Tampilkan postingan dengan label tepung. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label tepung. Tampilkan semua postingan

Rabu, 06 April 2011

Berita Pertanian : Pembatasan Impor Tepung Terigu Rugikan Pedagang Kecil










Jakarta.
Perkumpulan Pedagang Kecil Pengolah Terigu mengatakan pembatasan impor tepung terigu termasuk dari Turki bisa merugikan pedagang kecil karena bisa menaikkan harga beli.

"Kami khawatir lonjakan harga dan keterbatasan pasokan yang ujungnya bakal membuat pedagang kecil pengolah terigu gulung tikar," kata Ketua Perkumpulan Pedagang Olahan Tepung Terigu, Didi Rahmat, di Jakarta, Rabu (6/4).

Dikatakannya, kekhawatiran ini mencuat melihat upaya yang dilakukan para importir gandum dan tepung terigu yang saat ini menguasai pasar tepung terigu di dalam negeri. "Jika tepung terigu dari Turki dikenai bea dumping, otomatis pasokan menjadi terbatas.

Pilihan jenis dan kualitasnya juga akan terbatas. Harganya pasti bakal terkerek naik juga," kata Didi. Menurutnya, berbagai deregulasi nyatanya tidak berhasil menghambat dominasi pemain lama dalam pasar tepung terigu di tanah air sehingga pasar tepung terigu saat ini oligopolistik karena ada satu perusahaan menguasai pasar lebih dari 60 persen.

"Bahkan bisa disebut monopolistik karena bersama tiga perusahaan lain mereka menguasai pasar dengan tameng asosiasi," kata Didi. Karena itu, lanjut Didi, pihaknya meminta agar Pemerintah SBY-Boediono jangan sampai terkelabui. ?Biarkan pasar terigu impor tetap terbuka, termasuk dari Turki. Dengan cara itu, pedagang kecil seperti kami bisa punya pilihan produk, kualitas maupun harga,? kata Didi.

Terkait itu, Didi juga meminta pihak-pihak terkait seperti KPPU agar kembali mendalami struktur persaingan usaha tepung terigu di dalam negeri. Ia menengarai, produsen tepung terigu di dalam negeri sengaja menjalankan usahanya secara tidak penuh alias masih banyak kapasitas yang idle. "Jelas saja biaya produksi mereka jadinya lebih mahal ketimbang produk impor. Kalau kita batasi impor tepung terigu, bukankah itu sama artinya kita memanjakan mereka untuk terus mengeduk untung secara tak wajar," katanya.

Didi mengingatkan, selama 35 tahun lebih monopoli impor gandum dan tepung terigu telah nyata-nyata merugikan masyarakat dan bangsa Indonesia. "Pedagang kecil mengalami persaingan usaha yang tidak sehat, sementara konsumen harus membayar lebih banyak dari seharusnya," katanya.

Menkeu Diminta Tolak Pembatasan

Menteri Keuangan, Agus Martowardojo, diminta untuk menolak pembatasan pasokan impor gandum dan terigu dari negara manapun termasuk Turki. "Kami memohon kepada Menteri Keuangan untuk dapat dengan tegas dan tersurat menolak membatasi pasokan impor gandum dan terigu," kata Koordinator Umum Perkumpulan Pedagang Kecil Pengolah Terigu (PPKPT), Didi Rahmat, di Jakarta, Rabu (6/4).

Pihaknya mengimbau agar Menkeu juga menolak segala upaya tekanan dan lobby dari kelompok yang dinilainya bersifat monopolistik dan oligopolistik terhadap impor gandum dan tepung terigu.
Ia menjelaskan, monopolistik gandum dan tepung terigu selama lebih dari 35 tahun telah merugikan rakyat Indonesia sebagai konsumen produk impor gandum dan terigu. "Terutama dengan adanya upaya untuk memenuhi kebutuhan impor dari tangan segelintir pengusaha termasuk di antaranya konglomerat hitam," katanya.

Menurut dia, pemerintah melalui Menteri Keuangan dan Menteri Koperasi dan UKM wajib melindungi rakyatnya yang sampai saat ini masih 100 persen tergantung pada impor gandum dan terigu, karena Indonesia belum menanam gandum sampai saat ini. Oleh karena itu, demi kepentingan masyarakat luas agar harga gandum dan terigu dapat bersaing secara kompetitif baik dari sisi kepentingan pedagang maupun konsumen secara umum maka pihaknya meminta pemerintah untuk bersikap tegas.

"Selayaknya Menkeu juga menolak untuk mengeluarkan segala macam tarif bea anti-dumping yang melalui rekayasa dari kelompok monopolistik," katanya. Ia menambahkan, sampai saat ini WTO melarang penghambatan perdagangan yang direkayasa, terutama terhadap upaya pengenaan bea anti-dumping terhadap gandum dan terigu dari Turki. Didi berpendapat jika hal itu dilakukan di Indonesia maka akan terjadi pelanggaran dari perjanjian WTO bagi RI. (Ant)

Selasa, 08 Februari 2011

Berita Pertanian : Mengintip Warung Roti Bakar Beromzet Ratusan Juta

SHUTTERSTOCK Ilustrasi

Bandung. Bisnis roti bakar memang sudah biasa. Namun, belum tentu bisa bertahan lama. Madtari merupakan salah satu warung roti bakar yang cukup tua. Sejak 1999 hingga kini, Madtari masih memiliki pelanggan setia di Dago. Meski cuma warung roti bakar, Madtari bisa mencetak omzet ratusan juta.

Roti Bakar Edi boleh saja menjadi pilihan anak muda Jakarta menyantap roti di malam hari. Tapi di Bandung, Madtari bisa dibilang menjadi pilihan pertama untuk melahap roti bakar.

Madtari mengklaim sebagai roti bakar satu-satunya di Kota Kembang yang menggunakan selai blueberry. Menu roti spesial dengan campuran selai blueberry, kacang, dan taburan meses coklat membuat rasa roti bakar terasa asam manis.

Tidak hanya itu, rasa gurih dan asinnya didapat dari taburan keju yang menutup seluruh tumpukan roti. Pilihan lain adalah rasa roti keju susu dengan pelbagai macam pilihan rasa, seperti susu, coklat, kacang, dan roti rasa asin. Roti bakar rasa asin, yakni, roti dengan serutan keju pada tumpukan roti yang telah dibakar dengan taburan garam.

Makin larut malam, makin ramai pula pengunjung roti bakar Madtari di Jalan Dr. Oten 11, Dago. Salah satu kelebihan nongkrong di Madtari, selain santapan roti bakarnya, parkir dan tempatnya yang luas. Tidak perlu takut kehabisan tempat. Tak hanya memanfaatkan garasi gedung kuno berarsitektur gaya Belanda, setiap ruangan atau kamar telah disulap dengan kursi-kursi panjang berikut dengan meja. Tapi, dekorasi Madtari memang terbilang minim, tidak ada yang istimewa di warung roti bakar yang telah berdiri sejak tahun 1999 ini.

Menurut Manajer Madtari David Maidy, konsep layaknya warung kopi tetap dipertahankan. "Konsep seperti inilah yang membuat para pengunjung betah," kata David. Ia menambahkan, Madtari yang telah tiga kali berpindah tempat sudah terkenal sebagai roti bakar rakyat di Bandung.

Maksud roti yang merakyat: harga murah dan tempat yang apa adanya di pinggir jalan. Tengok saja, harga aneka roti mulai dari Rp 5.000 hingga Rp 13.000 untuk menu spesialnya. Bosan dengan santapan roti, pisang bakar bisa jadi pilihan.

Pisang dibakar kemudian dilumuri selai sesuai selera dan tentu saja sebagai ciri khas dari Madtari, yaitu taburan kejunya. Harga pisang mulai dari Rp 6.000 hingga Rp 10.000 per porsi. Jika malam telah tiba dan udara kian dingin, santapan yang lebih hangat kerap menjadi pilihan.

Misalnya saja, mi instan dengan telur plus minuman yang dapat menghangatkan tenggorokan. Wedang jahe kencod boleh jadi pilihan karena sudah pasti, selain dapat menghangatkan tubuh, juga mampu mengusir pusing. Harganya sudah pasti aman di kantong, mulai Rp 5.000 sampai Rp 11.000.

Menyasar konsumen kalangan pelajar dan mahasiswa sebagai pelanggan, Madtari sukses meraup untung yang cukup wah. Setiap hari, Madtari menghabiskan 500 kg pisang dan 200 tangkup roti.

Di bulan biasa, omzet Madtari mencapai Rp 150 juta per bulan. Ketika musim libur, Madtari mampu mencapai omzet Rp 200 juta. Pendapatan yang besar ini didukung dengan pelayanan prima selama 24 jam.

"Meski makin banyak roti bakar di Bandung tapi Madtari tetap menjadi pilihan karena kami melayani dengan sungguh-sungguh." tutur David yang setahun belakangan ini mengaku, bisnis roti bakar kepunyaan pamannya ini kian pesat setelah berpindah tempat.

Dua cabang Madtari lainnya berlokasi di Dago, tepatnya Jalan Teuku Umar dan Jalan Suci. David bilang, tahun ini, Madtari hendak ekspansi ke Tasikmalaya.