Tampilkan postingan dengan label iklim dan pertanian. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label iklim dan pertanian. Tampilkan semua postingan

Minggu, 19 Juni 2011

Berita Pertanian : Wapres : Petani Harus Siap Hadapi Perubahan Iklim

TENGGARONG. Wakil Presiden Boediono mengatakan petani harus disiapkan dengan baik untuk dapat menghadapi perubahan iklim sehingga ketahanan pangan tetap terjaga.

"Kita harus menyiapkan para petani agar dapat menyesuaikan pola tanamnya sesuai dengan perubahan yang terjadi," kata Wapres dalam pidato pembukaan di Pekan Nasional (Penas) XIII Petani Nelayan, yang diselenggarakan di Tenggarong, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Sabtu (18/6).

Wapres didampingi Ibu Herawati dan juga sejumlah menteri yakni Menteri Pertanian Suswono dan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan.

Menurut Wapres, perubahan iklim ini merupakan tantangan yang serius yang dihadapi disemua belahan dunia. Selain itu, bencana alam juga kerap terjadi.

Wapres mengatakan sudah menjadi tugas bersama khususnya pemerintah untuk menyiapkan rencana dan langkah-langkah mendasar sebagai antisipasi terhadap pancaroba dan perubahan iklim ini.

Wapres menuturkan dengan perubahan yang sangat drastis ini, maka petani bukan hanya memerlukan petunjuk teknis yang cocok dengan setiap lokasi.

Aparat pertanian harus dapat memfasilitasi penyesuaian dan pola tanam petani semaksimal mungkin, termasuk dalam penyediaan sarana dan prasarana pembiayaan dan berbagai keperluan untuk menunjang produksi.

Lebih lanjut Wapres mengatakan masyarakat kehutanan juga memainkan peran yang penting dalam mengatasi tantangan perubahan iklim ini.

"Kita semua harus mengambil strategi pembangunan yang tepat tanpa mengorbankan kelestarian hutan dan lingkungan," kata Wapres dihadapan sekitar 30 ribu peserta Penas XIII.

Wapres, dalam kesempatan tersebut juga menekankan pentingnya saling bekerja sama dan bahu membahu mengatasi berbagai tantangan yang dihadapi.

Soal Lahan Sementara itu, Wapres mengatakan untuk menjaga ketahanan pangan maka diperlukan peningkatan produktivitas pangan. Namun peningkatan produktivitas ini tidak semata-mata hanya dengan menambah lahan pertanian.

"Benar penambahan dan perluasan lahan pangan masih sangat mungkin kita kerjakan di negara kita, tapi itu bukan hal yang utama dan tidak boleh jadi strategi andalan," katanya.

Wapres menyebutkan, di Indoesia terjadi kompetisi pemanfaatan atas lahan yang semakin tajam untuk berbagai keperluan. Untuk itu, harus dikerahkan daya dan upaya untuk peningkatan produksi pangan.

"Kunci peningkatan produktivitas adalah inovasi dan teknologi. Yang kita perlukan disini adalah suatu sistem inovasi dan teknologi yang utuh bukan hanya sepotong-sepotong," kata Wapres.

Sistem ini harus dibangun, yang memungkinkan berkembangnya inovasi dan teknologi pertanian pangan secara berkelanjutan.

Namun, Wapres menggaris-bawahi, unsur penentu peningkatan produktivitas ini adalah pelaku di lapangan yakni petani dan nelayan. Untuk itu, sangat penting untuk menciptakan kondisi yang kondusif agar petani dan nelayan dapat melaksanakan perannya secara maksimal untuk meningkatkan produktivitas pangan.

Sementara itu, setelah membuka Penas XIII, Wapres bersama Mentan dan Menhut menyaksikan gelar teknologi dan pameran pembangunan pertanian nasional. (ant)

Senin, 11 April 2011

Program (Adaptasi) dengan Perubahan Iklim yang Tidak Pas

Perubahan iklim dan kecukupan pangan saat ini menjadi masalah krusial yang dihadapi negeri ini. Perubahan iklim menjadi sorotan dan menjadi bahan diskusi serta lokakarya di berbagai level pertemuan. Sementara pemerintah sibuk berdiskusi, di level rakyat, para petani dan nelayan harus berupaya sendiri untuk bisa beradaptasi dengan perubahan iklim yang telah menampakkan wajahnya.

”Pemerintah masih berkutat dengan definisi, tetapi sedikit kebijakan dan tindakan riil. Sementara dari hari ke hari petani, juga petambak dan nelayan terus menghadapi dampak perubahan iklim,” ujar Said Abdullah, yang lebih dikenal dengan nama Ayip dari Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), pekan lalu saat di Indramayu, Jawa Barat.

Pengamatan di atas yang diungkapkan Ayip tidak keliru. Kondisi seperti itu pula yang tertangkap di sejumlah daerah. Program-program adaptasi yang dibuat pemerintah ibarat kerja membasahi pasir panas. Setidaknya itulah yang terekam ketika Kompas mengikuti perjalanan ke daerah kantong-kantong beras, seperti Karawang, Indramayu, dan ke daerah pesisir di Brebes. Petani saat ini menghadapi ancaman gagal panen akibat semakin tidak menentunya awal musim hujan, ancaman intrusi air laut, dan kasus lama seperti serangan hama yang kini cenderung semakin ganas,

Pemerintah memang telah berupaya mendekatkan isu perubahan iklim kepada para petani dan nelayan serta membuat program adaptasi bagi mereka. Tapi Zaenuddin, petani di Desa Cantigi Kulon, Kabupaten Indramayu, mengatakan, ”Katanya hujan itu datang dari gunung, lha sekarang hujan datangnya dari laut. Yang dikatakan di sekolah lapang iklim itu tidak cocok.” Rupanya, yang sampai ke petani adalah hanya pengetahuan umum soal perubahan iklim dan ilmu yang didapat tidak cocok untuk diterapkan di daerahnya.

Di sisi lain, pranata mangsa yang selama turun-temurun dipegang petani sudah tidak tepat lagi. Akhirnya, apa yang diajarkan di sekolah lapang banyak yang tidak pas dengan kondisi setempat. Itulah yang diutarakan oleh pemerhati adaptasi iklim khususnya sosiologi pemanfaatan prakiraan, Raja P Siregar. Program adaptasi masih bersifat top down. Kemampuan petani untuk beradaptasi dipandang amat lemah (hanya) karena mereka berpendidikan rendah—80 persen petani berpendidikan maksimal SD (Kompas, 6/4).

Faktanya, setiap daerah memiliki karakter sosial-ekologisnya sendiri. Seperti dikemukakan Dedi Sucahyono dari Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara Deputi Klimatologi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) di sela sekolah komunitas di Indramayu, pekan lalu, bahwa wilayah iklim bisa mencapai ratusan.

Masalah utama adalah bahwa pemerintah masih terus terjebak pada kata proyek atau program. Dan, ketika program diterjemahkan, terjemahannya selalu satu nada. Misalnya, petani harus menanam benih tertentu yang telah dipilih. Padahal, seperti kata Ayip, benih tertentu hanya cocok di daerah tertentu. ”Pada desa yang berbatasan saja bisa sangat berbeda hasilnya,” ujarnya.

Dan, Zaenuddin bersama anggota kelompoknya pun mulai mencoba sendiri menanam 15 varietas padi untuk mendapatkan varietas padi yang tahan di lahan sawah yang airnya agak asin. Upaya serupa dilakukan di desa tetangga dan sudah berhasil.

Dari semua catatan di atas, hal yang mesti diingat adalah negeri ini adalah negeri keberagaman. Bukan hanya dalam hal agama dan suku. Bahkan, kondisi fisik dan alamnya pun beragam. Maka, dalam konteks adaptasi pertanian menghadapi perubahan iklim, paradigma ”membangun dalam keberagaman” harus dipegang. Dan, nilai-nilai lokalitas: mulai dari sumber daya manusianya maupun sumber daya ekosistemnya harus dihargai dan dijadikan titik pijak. Yang dibutuhkan para petani sebenarnya hanya pendampingan, teman berpikir, dan fasilitator. Bukan ”guru” yang merasa tahu segalanya....(Brigitta Isworo Laksmi)