"Keberhasilan Thailand dan Vietnam mengembangkan pertanian adalah karena adanya bank khusus pertanian. Padahal kedua negara itu belajar banyak dari BRI pada 1980-an. Bahkan mereka datang sejak tahun 1974-an. Mengapa Indonesia meninggalkan itu, apa yang menjadi kata sukses yang tidak kita pertahankan?," kata Bustanul Arifin saat ditemui seusai diskusi panel "Model Pembiayaan Pertanian untuk Pemberdayaan Petani" di Jakarta, Rabu.
Menurut dia, bank khusus pertanian mulai ditinggalkan Indonesia karena ada praktik-praktik manajemen yang bermasalah terutama terkait penyaluran.
"Thailand dan Vietnam melakukan tetapi sejarah kita jauh lebih baik dari kedua negara tersebut. BRI kita dulu sudah mengembangkan simpedes. Sebetulnya lebih lengkap baik pelajaran maupun modal sudah cukup. Yang dikhawatirkan adalah praktik-praktik manajemen yang selama ini untuk penyaluran masih banyak yang bermasalah," ujar dia.
Karena itu, otoritas perbankan dalam negeri perlu mengembangkan gagasan baru untuk mendidik kembali para bankir agar mampu lebih mengerti dan memahami sektor pertanian.
Artinya, diperlukan suatu keberanian dan terobosan pemihakan kebijakan perbankan yang lebih pro-pertanian. Misalnya melalui Peraturan Bank Indonesia yang mendorong pemberian insentif bagi perbankan yang mampu membentuk unit khusus R&D yang fokus pada pembangunan pertanian.
"Kisah sukses PT Rabo Bank Indonesia yang memiliki 71 orang peneliti pembangunan pertanian tidak terlalu tabu untuk ditiru. Rabo didirikan dengan semangat koperasi pertanian, berorientasi pada kesejahteraan anggota/nasabah, ikut mempengaruhi perjalanan bisnis Rabo," ujar dia.
Karena itu, ia menegaskan agar sektor pertanian terus digalakkan di Indonesia. Bahkan salah satu bank nasional Belanda Rabobank berminat mengembangkan sektor pertanian di Indonesia.
"Kenapa Rabobank (Belanda) yang fokus pada usaha kecil dan sekarang tertarik untuk membiayai pertanian di Indonesia terutama perkebunan. Sebetulnya pertanian ini menguntungkan walaupun ada resikonya yang tinggi tetapi ini investasi jangka panjang dan meyakinkan," kata dia.
Sebelumnya, Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution mengatakan perluasan layanan keuangan secara non-konvensional atau "branchless banking" dapat meningkatkan akses keuangan bagi para petani kecil.
"Hanya 5,5 persen kredit disalurkan ke sektor pertanian. Itu masih rendah sebab dari total kredit perbankan sebesar Rp2.721,9 triliun per Februari 2013, BI mencatat hanya Rp149,7 triliun yang disalurkan ke sektor pertanian. Karena itu `branchless banking` dapat mengatasi hal tersebut," kata Darmin Nasution di Jakarta, Rabu.
Menurut dia, hal tersebut dilakukan baik untuk memfasilitasi transaksi keuangan melalui sistem pembayaran ritel maupun untuk menyimpan dana di rekening bank, dengan memanfaatkan teknologi telekomunikasi dan jaringan pedagang ritel yang bertindak sebagai agen bank.
"Melalui `branchless banking` tersebut, para petani kecil yang sebelumnya termasuk dalam kategori unbanked secara bertahap akan dapat menikmati layanan keuangan. Ini dimulai dari kemudahan melakukan transfer dana melalui telepon genggam, membuka rekening pembiayaan dan memperoleh fasilitas pembiayaan dari bank," ujarnya.
Proses tersebut akan berjalan baik apabila dilakukan pararel dengan implementasi skim pembiayaan yang bersifat `customized` dan melibatkan bimbingan produksi dan pengembangan produksi dari instansi teknis di daerah.
"Integrasi sistem informasi harga produk pertanian dan jaringan pedagang besar kedalam teknologi komunikasi akan mempermudah pengelolaan produk pertanian pasca panen dan pemasarannya," ujar dia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar