Tampilkan postingan dengan label serangga. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label serangga. Tampilkan semua postingan

Kamis, 07 Februari 2013

Pengendali Serangga Tenaga Surya.

Seorang petani memeriksa alat pengendali serangga tenaga surya yang dipasang di areal sawah desa Pekandangan Jaya, Kec. Indramayu, Jawa Barat, Selasa (4/2). Alat perangkap serangga tenaga surya (Solar Light Trap) bantuan kementrian Pertanian tersebut digunakan untuk mengendalikan serangga sehingga petani bisa mengurangi biaya untuk pembelian pestisida.
(ant)

Selasa, 19 April 2011

Invasi Ulat Bulu Suatu Musibah?

Oleh Ronny Rachman Noor

Ada tanda tanya besar dalam diri saya menyaksikan hebohnya pemberitaan serangan ulat bulu di hampir semua media elektronik dan cetak.

Hampir semua kalangan menunjukkan reaksi yang sangat berlebihan, dari rakyat biasa sampai pejabat. Mereka menyikapi ulat bulu sebagai makhluk sampah yang harus dimusnahkan. Tidaklah mengherankan bila yang muncul adalah tindakan sadis dan reaktif: dari menyemprot dengan insektisida sampai membakarnya.

Zona homeostasis

Umumnya serangga mengalami siklus hidup, mulai dari telur, larva, pupa, hingga imago. Sebagai contoh, siklus hidup Cricula trifenestrata Helfer—lebih dikenal sebagai ulat avokad, ulat jambu mete, ulat kenari, dan ulat mangga—memiliki fase telur 7-11 hari. Ini diikuti siklus larva berupa instar I 5-6 hari, instar II 5-6 hari, instar III 4 hari, instar IV 4 hari, dan instar V 3-9 hari. Selanjutnya, fase pupa 17-21 hari dan fase imago (kupu dewasa) 4-11 hari. Total dalam satu siklus 43-58 hari (Suriana et al, 2011).

Umumnya serangga memerlukan kisaran suhu dan kelembaban udara yang memungkinkan siklus hidup di atas berlangsung baik. Inilah yang disebut zona homeostasis.

Fenomena yang biasa terjadi adalah jika suhu udara meningkat di atas ambang batas zona siklus hidup normal ulat, siklus hidup secara keseluruhan akan semakin cepat, kecuali pada fase pupa yang relatif lebih stabil. Sebaliknya, jika suhu lebih rendah dari ambang batas, siklus hidup menjadi lebih panjang dari siklus hidup normal.

Dalam entomologi, ada serangga yang hidupnya bergantung pada inang pohon tertentu, yang disebut serangga monofagus. Ada pula serangga yang hidupnya bergantung pada beberapa pohon, disebut serangga polifagus.

Secara alamiah dan naluriah serangga memiliki kepekaan terhadap perubahan lingkungan. Ketersediaan makanan dapat memengaruhi pertumbuhan dan perkembangan serangga. Serangga dapat mengatur waktu dan durasi pertumbuhannya, yang melibatkan hormon ekdison dan hormon-hormon lain.

Faktor ketersediaan makanan dan faktor eksternal lain, seperti perubahan iklim yang mengakibatkan perubahan suhu, kelembaban, intensitas cahaya, dan predator alami, akan sangat memengaruhi strategi fisiologi dan kelangsungan hidup serangga.

Dengan kata lain, serangga dapat mengatur berapa lama siklus hidupnya sesuai dengan kondisi lingkungan, termasuk mengatur jumlah telur yang dikeluarkan sang induk (Vanhanen et al, 2005; Gibert et al, 2005; Suriana et al, 2011).

Serangan ulat bulu yang akhir-akhir ini melanda sejumlah provinsi di Indonesia merupakan bentuk dari perubahan faktor eksternal dan internal yang memengaruhi siklus hidup serangga ini. Keseimbangan antara serangga dan inang telah berubah sehingga terjadi ledakan populasi.

Merugikan?

Sebagai awam, menyaksikan pohon mangga, jambu mete, avokad, dan jambu yang gundul memang sangat mengerikan, apalagi melihat ulat bulu dalam jumlah sangat banyak.

Aktivitas ulat menggunduli pohon adalah aktivitas alamiah karena daya dukung makanan tidak seimbang dengan jumlah ulat di satu pohon. Namun, secara alamiah aktivitas ulat ini tidak akan mematikan pohon.

Ada yang belum diungkap dalam kasus serangan ulat bulu ini, yaitu pohon yang gundul sebenarnya diuntungkan. Dari berbagai hasil studi, produktivitas tanaman yang mengalami stres ringan, seperti digunduli ulat, akan meningkat.

Dari hasil pengamatan di lapangan, serangan ulat pada avokad dan jambu mete akan menstimulasi pohon berdaun lebih lebat serta berproduksi lebih baik dengan kualitas dan kuantitas buah yang lebih baik pula (Suriana et al, 2011). Inilah yang dalam genetika ekologi dikenal sebagai ”kompensasi”, yaitu stres ringan dapat meningkatkan produktivitas.

Banyak di antara serangga tersebut, terutama dari famili Bombycoidae, justru menguntungkan karena kokonnya dapat dijadikan serat sutra alam, seperti Bombyx mori yang menjadi tulang punggung penghasil 99 persen sutra dunia.

Spesies ulat sutra liar dari famili Saturniidae menghasilkan serat sutra yang sangat indah dan khas. Sebagai contoh, benang sutra yang diproduksi dari kepompong ulat avokad, jambu mete, mangga, kayu manis, dan kenari, yaitu Cricula trifenestrata, seperti disinggung di atas sangat indah karena berwarna keemasan. Harga benang sutra emas ini Rp 1,5 juta-Rp 1,7 juta per kilogram. Harga kokonnya saja Rp 65.000-Rp 70.000 per kilogram.

Bertolak dari uraian di atas, semestinya ulat tidak semata-mata dipandang sebagai hama. Ulat bisa menyuburkan inangnya dan produksi kokonnya sangat berharga. Jika ulat dapat dikelola dengan baik, akan banyak sekali sisi positif yang dapat ditonjolkan dan dimanfaatkan.

Sejak pelaksanaan Jogja International Silk Exhibition and Conference di Yogyakarta tahun 2002 dan dilanjutkan dengan Yogya Expo Center, penggunaan sutra dari ulat sutra liar ini makin berkembang. Sejumlah desa, seperti Desa Karang Asem, Bantul, telah berubah menjadi tujuan wisata sutra liar. Daerah tersebut memanfaatkan lahan tandus sebagai tempat pengembangan ulat sutra liar dengan inang tanaman jambu mete, sirsak, dan mahoni.

Jadi, perlu ada pergeseran paradigma dari memandang ulat sebagai makhluk yang sangat mengerikan menjadi makhluk ciptaan Allah SWT yang bermanfaat jika dikelola dengan baik. Hikmah lain yang juga perlu direnungkan adalah hendaknya kita sadar untuk tidak melakukan aktivitas yang dapat mengganggu keseimbangan alam.

Ronny Rachman Noor Wakil Kepala LPPM IPB Bidang Penelitian

Selasa, 08 Februari 2011

Berita Pertanian : Dunia Khawatir Hama Lalat Putih Raksasa

CISR.UCR.EDU Hama lalat putih raksasa (Aleurodicus dugesii)

Muni Muniappan, ahli serangga dan direktur Agency for International Development-funded Program di Virginia Tech menemukan adanya hama lalat putih raksasa (Aleurodicus dugesii) di Jawa Barat. Muniappan mengatakan, wilayah Jawa Barat merupakan wilayah Asia pertama di mana spesies hama ini terkonsentrasi dan berkembang biak.

Saat menemukan hama ini, Muniappan tengah menjalankan penelitian bersama tim ilmuwan dari Clemson University dan Institut Pertanian Bogor (IPB). Adapun beberapa ilmuwan yang terlibat adalah Aunu Rauf, profesor ilmu serangga dari IPB serta Gerry Carner dan Merle Shepard yang nmerupakan profesor ilmu serangga di Clemson University.

Muniappan mengatakan bahwa ia mengetahui keberadaan hama ini pertama kalinya di tepi jalan wilayah Cipanas. Sesaat setelah penemuannya, Muniappan mengambil sampel hewan itu dan mengirimkannya ke seorang spesialis taksonomi lalat putih di California Department of Agriculture. Hasil analisa membuktikan bahwa hewan itu benar lalat putih raksasa.

Lalat putih sendiri merupakan hama yang berasal dari Amerika tengah, menyerang tanaman berkayu dan berbunga, termasuk tanaman buah dan Hibiscus. Hama ini menyerang tanaman dengan menghisap nutrisi, kemudian meninggalkan senyawa kaya gula yang akan menjadi hitam seperti jelaga, menyebabkan tanaman tak bisa berfotosintesis dan akhirnya mati.

Nimfa hama ini tumbuh dari telur yang biasanya terletak di bagian bawah daun dan memilikilapisan lilin yang terlihat dari jauh. Konsentrasi hama jenis ini bisa menyebabkan kerugian besar dalam pertanian, seperti ketika hama menyerang ketela pohon di Afrika pada tahun 1980-an, mengakibatkan kerugian materi dan kelaparan.

"Kekhawatiran kami adalah, hama akan menyebar ke seluruh pulau di Indonesia dan negara tetangga di Asia Timur Laut dan Asia Selatan," kata Muniappan yang memimpin program kerja sama bertajuk Integrated Pest Management Collaborative Research Support Program. Jika telah menyebar, kerugian materi yang diakibatkan bisa tak terkira.

Muniappan mengatakan, memperingatkan pihak terkait dengan hasil penelitian ini bisa mencegah dampak bencana. "Ilmuwan di negara ini, dimana lalat putih raksasa belum tersebar luas harus mengambil langkah pencegahan. Misalnya bisa dilakukan dengan cara menginformasikan kepada publik dan karantina untuk mecegah dampak ekonomi serius," katanya.

Menurut Muniappan, langkah pencegahan dengan kontrol biologis, yaitu dengan mengintroduksi spesies yang menjadi musuh, merupakan langkah paling efektif dan mudah. Di Amerika Serikat saat ini telah ada dua spesies yang menjadi musuh hama ini, yakni Idioporus affinis and Encarsiella noyesii.

Diketahui, tanaman ornamental seperti poinsettia saat ini tengah dikembangkan di berbagai wilayah di Indonesia. jenis tanaman tersebut merupakan inang potensial hama ini. Dengan mengontrol persebaran hama tersebut, maka kerugian materi akibat serangan hama pada jenis tanaman tersebut bisa dicegah. (kompas)