Hingga 2011 ini, dari sekitar 7.000 jenis tanaman obat di Indonesia, baru delapan jenis saja yang sudah diformula dan mendapatkan uji klinis. Padahal, pada tahun ini, pemerintah sudah menargetkan 66 jenis tanaman obat siap diekspor.
Direktur Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian Hasanudin Ibrahim mengatakan bahwa masalah uji klinis memang menjadi kendala. Menurutnya, uji klinis adalah sesuatu yang mahal dan tidak boleh dilakukan sembarang orang seperti para petani, melainkan pihak tertentu seperti investor dan industri pengolahan.
"Ini tantangan pemerintah untuk membantu melakukan riset kepada petani agar formula jamu benar-benar sesuai aturan. Warisan leluhur dahulu bisa menjadi dasar risetnya," ungkap Hasanudin di sela-sela membuka acara Festival Jamu 2011 di Pagelaran Kraton Yogyakarta, Rabu (20/7).
Penelitian mengenai jamu kurang optimal lantaran terbatasnya dana. Oleh karena itu, pengembangan jamu Indonesia masih sebatas pembinaan petani di Indonesia untuk memproduksi tanaman obat sesuai potensi wilayahnya.
Sementara itu, permintaan jamu di pasar domestik dan luar negeri mengalami perkembangan yang cukup pesat. Ekspor tanaman obat, baik bahan baku maupun barang olahan meningkat sebanyak 13,5 ribu ton dengan nilai 18,8 juta dolar AS pada tahun 2010, lebih tinggi dibanding tahun 2009 yang sebanyak 13,09 ribu ton dengan nilai 11,8 juta dolar AS.
Hasanudin melanjutkan jamu layak menjadi ikon Indonesia. Jamu adalah warisan budaya bangsa yang sudah banyak diolah untuk berbagai keperluan, seperti kosmestika, kesehatan, atau permen. "Ketersediaan keanekaragaman hayati dan sumber daya alam di Indonesia juga melimpah," tambahnya.
Untuk meningkatkan pemasaran jamu ini, selain meningkatkan penelitian ,perlu adanya kerja sama yang baik di antara petani, industri, serta pemerintah. Selain itu, petani perlu diberi insentif agar semakin giat dalam memproduksi tanaman obat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar