk ekspor ke Singapura, yaitu antara Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Mitra Tani Lestari di Kabupaten Karo dan PT Hortijaya Lestari. Selain itu, juga Gapoktan Dolok Meriah di Kabupaten Simalungun dan Gapoktan Maju Bersama dengan PT Alamanda Sejati Utama. Penandatanganan kontrak akan disaksikan Menteri Pertanian Suswono.