Jakarta: Hutan lindung seluas 1,2 juta hektare di
Aceh terancam musnah akibat rencana alih fungsi lahan dari hutan lindung
menjadi hutan produksi.
Perwakilan Koalisi Penyelamat Hutan Aceh Effendi Isma mengatakan
perubahan fungsi hutan sangat mungkin untuk terjadi selama sudah
dilakukan analisis biofisik yang memadai terhadap lahan tersebut.
Analisis biofisik, lanjutnya, penting dilakukan karena kondisi topografi
Aceh yang beragam. Namun Effendi berpendapat perubahan alih fungsi
lahan dari hutan lindung ke hutan produksi sulit dilakukan.
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Aceh yang akan menghabiskan
1,2 juta hektar lahan itu akan digunakan untuk pertambangan, perkebunan
sawit dan jalan lintas negara. Pembukaan lahan itu diduga akan semakin
menyuburkan praktek illegal logging di provinsi terbarat itu.
Effendi mengatakan perubahan fungsi kawasan hutan lindung menjadi
kawasan area penggunaan lahan seperti perkebunan dan pertambangan sudah
terjadi di beberapa daerah di Aceh seperti di Kabupaten Aceh Tamiang di
Kecamatan Tamiang Hulu, Kecamatan Tenggulun dan Kecamatan Bandar Pusaka.
Kabupaten lainnya adalah Kabupaten Aceh Selatan di Kecamatan Pasir
Raja , Kecamatan Kluet Timur, Kecamatan Kluet Tengah dan Kecamatan
bakongan.
"Pengusaha yang berada di balik RTRW ini banyak dari Malaysia, ada juga
dari lokal. Tapi hampir semua hutan dikuasai pengusaha asing," ujar
Effendi dalam jumpa pers di Jakarta, Rabu (13/3).
Effendi menerangkan pelanggaran dan penyimpangan banyak terjadi pada
masa pemerintahan Gubernur Aceh saat ini yaitu Zaini Abdullah.Pada masa
pemerintahan Irwandi Yusuf, yang bersangkutan justru mengusulkan
penambahan 1 juta hektare hutan lindung.
Namun usulan tersebut tidak pernah terlaksana seiring dengan
berpindahnya tampuk kepemimpinan di bumi rencong.
Peneliti dari PanEco Foundation/Sumatram Orangutan Conservation
Programme Ian Singleton mengaku kecewa dengan disetujuinya perubahan
RTRW oleh Gubernur Aceh.
"Hutan Aceh sangat kaya. Hutan ini merupakan tempat hidup Orang Utan
Sumatra, Harimau Sumatra, Badak Sumatra dan Gajah Sumatra yang jumlahnya
tinggal sedikit akibat berkurangnya lahan hidup mereka," terang Ian.
Pada 1990 lalu tercatat masih ada 3.000 ekor Orang Utan. Namun pada 2012
diduga jumlah tersebut sudah jauh berkurang.
Sejak 2001 hingga 26 Maret 2012 terjadi kebakaran di hutan Rawa Tripa
Kabupaten Nagan Raya. Kasus ini melibatkan dua perusahaan perkebunan
yaitu PT Kallista Alam dan PT Surya Panen Subur (SPS). Keduanya diduga
melakukan pembukaan lahan dengan membakar lahan gambut yang menjadi
wilayah konsesi mereka.
"Sejak keduanya mengolah perkebunan kelapa sawit diatas lahan gambut
ini, ditemukan anak Orang Utan yang hidup dalam keadaan tidak normal,"
kata Ian.
Praktisi hukum Gita Syahrani mengatakan peraturan mengenai Tata Ruang
Aceh tertuang jelas dalam Undang-Undang (UU) nomor 26 tahun 2007 tentang
penataan ruang dan UU nomor 11 tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh.
Ahli perlindungan lahan atau Land Protection Specialist dari PanEco
Foundation/Sumatram Orangutan Conservation Programme Graham F. Usher
mengatakan beberapa wilayah yang sudah dialih fungsikan lahannya
terbukti membawa dampak buruk bagi lingkungannya.
Kabupaten Pidie yang merupakan lumbung padi Aceh hampir semua hulu
daerah aliran sungai (DAS)nya sudah terdegradasi dijadikan hutan
produksi.
"Sistem lahan sangat peka gangguan. Hal ini juga mempengaruhi rute
migrasi gajah Sumatera. Dampak untuk satwa adalah satwa akan bermigrasi
masuk ke lingkungan manusia," tegasnya.
Sementara itu di DAS di wilayah pantai barat memiliki gemomorfologi yang
khas. Daerah ini pernah mengalami gangguan pada sungai. Sistem lahan
juga sangat peka dan mempengaruhi rute migrasi Gajah Sumatera. Daerah
lainnya yaitu DAS Tamiang yang lahannya curam sampai 1500 m.
Graham mengatakan pada 2006 daerah ini mengalami banjir yang cukup
parah. Yang mengejutkan adalah yang memenuhi rumah warga bukan cuma air
tetapi gelondongan kayu hasil illegal logging para penebang. Habitat
Gajah Sumatera dan Orang Utam Sumatera juga terganggu.
Perwakilan masyarakat Aceh Tamiang Rudi Putra mengatakan warga sudah
sejak lama melakukan perlawanan terhadap perusahaan yang membuka lahan
hutan lindung. Perlawanan warga sudah berhasil menutup 24 perusahaan
perkebunan yang memanfaatkan lahan seluas sekitar 10.000 hektare.
"Dari zaman Belanda sudah diberikan label hutan lindung namun pada 1970
pemerintah mengubah label itu dengan nama hutan penggunaan," jelasnya.
Ia menduga hal itu hanya merupakan akal-akalan pemerintah untuk bisa
mengambil manfaat sebanyak-banyaknya dari hitan Aceh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar