Tampilkan postingan dengan label bea impor. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label bea impor. Tampilkan semua postingan

Senin, 21 Februari 2011

Berita Pertanian : Petai RI Laris Manis di Singapura


JAKARTA. Komoditi sayur mayur Indonesia cukup laris di pasar Singapura, salah satunya petai asal Lampung. Secara keseluruhan, pangsa pasar sayur mayur dan buah Indonesia hingga kini belum tembus 10%, namun tren kenaikan terus terjadi.

"Selama ini kita ekspor sayur ke Singapura paling utama kol, kentang, sawi, paprika, buncis, lada air. Cabai juga ada tapi sangat kecil, lobak, petai juga laku banget. Orang Singapura sudah tahu pete," kata Ketua Umum Asosiasi Sayur dan Buah Indonesia Hasan Johnny Widjaja kepada detikFinance, Senin (21-2).

Hasan mengatakan komoditi petai di Singapura selama ini disuplai dari Lampung, Sumatera. Hampir setiap minggu petai-petai asal Lampung yang sudah dikupas dan dikemas dikirim sebanyak 1 ton.

Harga petai di negeri Singapura rata-rata dijual SGD 4 per Kg. Jika dikonversi ke rupiah, harga petai di Singapura sudah berlipat-lipat dari harga petai di dalam negeri karena faktor transportasi.

"Saya nggak tahu pembelinya apa orang kita atau orang Singapura. Pastinya, kita kenalkan petai reaksinya cukup baik. Yang jelas TKI kita disana ada 180 ribu orang," katanya.

Selain sayur mayur, beberapa buah-buahan Indonesia cukup diminati di pasar Singapura misalnya Nanas, Salak, Mangga Harum Manis dan Gedong, Semangka Belimbing.

Ia menambahkan selama ini komosisi pasar sayur dan buah Indonesia belum sampai 10% karena suplai berkurang kerena faktor cuaca. Meskipun ia meyakini komposisi pangsa pasarnya akan naik hingga 15% di tahun ini.

"Tahun ini kita coba ekspor alpukat selama ini belum ekspor, nanas akan ditingkatkan, sayuran masih kol jadi utama," katanya.

Selama ini volume ekspor sayur Indonesia ke Singapura rata-rata per minggunya mencapai 10 kontainer, sementara buah-buahan hanya 5 kontainer.

Di Singapura, penyuplai sayur dan buah terbesar adalah Malaysia sebesar 48%, disusul China 26%, India dan Vietnam 6% dan lain-lain.(LP)

Kamis, 03 Februari 2011

Berita Pertanian : Hentikan Impor, Kasihan Petani!

JAKARTA - Dampak masuknya sejumah bahan pokok impor ke Indonesia membuat harga bahan pokok di pasar tidak menentu. Selain itu, harga lokal kalah murah dibanding dengan harga impor sehingga petani menjadi korban karena murahnya.


"Mendingan tidak usah diimpor lah, kasihan petani. Kebanyakan barang luar, barang lokal jadi tidak laku, beli pupuk saja sudah mahal. Kasihan petani," ujar salah satu pedagang di Pasar Induk Kramat Jati, Warsiah, Jakarta, Kamis (3/2/2011).

Lebih lanjut dia menjelaskan jika pemerintah kebanyakan impor, harga di pasar akan jatuh, dan membuat petani merugi. "Kebanyakan impor jadi pasokan banyak, harganya murah. Sementara bibit sama obat (tanaman) mahal," tambahnya.

Tapi, memang dengan impor itu pembeli yang akan diuntungkan. "Memang pembeli diuntungkan, tapi petani kasihan. Biarin lah petani kita untung sekali-sekali dengan penjualan mahal," pungkasnya. (okezone)

Selasa, 18 Januari 2011

Berita Pertanian : Bea impor kedelai rugikan perajin dan petani

BANDUNG: Harga kacang kedelai di tingkat importir di Jawa Barat pada Januari ini naik 34% dibandingkan dengan harga pada Desember 2010 dari Rp4.900 per kg menjadi Rp6.600 per kg.

Asep Nurdin, Ketua Koperasi Perajin Tahu Tempe Indonesia (Kopti) Jabar, menjelaskan kenaikan harga tersebut mulai berlaku sejak 4 Januari yang dipicu oleh rencana pemerintah yang akan memberlakukan bea masuk impor kedelai sebesar 5%.

Namun ternyata, lanjutnya, rencana tersebut batal. Pemerintah justru membebaskan bea masuk impor pangan, salah satunya adalah kedelai.

“Sayangnya, pembebasan bea masuk tersebut belum menurunkan harga kedelai di tingkat importir sehingga harga di tingkat eceran pun masih sama Rp6.600 per kg,” katanya kepada Bisnis, kemarin.

Dia menjelaskan harga tersebut berlaku untuk kacang kedelai kualitas/Kw III, yang biasanya hanya digunakan sebagai pakai ternak. Di tingkat eceran, harga kedelai pada Desember berkisar Rp5.500 per kg, naik menjadi Rp7.000 per kg.

“Seharusnya kualitas kedelai yang kami pakai adalah kedelai Kw I, atau yang menyerupai, tapi harganya di atas Rp8.000 per kg, itu pun tidak ada yang lokal, semuanya impor dari Kanada dan Amerika Serikat,” jelasnya.

Asep menjelaskan bahwa kebutuhan kacang kedelai perajin tahu dan tempe di wilayahnya pada tahun ini masih sama dengan kebutuhan tahun sebelumnya, yaitu berkisar 2,4 juta ton.

Dari jumlah tersebut, lanjutnya, kacang kedelai yang dipasok petani lokal hanya mencapai 700.000 ratau hanya 29% saja.

“Kebutuhan kedelai perajin masih didominasi oleh kedelai impor Kanada dan Amerika Serikat, untuk kedelai lokal kami masih kesulitan mencarinya,” katanya.

Menurut dia, pemerintah telah mencanangkan swasembada kedelai pada 2014 sebanyak 1 juta ton per tahun, namun baru terpenuhi sebanyak 700.000 ton.

“Tingkat ketergantungan terhadap kedelai impor masih besar, sayangnya yang diimpor hanya kedelai Kw III. Padahal kalau mau, sebaiknya langsung impor yang bagus,” katanya.

Untuk mendorong keterbatasan pasokan kedelai lokal, kata Asep, perajin tahu dan tempe mendorong pemerintah untuk meningkatkan luas lahan petani lokal sehingga mampu memenuhi kebutuhan perajin.

“Ada juga petani yang mau menanam, namun sebelumnya mereka meminta kepastian dari pemerintah mengenai harga dan serapan pasarnya, sehingga petani tidak merugi,” katanya.

Menurut dia, petani lokal mendapatkan keuntungan sebesar Rp500 per kg, diambil dari selisih harga jual dengan biaya tanam. Biaya tanam mencapai Rp5.000 per kg, sedangkan harga jual di tingkat berkisar Rp5.500 per kg.

“Namun itu belum cukup menguntungkan bagi petani lokal,” ujarnya.

Asep menjelaskan petani kedelai di Amerika Serikat hanya mendapatkan keuntungan sebesar Rp70 per kg, namun memiliki lahan tanam yang sangat luas dengan ditunjang berbagai bantuan dari pemerintahnya.

Di Indonesia, keuntungan sudah Rp500 per kg, namun lahan tanam sangat minim, ditambah dengan banyaknya kebijakan pemerintah yang dinilai merugikan petani.
(bisnis.com)