Hampir seluruh bagian pohon kelapa memiliki bisa dipergunakan. Tak terkecuali sabut kelapa. Bahan yang satu ini memang sering terabaikan, padahal potensi ekonomis sabut kelapa cukup tinggi untuk diolah menjadi berbagai barang kerajinan bernilai seni tinggi.
Selama ini sabut kelapa sering dipakai sebagai media untuk mencuci piring atau peralatan masak. Banyak orang kurang menyadari, sejatinya, sabut kelapa ini menyimpan banyak pesona.
Di tangan orang yang memiliki tingkat kreativitas yang tinggi, sabut kelapa bisa disulap menjadi berbagai barang kerajinan. Bahkan, kulit buah kelapa ini bisa menjadi salah satu media lukisan yang memiliki nilai seni tinggi.
Mansur Mashuri, pemilik Rumah Sabut Jogja, mulai mengolah sabut kelapa sejak tahun 2008. Ia terjun pada usaha ini karena tergoda melihat potensi ekonomi yang terkandung dalam sabut kelapa. Alhasil, "Memanfaatkan sabut kelapa menjadi barang yang berguna adalah pekerjaan menantang," ucapnya.
Mansur memang sangat tertantang untuk mengeksplorasi manfaat ekonomis sabut kelapa. Pasalnya, di daerah tempat tinggalnya, pasokan sabut kelapa sangat berlimpah.
Salah satu produk hasil produksinya kini adalah cocomesh, sebuah media yang berfungsi untuk memperbaiki kelembaban tanah di area yang tingkat kelembapannya turun akibat aktivitas tertentu.
Bentuk cocomesh ini menyerupai jaring. Selain mengembalikan kelembabapan tanah, cocomesh juga berfungsi untuk mencegah erosi dan membantu penguatan tanah di lereng bukit. Tak heran, jika permintaan banyak datang dari perusahaan pertambangan.
Hanya, Mansur enggan menjelaskan lebih detail tentang produk cocomesh yang dijualnya dengan harga Rp 9.000 per m². "Pasar cocomesh ini masih sangat terbatas, dan belum banyak orang yang mengetahui produk ini," ujarnya.
Namun, Mansur menegaskan, produk andalan yang terbuat dari sabut kelapa adalah kasur dan matras. Ia mengklaim produk ini memiliki keunggulan dibandingkan dengan kasur yang terbuat dari busa atau kapuk. "Kasur ini memiliki tekstur yang lebih lentur dan tidak cepat kempes serta memiliki sirkulasi udara yang baik," ungkapnya.
Untuk membuat kasur ini, selain sabut kelapa, Mansur juga menggunakan bahan lateks, sejenis karet yang memiliki permukaan lembut. Harga jual kasur dan matras ini Rp 3 juta tiap m³. "Kami dapat membuat sesuai dengan permintaan pelanggan," katanya.
Biasanya, Mansur mendapatkan pesanan kasur berukuran panjang x lebar x tinggi masing-masing 2 m x 1,2 m x 1 m. Ia mengaku, permintaan untuk kasur ini belum terlalu banyak atau rata-rata tiga hingga lima kasur per bulan.
Meski begitu, pesanan itu ada yang datang dari Australia dan Singapura. "Mereka ternyata menyukai kasur berbahan sabut kelapa ini," ujarnya.
Selain menjual kasur berbahan sabut kelapa, Mansur juga menyuplai bahan sabut kelapa kepada para perajin patung dan keramik. Menurutnya, pemakaian sabut kelapa dalam pembuatan patung dan keramik dapat memperkuat bentuk patung dan keramik itu. Proses pengeringan pun bisa berlangsung lebih cepat.
Dalam sebulan, Mansur mampu menjual 10.000 lembar sabut kelapa dengan harga jual sekitar Rp 4.000 tiap lembar. Rumah Sabut Jogja pun bisa meraup omzet hingga Rp 50 juta per bulan. "Tapi pendapatan ini sifatnya fluktuatif, tergantung dari minat pasar yang berubah-ubah," ujarnya.
Salah satu perajin sabut kelapa yang mengolahnya menjadi patung adalah Ery Murdiyanto. Pemilik JongJava's Art di Klaten ini mulai menekuni usaha kerajinan patung dari sabut kelapa ini sejak dua tahun silam. "Sabut kelapa memiliki karakteristik yang unik sehingga berbeda dengan bahan baku lain," tutur Ery.
Seperti Mansur, Ery mulai terinsipirasi menggunakan sabut kelapa sebagai bahan baku kerajinan setelah melihat tumpukan batok kelapa di sekitar tempat tinggalnya.
Awalnya, Ery fokus mengembangkan hasil kerajinan sabut kelapa berbentuk patung kepala hewan, seperti monyet, elang, dan ular. Tapi, setahun belakangan dia menambah variasi bahan baku kerajinan tersebut dengan bahan lain untuk membuat postur tubuh patung hewan tersebut. "Kami mengkombinasikannya dengan bambu," ujar Ery.
Ia menjual patung tersebut berkisar Rp 30.000 hingga Rp 80.000. Ery menjelaskan, harga jual patung tergantung dari bentuk dan tingkat kerumitannya.
Sementara itu, dalam urusan penjualan, selain di galeri yang berada di Klaten, Ery juga mengirimkan pesanan kepada para pelanggan yang berasal dari Bali dan Yogyakarta. Dalam sebulan, Ery menjual sampai 300 patung. Alhasil, duit yang mengalir ke kantongnya bisa bisa mencapai Rp 24 juta.
Untuk membuat kerajinan sabut kelapa, terlebih dulu Ery memilih buah kelapa yang sudah tampak tua dan kuning. "Buah kelapa yang digunakan adalah yang sabutnya tebal dan buahnya tipis," ujar Ery.
Buah kelapa tersebut lalu dipecah dan dikeringkan di bawah sinar matahari selama tiga hari hingga empat hari. Selanjutnya. Ery akan mengandalkan keahliannya memainkan pisau ukir untuk membuat kerajinan itu.
Sementara itu, pemain lain yang menggunakan sabut kelapa untuk memberi nilai tambah pada produk kerajinannya adalah Nandang M. Pengelola studio lukisan Egy Art Gallery di Bandung ini memang menjual lukisan dengan bahan dasar sabut kelapa. "Berbeda dengan lukisan pada umumnya lukisan dengan media sabut kelapa ini memiliki nilai seni yang lebih tinggi dibandingkan dengan lukisan pada umumnya," ucapnya.
Meski baru tahun lalu ia menemukan lukisan sabut kelapa ini, pemasaran kerajinan ini sudah mencapai mancanegara. "Saya mengirimkan ke Singapura dan Malaysia," ujarnya.
Nandang pun meraih sukses dengan usaha ini hingga memiliki omzet Rp 100 juta per bulan. "Saya beruntung mendapat dukungan dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Bandung,” ujarnya.
Kini, ketiga perajin sabut kelapa ini sedang berusaha memperkuat pemasaran. Mereka yakin, dengan pamasaran yang baik, produk kerajinan sabut kelapa ini akan menuai banyak peminat. Kalau sudah begitu, permintaan pun akan mengalir dengan cepat.(KONTAN)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar