"Lebih menguntungkan menjadi pedagang beras dari pada menjadi petani," katanya di Medan, Senin (26/3).
Menurut Brilian, kurang beruntungnya petani itu dapat dilihat dari jumlah penghasilan yang didapatkan selama proses bercocok tanam yang berlangsung hingga enam bulan.
Untuk biaya bercocok tanam untuk satu hektare sawah, petani harus mengeluarkan biaya mencapai Rp 1,2 juta ditambah biaya pengolahan tanah sekitar Rp 800.000. Setelah padi ditanam, petani harus menyiapkan dana pupuk dan racun hama yang mencapai Rp1 juta dan penyiraman racun rumput sekitar Rp 500.000 untuk satu hektare sawah tersebut. "Untuk proses tanam awal saja, petani harus menyiapkan dana Rp3,5 juta," katanya.
Kemudian, kata dia, jika dalam satu hektare mampu menghasilkan empat ton gabah yang dihargai Rp 3.000 per kg, petani hanya dapat Rp 12 juta. Setelah itu, petani harus mengeluarkan lagi biaya panen sebesar 20% dari jumlah panen sekitar Rp 1,2 juta sehingga yang diterima petani menjadi Rp 10,8 juta.
Dikurangi lagi dengan biaya bercocok tanam sebesar Rp 3,5 juta yang telah dikeluarkan sejak awal, berarti yang diterima petani hanya Rp7,3 juta untuk satu hektare sawah.
Jika jumlah tersebut dibagi enam bulan selama proses bercocok tanam, kalangan petani tersebut hanya mendapatkan keuntungan sekitar Rp1,2 juta. "Lain lagi kalau lahannya disewa, apalah yang bisa didapatkan petani," kata Bendahara Fraksi PDI Perjuangan DPRD Sumut itu.
Karena itu, tidak mengherankan jika banyak petani yang mengalihfungsikan lahannya menjadi perkebunan, seperti sawit dan karet. "Kalau kebun sawit, tanpa capek-capek dan biaya perawatan, bisa mendapatkan keuntungan minimal Rp1,5 juta per hektare," kata anggota Komisi B Bidang Perekonomian DPRD Sumut itu.
Ia mengatakan, kondisi kurang menguntungkan jika dialami petani yang memproduksi beras unggulan "Kuku Balam" yang hanya dibeli dengan harga Rp 4.250 per kg. Di pasaran, harga beras tersebut diperjualbelikan sekitar Rp 10.000 per kg sehingga tetap kurang memberikan manfaat lebih bagi petani.
Kalau begitu, sangat wajar banyak petani yang kecewa karena harganya yang sangat tidak berpihak. "Lebih enak menjadi pedagang saja. Tanpa capek-capek, bisa dapat untung besar," katanya. (ant)
Menurut Brilian, kurang beruntungnya petani itu dapat dilihat dari jumlah penghasilan yang didapatkan selama proses bercocok tanam yang berlangsung hingga enam bulan.
Untuk biaya bercocok tanam untuk satu hektare sawah, petani harus mengeluarkan biaya mencapai Rp 1,2 juta ditambah biaya pengolahan tanah sekitar Rp 800.000. Setelah padi ditanam, petani harus menyiapkan dana pupuk dan racun hama yang mencapai Rp1 juta dan penyiraman racun rumput sekitar Rp 500.000 untuk satu hektare sawah tersebut. "Untuk proses tanam awal saja, petani harus menyiapkan dana Rp3,5 juta," katanya.
Kemudian, kata dia, jika dalam satu hektare mampu menghasilkan empat ton gabah yang dihargai Rp 3.000 per kg, petani hanya dapat Rp 12 juta. Setelah itu, petani harus mengeluarkan lagi biaya panen sebesar 20% dari jumlah panen sekitar Rp 1,2 juta sehingga yang diterima petani menjadi Rp 10,8 juta.
Dikurangi lagi dengan biaya bercocok tanam sebesar Rp 3,5 juta yang telah dikeluarkan sejak awal, berarti yang diterima petani hanya Rp7,3 juta untuk satu hektare sawah.
Jika jumlah tersebut dibagi enam bulan selama proses bercocok tanam, kalangan petani tersebut hanya mendapatkan keuntungan sekitar Rp1,2 juta. "Lain lagi kalau lahannya disewa, apalah yang bisa didapatkan petani," kata Bendahara Fraksi PDI Perjuangan DPRD Sumut itu.
Karena itu, tidak mengherankan jika banyak petani yang mengalihfungsikan lahannya menjadi perkebunan, seperti sawit dan karet. "Kalau kebun sawit, tanpa capek-capek dan biaya perawatan, bisa mendapatkan keuntungan minimal Rp1,5 juta per hektare," kata anggota Komisi B Bidang Perekonomian DPRD Sumut itu.
Ia mengatakan, kondisi kurang menguntungkan jika dialami petani yang memproduksi beras unggulan "Kuku Balam" yang hanya dibeli dengan harga Rp 4.250 per kg. Di pasaran, harga beras tersebut diperjualbelikan sekitar Rp 10.000 per kg sehingga tetap kurang memberikan manfaat lebih bagi petani.
Kalau begitu, sangat wajar banyak petani yang kecewa karena harganya yang sangat tidak berpihak. "Lebih enak menjadi pedagang saja. Tanpa capek-capek, bisa dapat untung besar," katanya. (ant)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar