“Pasar luar negeri seperti Malaysia, Thailand dan Vietnam justru menginginkan pupuk organik yang bukan berbahan baku kotoran hewan (kohe). Pupuk organik yang mereka inginkan benar-benar harus terhindar dari bahan baku kotoran hewan. Najis katanya!”
Itulah sekilas komentar yang diucapkan owner sekaligus Direktur Utama PTAgro Tani Marisi, Tulus P Sitorus SE, ketika bertandang ke pengolahan pupuknya di kawasan Medan – Binjai Km 11, belum lama ini.
Di lokasi pabrik yang berdiri di atas lahan seluas 1,2 hektare itu ada empat bangunan yang merupakan tempat pengolahan dan gudang pupuk yang bila ditotal luas bangunan seluruhnya berkisar 8.000 meter per segi. “Untuk sarana dan prasarana pengolahan pabrik ini, saya menginvestasikan sekitar Rp 20 miliar. Cukup lumayan besar untuk sebuah pabrik pupuk. Dan, saya optimistis, pupuk yang diproduksi oleh PT Agro Tani Marisi ini bisa diserap pasar dan diterima petani baik dalam maupun luar negeri,” katanya penuh semangat.
Dalam bisnis pupuk, Tulus Sitorus bukanlah pendatang baru. Pengalamannya di bisnis ini sudah dimulai sejak tahun 1998. Tidak tanggung-tanggung, pabrik pupuk pertama yang didirikannya berada di Indrapuri, Aceh Besar dengan memproduksi pupuk magnesium/kiesrit dan phospat. “Sampai sekarang, pabrik tersebut masih memproduksi,” akunya.
Pupuk yang diproduksi oleh anak perusahannya CV Sahabat Tani Mandiri itu sebagian besar untuk memenuhi kebutuhan pupuk di Aceh dan sebagian lagi mengisi pasaran pupuk di Sumatera Utara (Sumut) dan di luar Sumut. Sejalan dengan itu, Tulus juga berperan sebagai distributor pupuk urea non-subsidi serta pupuk impor lainnya untuk memenuhi kebutuhan perkebunan kelapa sawit.
Namun, seiring dengan perkembangan zaman serta tuntutan tanah yang mengharuskan penggunaan pupuk organik, Tulus pun mendirikan pabrik pupuk di kawasan Medan – Binjai Km 11. Pabrik yang diresmikan pada tanggal 21 Januari 2012 itu dihadiri langsung oleh Dirjan Tanaman Pangan Kementerian Pertanian Udhoro Kasih Anggoro, Plt Gubernur Sumatera Utara (Gubsu) Gatot Pujo Nugroho yang diwakili Assisten II Pempropsu Dzaili Azwar, Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Sumut M Roem serta mantan menteri koperasi Adi Sasono.
Keinginannya paling besar dari pabrik pupuk yang didirikannya itu tak lain untuk membantu program pemerintah dalam menunjang ketahanan pangan dalam negeri melalui peningkatan produksi gabah. Yang mana salah satu indikator peningkatan produksi gabah tersebut adalah penggunaan pupuk organik.
“Saya bukan latah atau ikut-ikutan untuk memproduksi pabrik pupuk organik. Tapi memang, pupuk organik saat ini sangat diperlukan pelaku pertanian termasuk petani dalam memperbaiki kesuburan lahan pertanian kita yang memang sudah pada tahap mengkhawatirkan,” akunya.
Kejenuhan tanah akibat penggunaan pupuk kimia sintetik secara terus menerus dalam waktu yang cukup lama serta jumlah yang cukup banyak mengakibatkan tanah pertanian mengalami degradasi. Pupuk yang diberikan tidak lagi untuk meningkatkan produksi melainkan hanya untuk memberikan hasil bagi produk pertanian yang ditanam petani. Sementara modal kerja petani semakin hari semakin besar sedangkan harga jual ataupun perolehan produksi tidak lagi sebanding.
Akibatnya, petani merugi dan kesejahteraan petani tidak dapat terdongkrak. Inilah salah satu alasan mengapa Tulus memproduksi pupuk organik dan hayati. Karena hanya dengan pemakaian pupuk organiklah kesuburan lahan pertanian dapat ditingkatkan, kerusakan tanah dapat diperbaiki atau dipulihkan.
Dan, keberadaan pupuk organik selama ini juga menurut Tulus banyak dipasok dari Pulau Jawa dan daerah lainnya di luar dari Sumut. Sehingga harga jual pupuk tinggi akibat beban/biaya transportasi yang oleh si pengusaha dibebankan ke petani. “Nah, dengan keberadaan pabrik pupuk organik kita ini otomatis ongkos angkut sudah lebih ringan dibanding kalau kita mendatangkannnya dari luar Sumut. Dengan begitu harga jual pupuk di tingkat petani juga semakin murah,” ucap Tulus.
Dalam pengolahan pupuk organik Tulus mengaku tidak selamanya harus menggunakan kotoran hewan seperti yang didengungkan selama ini. Memang di satu sisi, kotoran hewan (kohe) sangat baik untuk meningkatkan unsur hara tanah, tapi di sisi lain juga bisa menimbulkan kerugian bagi petani dengan munculnya organisme pengganggu baik hama maupun penyakit yang berasal dari kohe tersebut, apabila dalam proses pengolahan kohe menjadi pupuk tidak benar-benar sempurna. “Tapi kalau proses pengolahannya sempurna tidak ada masalah,” katanya.
Mungkin itu juga yang menjadi alasan sehingga petani di luar negeri seperti di Malaysia, Thailand dan Vietnam tidak menggunakan pupuk organik yang menggunakan bahan baku kotoran hewan dalam pengolahan budidaya pertaniannya. Di samping alasan lainnya yang menyebutkan najis.
“Kalau di luar negeri pupuk organiknya bukan terbuat dari kohe tapi dari bahan organik lainnya seperti blotong dan lain sebagainya. Beda dengan di dalam negeri (Indonesia-red) justru harus yang terbuat dari kohe,” akunya.
Pemerintahan di luar negeri sudah mengharuskan petaninya melakukan pertanian organik. Karena selain sehat bagi yang mengonsumsi produk pertanian yang dihasilkan juga lebih ramah lingkungan. Apalagi sekarang ini, dunia sedang gencar-gencarnya melakukan aktivitas ramah lingkungan. Semua-semuanya dikaitkan dengan lingkungan. “Makanya pertanian ke depan sudah harus pertanian yang berbasis ramah lingkungan dan itu sudah dimulai oleh negara-negara lain. Dan, kita tidak boleh ketinggalan,” kata Tulus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar