Oleh : Candra Haris Tua Lubis.
Lahir dan besar di daerah lumbung padi tak membuat Ani (70) bisa hidup layak. Senasib dengannya, keluarga buruh tani lain di Karawang, Jawa Barat, semakin terimpit perkembangan zaman. Pelan tapi pasti, mereka kian tergusur peran industri (Kompas 12/11/2011).
Indonesia sejak selama dikenal sebagai negara agraris. Bentangan luas tanah di zamrud khatulistiwa ini telah menjadi surga bagi jutaan penduduk Indonesia dalam menggantungkan hidupnya. Masih teringat dalam benak sepenggal syair lagu klasik, demikian bunyinya, "bukan lautan hanya kolam susu, kail dan jala cukup menghidupimu, tiada badai tiada topan kau temui, ikan dan udang menghampiri dirimu, orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman…". Namun bak jauh panggang dari api, kini syair lagu tak seindah dengan kenyataan.Lahir dan besar di daerah lumbung padi tak membuat Ani (70) bisa hidup layak. Senasib dengannya, keluarga buruh tani lain di Karawang, Jawa Barat, semakin terimpit perkembangan zaman. Pelan tapi pasti, mereka kian tergusur peran industri (Kompas 12/11/2011).
Tidak berlebihan kalau mengatakan sebenarnya negara kita sedang mengalami krisis pangan, bayangkan saja impor tidak hanya terjadi pada komoditas beras, yang paling menggelikan kita juga mengimpor garam. Kementrian Perdagangan memperkirakan tahun 2012 Indonesia akan mengimpor garam pada kisaran 1000.000-200.000 ton. Mungkin orang akan bertanya, bukankah Indonesia merupakan negara kepulauan yang dikelilingi oleh lautan yang membentang dari Sabang sampai Merauke, lalu dimana yang menjadi masalah? Universitas di Indonesia juga cukup masif untuk menghasilkan tenaga-tenaga ahli untuk memproduksi garam. Dalih cuaca yang diwarnai hujan sepanjang tahun rasanya tidak bisa diterima sepenuhnya, bukankah ada banyak daerah yang dijadikan sebagai sentra penghasil garam? Kalau kita mengimpor barang-barang elektronik yang canggih dengan kemampuan inovasi teknologi yang tinggi mungkin kita masih maklum, tapi kalau garam saja sudah di impor, entah apalagi jadinya negeri ini!
Kebijakan pengelolaan pertanian sangat erat kaitannya dengan upaya pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi yang mensyaratkan pertumbuhan tidak hanya berorientasi kuantitatif tetapi juga kualitatif. Hal ini bisa tercermin dari kemajuan kualitas manusia Indonesia. Faktor pangan menjadi pendukung untuk membentuk manusia Indonesia yang berkualitas. Pendapatan petani yang rendah yang tercermin malalui Nilai Tukar Petani (NTP) manambah mimpi buruk para petani kita. Hal ini diperparah dengan sejumlah bencana lain yang dialami petani. Bayangkan saja, dari hasil perhitungan yang dilakukan Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA), kerugian yang diderita petani padi pada tahun 2011 mencapai Rp 4,8 trilliun, hal ini dipicu oleh penurunan produktivitas tanaman padi.
Lalu yang menjadi pertanyaan harus dari manakah kita mulai mengurai benang kusut pertanian kita? Sejumlah persoalan pelik tengah menerpa, yang kalau di inventarisasi rasanya tidak akan pernah habis. Misalnya saja kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dalam penggantian biaya gagal panen sebesar 3,7 juta per hektar hingga saat ini belum terealisasi, ironisnya sebagian besar petani tidak tahu. Belum lagi masalah infrastruktur pertanian yang tak kunjung selesai. Pembangunan irigasi disejumlah daerah sentra penghasil pangan selalu terkendala, mulai dari segi pembiayaan sampai manajemen penanganan proyek yang carut marut. Laju konversi lahan pertanian juga menjadi isu yang berkembang saat ini. Undang-undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang memberikan sanksi bagi siapa saja yang mengonversi lahan pertanian menjadi lahan non-pertanian serasa tak bergaung.
Pemerintah perlu bekerja lebih keras lagi dalam menangani sejumlah persoalan yang ada. We can’t do business as usual! Hal ini bisa dimulai dengan penerapan kebijakan atas undang-undang yang telah dikeluarkan. Kebijakan pertanian juga perlu diarahkan pada pola yang sifatnya swadaya. Maka dari itu tenaga penyuluh pertanian lapangan (PPL) perlu ditingkatkan sebagai motor penggerak pertanian. Kebijakan moratorium pengangkatan PNS baru tenaga penyuluh perlu dipertimbangkan ulang, karena saat ini kebutuhannya mendesak. Banyak petani kita yang mengalami gagal panen karena minimnya pendampingan dari tenaga ahli dibidang pertanian yang mampu mengoptimalkan produksi. Maka tidak heran sepertinya petani kita berjuang sendiri ditengah hiruk-pikuk yang ada.
Berani Spesialisasi!
Dalam teori ekonomi dikenal istilah spesialisasi, teori ini lahir dari ekonom besar Adam Smith. Dia percaya kalau sejumlah orang mengerjakan bagiannya sesuai dengan spesialisasi dan kemampuannya maka produktivitas dari orang tersebut akan meningkat, hal ini dikarenakan setiap orang terbiasa mengerjakan pekerjaan yang sama, sehingga hal ini akan mendorong peningkatan keahlian dalam bidangnya. Selanjutnya teori ini dikenal division of labour. Rasanya Indonesia perlu untuk mengambil pelajaran penting dari teori ini. Tidak usah latah dalam mengembangkan nano-teknologi, pengembangan tenaga nuklir atau bidang lain yang perlu energi besar dalam mengembangkannya, bukan berarti tidak perlu. Hanya saja saat ini rasanya tidak terlalu urgen untuk dikerjakan, kalaupun mau dikerjakan hendaknya diarahkan kepada hal-hal yang mendukung pertanian kita. Misalnya saja dalam hal pengembangan industri. Tentu kita jauh ketinggalan dibanding AS atau Jepang, namun kita bisa mendorong pengembangan industri yang berbasis pertanian.
Selanjutnya kembangkan konsep link and match. Di kampus tempat penulis belajar ada sebuah fakultas yang menekuni masalah pertanian, setiap tahun dihasilkan sejumlah penelitian penting dalam bidang pertanian, belum lagi dikampus-kampus lain yang memiliki fakultas pertanian. Yang menjadi pertanyaan kemanakah selanjutnya hasil penelitian tersebut diterapkan? Sayang kalau hanya berujung pada penulisan diatas kertas belaka alias penulisan skripsi. Mari mulai memberdayakan sejumlah sumber yang ada. Pemerintah perlu menjemput bola dengan memanfaatkan hasil penelitian tersebut untuk mengembangkan pertanian di daerah-daerah. Sayang kalau sarjana-sarjana pertanian yang ada dan penelitian yang mereka hasilkan tidak diberdayakan. Maka tidak heran kalau fenomena yang penulis lihat sarjana pertanian justru bekerja di bank. Entah karena faktor penghasilan? Prestise? Atau karena pemerintah yang kurang perhatian? Tak ada yang bisa menjawab, karena jawaban bersifat relatif.
Ya… terlepas dari sejumlah persoalan yang ada, rasanya masih ada kesempatan untuk berubah, asalkan ada niat yang baik dari sejumlah stakeholder. Hal ini demi menyelamatkan jutaan penduduk yang hidup dari pertanian, juga jutaan penduduk yang masih dan akan terus makan dari hasil pertanian, termasuk penulis sendiri sebagai mahasiswa yang nge-kost, yang tiap paginya harus keluar kamar cari makanan untuk sarapan. Semua itu hasil dari pertanian kita. Maka selamatkan pertanian! Selamatkan Ani!
Penulis ialah mahasiswa Jurusan Ekonomi Pembangunan USU, yang hidup dari hasil pertanian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar