MUKOMUKO. Seluas 150 hektare kebun sawit petani di Desa Tanah Harapan, Kabupaten Mukomuko, Provinsi Bengkulu, terancam tidak bisa dipanen selama tiga bulan akibat terendam banjir.
"Ratusan tanaman sawit yang terancam tidak bisa menghasilkan selama tiga bulan itu karena usianya masih muda dan baru mau berbuah pasir," Kata Kepala Desa Tanah Harapan, Kecamatan Kota Mukomuko Atral di Mukomuko, Sabtu (5/11).
Dari total luas areal perkebunan sawit di desa itu, kata dia, yang paling parah terendam banjir dan diprediksi sulit berbuah seluas 150 hektare. Karena tanaman sawit yang baru berbuah pasir itu berada sepanjang bantaran Sungai Selagan.
Menurut dia, air Sungai Selagan merupakan sumber utama terjadinya banjir yang merendam tanaman sawit warga sekitar. Hujan deras terus-menerus mengguyur daerah itu sejak Rabu (2/11) sampai Jumat (4/11).
Jika sampai tiga hari kedepan hujan masih saja mengguyur daerah ini khususnya di desa tersebut, petani tidak saja terancam tidak panen selama tiga bulan tetapi berpeluang merusak tanaman tersebut.
"Tanaman sawit yang lama terendam itu dengan sendirinya rusak dan otomatis petani akan mengalami kerugian yang sangat besar karena tidak sedikit biaya yang dikeluarkan untuk memulai membuka kebun sampai panen," kata dia.
Sedangkan, komoditas tanaman pertanian lain yang terendam banjir, menurut Atral, belum didata dan dilaporkan oleh pemiliknya ke perangkat desa.
"Kami baru dapat laporan tanaman sawit yang terendam, kalau tanaman pangan dan pertanian lain belum dilaporkan," kata dia.
Sementara itu, sampai saat ini hujan masih saja mengguyur daerah ini, dan membuat warga kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari.
"Warga terpaksa bertahan di dalam rumah dalam kondisi cuaca hujan seperti saat ini," kata Atral.
Selain seluas ratusan hektar tanaman sawit di desa itu yang terkena banjir, kata dia, sekitar sembilan rumah warga juga ikut terendam air.
Namun, air yang merendam rumah warga itu saat ini mulai surut dan pemiliknya sudah kembali ke rumah mereka masing-masing.
Sebelumnya, Kepala Bidang Penyelenggaraan Penyuluhan pada Badan Pelaksanaan Penyuluhan dan Ketahanan Pangan (BP2KP) Kabupaten Mukomuko Jumadi mengatakan, seluas 80 hektar tanaman jagung petani tiga desa di Kecamatan Lubuk Pinang terendam banjir.
Puluhan hektar tanaman jagung petani yang terendam banjir itu mulai usia 15 hingga 60 hari.
Seluas puluhan hektar luas areal tanaman jagung yang terendam banjir itu berada di Desa Arah Tiga seluas 10 hektare, Desa Tanjung Alai 20 hektare, dan Desa Sumber Makmur 40 hektare.
BLOG Ricky Untuk Pertanian. Blog ini memuat tentang pertanian secara umum dan ada tambahan dari berita pertanian, tips ampuh berhubungan dengan pertanian, lowongan kerja bidang pertanian dan resep makanan-minuman dari hasil pertanian. Yang pasti Pertanian Untuk Negeriku Tercinta Indonesia.
Tampilkan postingan dengan label sawit. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sawit. Tampilkan semua postingan
Sabtu, 05 November 2011
Selasa, 14 Juni 2011
Berita Pertanian : Hutan Produksi 75 Hektare Diserobot Jadi Sawit

PADANG. Hasrat revitalisasi perkebunan seluas 1000 hektare (Ha) di Nagari Air Bangis, Kecamatan Sungai Baremas, Kabupaten Pasaman Barat mangsa hutan produksi seluas 75 Ha yang dikelola Kelompok Tani Kayu Arraw.
Anggota Kelompok Tani Kayu Arraw Ahmad Alhadi, 46, di Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang, Selasa (1r/6), mengungkapkan, April 2011, lahan seluas 75 Ha yang mereka kelola selama ini dicaplok Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) yang terdiri dari Kelompok Tani Niat Suci, Saiyo Mandiri, dan Cakrawala.
"Hutan produksi seluas 75 Ha tersebut menjadi bagian lahan revitalisasi perkebunan seluas 1.000 Ha. Gapoktan itu menjadi pelaksana revitalisasi perkebunan, dan dibelakangnya ada PT Inkud sebagai bapak angkat Gapoktan tersebut," ujarnya.
Dia menambahkan, penghancuran terhadap lahan tersebut dilakukan pada pertengahan April hingga pertengahan Mei.
Padahal, dalam surat keputusan (SK) Bupati Pasaman Barat Nomor 188.45/021/BUP- PASBAR- 2006, hutan seluas 75 Ha yang dikelola oleh kelompok tani Kayu Arraw tersebut, ditunjuk menjadi Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL) Kabupaten Pasaman Barat tahun 2006.
Keluarnya SK ini disertai dengan pemberian uang senilai RP 80 juta untuk pengelolaan lahan. Kelompok tani Kayu Arraw memanfaatkan lahan tersebut untuk menanam pohon mahoni, mangga, dan karet.
"Untuk memetiknya, kita diharuskan menunggu selama sepuluh tahun," ujar Ahmad.
Terhitung, per hektarenya lahan GN-RHL ini berisi 400 batang mahoni.
"Menjelang dihancurkan pakai alat berat tersebut, sekitar 75 persen mahoni yang kami tanam masih hidup," tambahnya.
Dalam upaya revitalisasi perkebunan ini, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Pasaman Barat mengeluarkan 500 sertifikat untuk revitalisasi perkebunan itu. Semua itu berkat dukungan14 orang niniak mamak dan rekomendasi Dinas Kehutanan Pasaman Barat.
"Sertifikat yang diberikan tahun 2009 itu termasuk dalam program redistribusi tanah dari BPN," jelas Kepala BPN Pasaman Barat Atman.
"Kita mengikuti prosedur untuk mengeluarkan sertifikat tersebut," bilangnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Kehutanan Pasaman Barat Zulhendra saat dihubungi via telepon, Selasa (14/6), mengaku ada kekurangcermatan dalam pemberian rekomendasi mengeluarkan sertifikat untuk lahan tersebut.
"Kita memberi rekomendasi hanya secara makro tanpa ada pengkajian," ujarnya.
Pascaterjadinya tuntutan kelompok tani pengelola lahan GN-RHL, Zulhendra menyadari ada benang merah dalam kawasan revitalisasi yang telah direkomendasikan itu, yakni ada hutan produksi dengan status GN-RHL.
"Nantinya kita merekomendasikan kembali kepada tim yang terbentuk untuk mengkaji masalah ini, untuk mempertahankan lahan GN-RHL tersebut," tuturnya.
Direktur LBH Padang Vino Oktavia Manchun menilai terjadi tumpang tindih kebijakan dalam kasus ini.
"Berdasarkan SK Bupati Pasbar tahun 2006, lahan seluas 75 hektare itu diperuntukan untuk GN-RHL, namun timbul pula SK baru dari Dinas Kehutanan Pasaman Barat untuk kegiatan revitalisasi perkebunan," imbuh Vino.
"Buruk sekali kebijakan pemerintah daerah Pasaman Barat karena kebijakan menjaga kelestarian hutan dan tanah ulayat dikalahkan oleh invasi sawit," ujar Direktur LBH Padang Vino Oktavia Manchun.
Vino mensinyalir pengeluaran 500 sertifikat untuk memudahkan revitalisasi perkebunan.
"Untuk revitalisasi perkebunan, perlu ada jaminan untuk mendapatkan modal dari bank. Dan jaminan itu, salah satunya sertifikat," terang Vino.
Hal ini sungguh disayangkan karena tanah di kawasan tersebut berstatus tanah ulayat. Dalam tatanan adat Minangkabau, tanah ulayat merupakan kepemilikan bersama suatu kaum. Makanya, tak dikenal sertifikat.
"Sertifikat yang dikeluarkan itu bersifat komunal. Risiko konflik memungkinkan terjadi karena pembagian yang susah dari kaum yang punya tanah," ungkap Zulhendra.
Adanya kebijakan salah kaprah ini, Vino mempertanyakan, apakah status hutan produksi tersebut telah diubah menjadi Areal Pemanfaatan Lain (APL) sebagai syarat untuk membuka perkebunan sawit.
"Seharusnya bupati dan Dinas Kehutanan bertanggungjawab untuk berkomitmen menjaga lahan GN-RHL ini," tegasnya.
Lebih jelas Ahmad menceritakan, pencaplokan tanah ini sudah dilaporkan kepada walinagari, ketua Lembaga Adat Nagari (LAN), camat dan pemda.
"Ketika dilaporkan kepada Ketua LAN Asmar Asgar, kami diminta untuk membawa bukti pengrusakan yang dilakukan oleh Gapoktan seperti kayu yang patah, tanaman yang rusak," jelasnya.
Namun, lanjutnya, saat kita membawa bukti tersebut, Ketua LAN tidak dirumah, sehingga bukti-bukti berupa tanaman yang rusak tersebut diletakan saja di rumahnya.
"Ironisnya, Asgar melaporkan kita kepada kepolisian dengan tuduhan melakukan pengrusakan dan pelemparan rumahnya,? katanya.
Atas laporan tersebut, 9 Juni lalu, tiga anggota Kayu Arraw ditahan pihak berwenang. Tiga orang tersebut adalah Antal, 39, Febrinanda, 25, dan Yulherman, 32.
Senin, 09 Mei 2011
Peneliti: BK Tekan Pertumbuhan Perkebunan Sawit

Jakarta. Peneliti LIPI menyebutkan kebijakan pemerintah menetapkan bea keluar minyak sawit mentah (BK CPO) terbukti telah mengakibatkan pertumbuhan negatif di sektor perkebunan sawit. Hal ini dapat dilihat dari data BPS yang menunjukkan pertumbuhannya turun hingga 32%.
"Data BPS tersebut memang meliputi perkebunan secara keseluruhan, tetapi sawit merupakan perkebunan yang paling dominan, kondisi demikian terutama aibat Bea Keluar CPO," kata Peneliti Senior Bidang Ekonomi LIPI Latief Adam kepada wartawan, di Jakarta, Senin (9/5).
Dia menunjuk data BPS, sejak kuartal IV-2010 terjadi penurunan perkebunan sawit sebesar 31,9%, dan terus berlanjut pada kuartal I-2011 terjadi pertumbuhan negatif di sektor perkebunan sebesar 19,9%.
Menurut Latief BK CPO itu memang tidak menjadi faktor tunggal penurunan kinerja sawit. Sebab, masih ada berbagai permasalahan lain, seperti anomali musim, peremajaan tanaman sawit yang terlambat, pemeliharaan yang kurang baik. Serta kebijakan tata ruang yang simpang siur, rencana moratorium konversi hutan yang tidak pasti, dan lain sebagainya. "Semua masalah itu harus menjadi tanggung jawab seluruh pemangku kepentingan (stake holder) yang terlibat dalam pengembangna perkebunan kelapa sawit," tegas Latief Adam.
Lebih lanjut Latief menilai, kebijakan BK CPO yang progresif harus diganti dengan BK yang flat, karena pemerintah tidak akan mungkin menghapus kebijakan BK CPO. Sebab selama ini BK CPO merupakan strategi pemerintah untuk menutup pos-pos pemasukan dari BUMN yang kurang. "Jika rasio pajak Indonesia sudah ideal, mungkin BK bisa dihilangkan, seperti di Malaysia. Tetapi selama belum ideal, maka tidak akan mungkin dihilangkan," ujar Latief.
Latief mengimbau pemerintah agar bersikap adil. Jika pemerintah menerapkan bea masuk secara flat di kisaran 5 - 10 persen, maka BK juga seharusnya flat.
Dia mengungkapkan besaran yang pas untuk BK CPO yang flat adalah sekitar 5 persen. Selain itu, pemerintah dapat menerapkan kewajiban para produsen memasok pasar domestik (domestic market obligation/DMO) untuk menyeimbangkan pasokan dan permintaan CPO domestik. Ketentuan DMO akan membuat produsen CPO menjaga keseimbangan pasokan domestik dan ekspor.
"Pemerintah perlu mengimplementasi DMO. Dengan DMO, pemerintah mendapat keuntungan dari ekspor dan petani tidak terlalu dieksploitasi,"katanya.
“Semangat pertama BK CPO kan dibuat pada dasarnya untuk manajemen stok dalam negeri. Dengan DMO, pemerintah bisa menjamin pasokan dalam negeri, misalnya sebesar 20 persen,” katanya lagi.
Latief berpendapat bahwa kombinasi BK yang flat di kisaran 5% dan penerapan DMO akan memberikan dorongan kepada petani sawit agar lebih memperhatikan kebunnya. Apapun alasan yang dikemukakan pemerintah terkait penerapan BK CPO yang progresif, pemerintah harus lebih memperhatikan nasib para petani sawit yang selama ini menjadi pihak yang termarjinalkan.
"Setiap stake holder harus bersuara, setiap asosiasi petani harus bersatu, agar pemerintah tergerak `hatinya, sehingga tidak lagi mengeluarkan kebijakan yang merugikan petani," tegas Latief.
Menanggapi penegasan Latief Adam itu, Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Perkebunan Inti Rakyat (Aspek-PIR) Riau Setiono mengatakan, kebijakan BK hanya menguntungkan pemerintah. Tetapi tidak menguntungkan kelompok petani. Di tengah melambungnya harga CPO di pasaran dunia, margin yang diterima petani tidak bertambah.
"Naik-turunnya harga tandan buah segar (TBS) memang mengindikasikan bahwa BK CPO paling banyak dibebankan pada petani. Makin tinggi BK CPO, harga TBS justru makin jatuh," kata Setiono.
Setiono juga menjelaskan, pada Maret 2011 lalu, ekspor CPO anjlok 41% dibanding bulan sebelumnya. Pada saat itu BK CPO dipatok pemerintah sebesar 22,5%, penurunan ekspor ini juga terjadi pada 2009 sebesar 45% dan 2008 sebesar 63%. "Ini sudah bertahun-tahun terjadi, pada saat itu pungutan bea keluar sedang tinggi-tingginya, sedangkan harga TBS justru turun drastis," tandasnya.
Selain itu, Setiono juga mempertanyakan keseriusan janji pemerintah melakukan peremajaan kebun sawit dan mengembangkan industri hilir sawit dari hasil pendapatan BK CPO yang hingga kini belum terlaksana. Sejalan naiknya pendapatan negara dari BK CPO, seharusnya pemerintah meningkatkan bantuan dan pengembangan puluhan bahkan ratusan ribu petani sawit.
Menurutnya, hingga saat ini banyak petani sawit swadaya yang panennya tidak bagus.
Kebanyakan dari mereka tidak mendapat bimbingan apapun dari pemerintah. "Pemerintah itu harusnya meningkatkan bantuan kepada petani-petani sawit kecil daripada terus menggembar gemborkan industri hilir CPO. Setelah bertahun-tahun kami dipajaki, sekarang pemerintah berhutang sebanyak itu pada kami," ujar Setiono. (ant)
Dia menunjuk data BPS, sejak kuartal IV-2010 terjadi penurunan perkebunan sawit sebesar 31,9%, dan terus berlanjut pada kuartal I-2011 terjadi pertumbuhan negatif di sektor perkebunan sebesar 19,9%.
Menurut Latief BK CPO itu memang tidak menjadi faktor tunggal penurunan kinerja sawit. Sebab, masih ada berbagai permasalahan lain, seperti anomali musim, peremajaan tanaman sawit yang terlambat, pemeliharaan yang kurang baik. Serta kebijakan tata ruang yang simpang siur, rencana moratorium konversi hutan yang tidak pasti, dan lain sebagainya. "Semua masalah itu harus menjadi tanggung jawab seluruh pemangku kepentingan (stake holder) yang terlibat dalam pengembangna perkebunan kelapa sawit," tegas Latief Adam.
Lebih lanjut Latief menilai, kebijakan BK CPO yang progresif harus diganti dengan BK yang flat, karena pemerintah tidak akan mungkin menghapus kebijakan BK CPO. Sebab selama ini BK CPO merupakan strategi pemerintah untuk menutup pos-pos pemasukan dari BUMN yang kurang. "Jika rasio pajak Indonesia sudah ideal, mungkin BK bisa dihilangkan, seperti di Malaysia. Tetapi selama belum ideal, maka tidak akan mungkin dihilangkan," ujar Latief.
Latief mengimbau pemerintah agar bersikap adil. Jika pemerintah menerapkan bea masuk secara flat di kisaran 5 - 10 persen, maka BK juga seharusnya flat.
Dia mengungkapkan besaran yang pas untuk BK CPO yang flat adalah sekitar 5 persen. Selain itu, pemerintah dapat menerapkan kewajiban para produsen memasok pasar domestik (domestic market obligation/DMO) untuk menyeimbangkan pasokan dan permintaan CPO domestik. Ketentuan DMO akan membuat produsen CPO menjaga keseimbangan pasokan domestik dan ekspor.
"Pemerintah perlu mengimplementasi DMO. Dengan DMO, pemerintah mendapat keuntungan dari ekspor dan petani tidak terlalu dieksploitasi,"katanya.
“Semangat pertama BK CPO kan dibuat pada dasarnya untuk manajemen stok dalam negeri. Dengan DMO, pemerintah bisa menjamin pasokan dalam negeri, misalnya sebesar 20 persen,” katanya lagi.
Latief berpendapat bahwa kombinasi BK yang flat di kisaran 5% dan penerapan DMO akan memberikan dorongan kepada petani sawit agar lebih memperhatikan kebunnya. Apapun alasan yang dikemukakan pemerintah terkait penerapan BK CPO yang progresif, pemerintah harus lebih memperhatikan nasib para petani sawit yang selama ini menjadi pihak yang termarjinalkan.
"Setiap stake holder harus bersuara, setiap asosiasi petani harus bersatu, agar pemerintah tergerak `hatinya, sehingga tidak lagi mengeluarkan kebijakan yang merugikan petani," tegas Latief.
Menanggapi penegasan Latief Adam itu, Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Perkebunan Inti Rakyat (Aspek-PIR) Riau Setiono mengatakan, kebijakan BK hanya menguntungkan pemerintah. Tetapi tidak menguntungkan kelompok petani. Di tengah melambungnya harga CPO di pasaran dunia, margin yang diterima petani tidak bertambah.
"Naik-turunnya harga tandan buah segar (TBS) memang mengindikasikan bahwa BK CPO paling banyak dibebankan pada petani. Makin tinggi BK CPO, harga TBS justru makin jatuh," kata Setiono.
Setiono juga menjelaskan, pada Maret 2011 lalu, ekspor CPO anjlok 41% dibanding bulan sebelumnya. Pada saat itu BK CPO dipatok pemerintah sebesar 22,5%, penurunan ekspor ini juga terjadi pada 2009 sebesar 45% dan 2008 sebesar 63%. "Ini sudah bertahun-tahun terjadi, pada saat itu pungutan bea keluar sedang tinggi-tingginya, sedangkan harga TBS justru turun drastis," tandasnya.
Selain itu, Setiono juga mempertanyakan keseriusan janji pemerintah melakukan peremajaan kebun sawit dan mengembangkan industri hilir sawit dari hasil pendapatan BK CPO yang hingga kini belum terlaksana. Sejalan naiknya pendapatan negara dari BK CPO, seharusnya pemerintah meningkatkan bantuan dan pengembangan puluhan bahkan ratusan ribu petani sawit.
Menurutnya, hingga saat ini banyak petani sawit swadaya yang panennya tidak bagus.
Kebanyakan dari mereka tidak mendapat bimbingan apapun dari pemerintah. "Pemerintah itu harusnya meningkatkan bantuan kepada petani-petani sawit kecil daripada terus menggembar gemborkan industri hilir CPO. Setelah bertahun-tahun kami dipajaki, sekarang pemerintah berhutang sebanyak itu pada kami," ujar Setiono. (ant)
Langganan:
Postingan (Atom)