BANDUNG. Divisi Regional (Divre) Bulog Jawa Barat menambah jumlah impor beras dengan dalih untuk kebutuhan operasi pasar (OP), dan pengadaan beras rakyat miskin atau raskin. Selain impor dari Thailand, Bulog juga membeli beras dari Vietnam.
Kepala Divisi Regional (Divre) Bulog Jabar Usep Karyana mengakui, dari 30 ribu ton stok beras untuk kegiatan OP dan Raskin, sebagian di antaranya merupakan impor dari Thailand dan Vietnam.
"Stok beras untuk OP dan Raskin masih sekitar 30 ribu ton. Dengan rincian, 200 ton impor dari Thailand. Dan, sisanya impor dari Vietnam, serta pengadaan sendiri," ujarnya, Senin (21/11).
Namun, Usep enggan menyebutkan jumlah total impor beras dari Vietnam dengan alasan belum dipasarkan. "Yang jelas kami (kembali) menerima impor dari Vietnam. Soal jumlahnya belum bisa kami ungkapkan sekarang," jelas Usep.
Menurutnya, kebijakan impor itu sifatnya vertikal, Bulog di daerah, provinsi, kabupaten, dan kota hanya melaksanakan tugas, yaitu memasarkan sesuai kebutuhan. "Sekarang ini banyak yang beranggapan seolah Bulog di daerah yang berwenang membeli beras impor. Itu, penilaian yang keliru," tandasnya.
Usep menjelaskan orientasi pengadaan beras impor khusus untuk kegiatan OP dan Raskin, selain menekan harga di pasaran. "Karena harga beras di pasaran kini tergolong normal. Karena itu, kami tidak akan memasarkan beras impor tersebut," kata Usep.
Sebelumnya, Divre Bulog Jabar memasarkan beras impor asal Thailand melalui OP ke sejumlah pasar tradisional di Bandung dan sekitarnya, dengan harga bervariatif, yaitu antara Rp6.100 hingga Rp6.450 per kilogram. Kebijakan Bulog itu sempat ditolak Himpunan Kelompok Tani Indonesia (HKTI) Jabar.
Melalui ketua pelaksana harian Entang, HKTI Jabar menolak kebijakan Bulog yang telah memasarkan beras impor ke sejumlah pasar trsdisional, serta beberapa lokasi lainnya.
Menurutnya, ini sama dengan membunuh petani lokal. Sebaliknya, pemerintah pusat, melalui Bulog yang ada di daerah (provinsi, kota dan kabupaten), menyuburkan petani di luar negeri. Hal ini dinilai sebagai kebijakan yang keliru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar