Kol atau kubis sudah tidak asing bagi masyarakat Indonesia untuk dikonsumsi. Kol yang banyak ditanam di dataran tinggi Bukit Barisan ini seperti di Berastagi, Kabanjahe, Seribu Dolok dan Tapanuli Utara memang menjadi sumber pendapatan petani karena meski harganya fluaktif, tapi peluang pasar sudah melebar hingga ke luar negeri.
“Rotasi tanaman, setelah panen kol, kemudian menanam kentang, buncis atau sawi putih. Semua jenis tanaman ini menguntungkan dan bisa diekspor,” ujarnya akhir pekan lalu.
Dijelaskannya, selama ini pasar kol atau kubis tidak hanya di Karo atau Kota Medan saja, namun Akim juga telah memasarkannya ke Singapura dan Malaysia. Bisa menembus ke pasar internasional itu memang butuh perjuangan, baik dari perlakuan terhadap tanaman maupun mendapatkan kualitas sayur yang diinginkan serta juga upaya distribusi sayur hingga sampai ke negara tujuan.
Kol yang sudah dipanen ini, biasanya dibagi dalam tiga grade atau tingkatan. Untuk pasar ekspor, kol diklasifikasi grade A, sedang pasar lokal Grade B dan C. Sebelum diekspor, kol diberi perlakuan khususnya yakni pembersihan, pembungkusan dengan kertas dan di-packing.
“Pemackingan kol dalam kardus atau dalam keranjang plastik. Kol juga harus bebas dari pestisida atau dengan kadar rendah,” ungkap Akim.
Pengiriman kol ini, ungkapnya, bisa dilakukan sebanyak 3 kontainer atau sekitar 120 ton perminggu dan pada saat tertentu bisa melebihi. Terkadang kol yang dikirim juga tidak hanya dari Berastagi, tapi daerah-daerah lain yang mengembangkan tanaman kol.
Selama ini kol yang banyak diekspor atau grade A hingga mencapai 70% dari produksi 70 ton hingga 80 ton dari luas lahan tersebut dan grade B serta C hanya mencapai 30%.
Perlakuan khusus mendapatkan hasil kol kelas ekspor ini diperlukan pemupukan harus sampai 3 kali, susulan pertama dan susulan kedua. Kebutuhan pupuk per hektare 2,5 ton dan pupuk kandang 5 ton per hektare.
Meski diakui Akim, harga kol sangat berfluaktif sehingga petani sering mengalami kerugian kalau hanya dipasarkan di dalam negeri. Bayangkan saja, untuk modal tanaman kol ini petani membutuhkan sekitar Rp 15 juta per hektare termasuk di dalamnya untuk pembelian bibit, pupuk dan obat-obatan pestisida.
Memang, saat ini harga kol di tingkat petani mencapai Rp 900 hingga Rp 1.100/kg atau petani bisa memperoleh keuntungan Rp 15 juta sampai Rp 20 juta per hektare. Untuk produksi kol dalam luas lahan 2,5 hektare ini, dikatakan Akim bisa mendapatkan 70 ton dengan pendapatkan hingga Rp 63 juta atau setelah dikurangi modal uang yang bisa dikantonginya Rp 48 juta dalam 90 hari usai panen.
Untuk kebutuhan bibit tanaman kol di atas lahan 2,5 hektare ini atau dengan produksi mencapai 70 ton-80 ton sebanyak 70.000 batang dengan masa pembibitan tiga minggu dan panen 90 hari. Namun memang, harga kol ini sangat rendah atau mencapai Rp 500/kg hingga petani banyak sering mengalami kerugian dan enggan mengembangkan tanaman kol.
Untuk penggunaan bibit tersebut, banyak digunakan dari bibit impor. Saat ini tanaman kol yang sudah dikembangkannya telah berusia 45 hari tanam dan terkadang petani sering menanamnya di sela-sela tanaman jeruk.
Dalam ekspor kol ini, sebenarnya bisa menjadi peluang besar bagi petani karena banyak negara membutuhkan sayur yang dengan nama ilmiah Brassica oleracea L. Apalagi petani sudah bisa melakukan pemackingan dengan bagus.
“Kalau untuk pasar lokal juga sudah menembus di Batam, Pekanbaru, Riau, Dumai hingga Kalimantan. Meski memang banyaknya yang dibutuhkan tidak jelas, belum lagi masalah transportasi yang jauh dari Brastagi hingga ke tempat tujuan sehingga membuat buah menjadi lecet-lecet dan membuat harga jual menjadi rendah,” tutur Akim.
Untuk itu, diminta pemerintah memfasilitasi usaha tani di lapangan, peralatan untuk pascapanen, bantuan obat-obatan untuk pestisida. Jalan usaha tani sangat perlu untuk membawa barang dari lapangan ke gudang.
Meski besarnya pelung pasar komoditas kol atau kubis ini, Akim Purba dan petani tanaman kol lainnya berharap pemerintah dapat membantu petani dalam memfasilitasi infrastruktur yang berkualitas sehingga pengangkutan kol ke tempat tujuan atau pasar tidak terlalu jauh dan membuat sayur menjadi rusak.
“Jalan usaha tani ini sangat penting, karena untuk membawa barang dari lapangan ke gudang. Belum lagi perjalanan ke tempat tujuan serta pemackingan yang bagus dan buah dapat diterima pasar dengan harga tinggi,” katanya.Jauhnya jarak dan kurang mendukungnya infrastruktur jalan, sering membuat buah ddan sayur yang akan dijual ke kota lain menjadi terhambat dengan waktu panjang. Jeleknya jalan pun membuat sayur sampai tujuan menjadi lecet-lecet dan bahkan ditolak oleh pembeli atau kalau ada yang mau dengan harga murah.
Harga sayur dan buah ini, memang masih ditentukan pasar sehingga berfluaktif atau tidak tetap. Belum lagi, permintaan yang tidak menentu sehingga membuat over produksi ditingkat petani dan berimbas pada harga.
“Peluang pasar ini banyak, tapi seharusnya pemerintah dapat menjamin harga jual dan pemasaran khususnya permintaan dari luar negeri. Karena petani sering mengalami kerugian besar, kalau saja harga turun sedangkan produksi melimpah dengan permintaan yang sedikit,” ungkapnya.
Ditempat terpisah, Kepala Dinas Pertanian Sumut Muhammad Roem, menyatakan, permintaan buah dan sayur dari Sumut terus meningkat apalagi sejak terbentuknya Asosiasi Eksportir Sayur dan Buah Indonesia (Aesbi) dalam setahun belakangan in, khususnya dari Singapura dan Malaysia.
“Permintaan terus ada, meski sebelum ada Aesbi kerja sama Indonesia ke Singapura dengan ekspor buah dan sayur telah terjalin lama namun sebelumnya tidak terorganisir sehingga banyak kegiatan yang tidak terdata,” katanya.
Untuk buah dan sayur yang banyak dikirim ke luar negeri yakni, kentang, kubis, sawi putih, tomat, alpokat, jeruk, pisang dan buah lainnya. Saat ini untuk pasar di Singapura, pengiriman buah dan sayur mencapai 80 ton perminggunya. Sedangkan ke Malaysia sebanyak 500 ton perminggu dan Batam mencapai 800 ton perminggu.
"Jumlah ini masih sedikit dari kebutuhan pasar. Kita baru bisa mensuplai 5% saja dari kebutuhan mereka. Buah dan sayur yang dikirim di antaranya berasal dari daerah sentra pertanian seperti Karo, Simalungun dan Dairi," ungkap Roem.
Seharusnya memang ini menjadi kesempatan petani dalam meningkatan produksinya yang berkualitas karena harga pasar luar negeri juga masih bagus. Seperti untuk kentang mencapai Rp 12.000/kg, kubis dan sawi putih masing-masing Rp 7.000/kg dan tomat mencapai Rp 14.000 hingga Rp 15.000/kg.
Menurut Roem, ekspor komoditas hortikultura ini memang banyak dipasarkan ke Singapura, karena secara geografis jaraknya dekat dengan Sumut. Meskipun ekspor telah banyak berkembang di negara-negara lain. Diakuinya, ekspor memang ada tapi anjlok sebelumnya. Padahal potensi komoditas Sumut ada, tapi begitu terlena sehingga lupa kalau Negara lain memiliki produk yang sama dan bahkan lebih memiliki kualitas tinggi. "Seperti China, Thailand, Vietnam dan Filipina lebih bagus kualitasnya dan memiliki produk yang sama," imbuhnya.
Aesbi ini dijelaskan Roem, erupakan working group pemerintah dan swasta untuk kerja sama agribisnis, yang didalamnya terdapat lima propinsi yakni Sumut, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Riau, yang masing-masing daerah memiliki komoditas unggulan yang berbeda. "Komoditasnya berbeda-beda agar masing-masing daerah memiliki khas dan unggulan sendiri. Hal ini harus dilakukan guna meningkatkan nilai ekspor hortikultura bukan hanya di Sumut tapi juga di Indonesia," ungkapnya.
Untuk itu dalam meningkatkan nilai ekspor ke pasar luar negeri, pihaknya sebagai fasilitator mempunyai program peningkatan buah dan sayur seperti jeruk, kubis, sawi putih, sawi botol, bawang daun, kentang, ubi jalar, lobak, jahe gajah, terung, buncis, pisang barangan dan manggis. Sedangkan daerah yang berpotensi memproduksi komoditas tersebut yakni Kabupaten Karo, Simalungun, Langkat, Sergai, Tapanuli Tengah, Tapsel, Madina dan Tobasa serta daerah potensi lainnya.
Menyukseskan kegiatan ekspor hotirkultura ini, seharusnya kabupaten/kota dapat segera meregister lahan-lahan budidaya untuk kepentingan pasar dalam negeri dan luar negeri. Setelah itu, mengurus sertifikasi produk agar terjamin kualitasnya seperti jaminan bahan kimia. "Kualitas residu nya harus bagus dan diperhatikan penggunaan pestisida karena pasar luar negeri tidak suka dengan penggunaan pestisida tinggi," ucapnya.
Selanjutnya, kata dia, petani akan dihubungkan atau dipertemukan dengan pengusaha ekspor tersebut. Sementara Distan hanya sebagai penghubung sehingga kegiatan ekspor dapat terorganisir. Untuk selanjutnya tergantung pengusaha dan petani masing-masing. Petani juga diminta untuk menerapkan pola tanam dan budidaya dengan sistem Standard Operational Procedure (SOP) dan Good Agriculture Practices (GAP).
Di mana, penerapan GAP dengan SOP ini dimulai dari penyiapan lahan, bibit, penananam, pembentukan arsitektur pohon, pemangkasan, pemeliharaan, pemupukan, pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT), panen hingga pascapanen. "Jika ini diterapkan secara maksimal, daya saing dan peluang pasar domestik dan internasional dapat tercapai serta memberikan jaminan keamanan pangan terhadap konsumen," jelasnya.
Kubis menyukai tanah yang tidak becek. Meskipun relatif tahan terhadap suhu tinggi, produk kubis ditanam di daerah pegunungan sekitar 400m dari permukaan laut (dpl) ke atas di daerah tropik. Tanaman ini dikatakan Akim, petani kol di Brastagi tidak dapat ditanamn sepanjang tahun karena kalau turun hujan atau curah air yang sangat besar, tanaman tidak bisa bertahan.
Karena penampilan kubis menentukan harga jual, kerap dijumpai petani melakukan penyemprotan tanaman dengan insektisida dalam jumlah berlebihan agar kubis tidak berlubang-lubang akibat dimakan ulat.“Apalagi kol banyak ditanam di daerah sentra produksi atau tanaman terus ada sehingga banyak serangan hama dan penyakit, di antaranya ulat daun dan ulat kubis. Untuk membasmi serangan hama ini, kalau mau menembus pasar ekspor tidak boleh menggunakan pestisida kimia. Jadi alternatifnya dengan pengamatan lapangan dan pestisida alami agar buah dapat diterima negara luar,” jelasnya.
Akim yang dibantu oleh 5 orang tenaga kerja mengatakan, walaupun biasanya hanya bagian massa bunga yang dimanfaatkan sebagai sayuran yang mengandung mineral cukup lengkap, daun tanaman ini bisa dimakan dan rasanya manis tanpa ada rasa pahit.
Selain tanaman yang tidak tahan hujan, Akim menjelaskan tanaman kol atau kubis sering kali mendapat serangan hama dan penyakit. Ini disebabkan terus adanya pertanaman sepanjang musim oleh petani yang memang sudah banyak mengembangkan tanaman kol. “Seharusnya ada rotasi jenis tanaman. Tapi karena terus ada pertanaman, hama dan penyakit pun datang yang memang mengganggu produksi kol itu,” katanya.
Untuk serangan hama yang sering datang pada tanaman kol, dicontohkannya yakni Ulat Plutella (Plutella xylostella L). Ulat berwarna hijau ini memakan permukaan daun bagian bawah dengan meninggalkan tulang-tulang daun sehingga daun berlubang. Kemudian ada juga Ulat Croci, berwarna hijau bergaris punggung hijau muda dan berwarna kuning di sisi perut bisa membuat massa bunga atau daun di sekelilingnya menjadi bolong-bolong.
Ulat tanah menyerang tanama kubis dengan cara memotong titik tumbuh atau pangkal batang tanaman sehingga tangkai daun atau batang rebah dan layu terutama di siang hari. Serta hama kutu daun dapat menghisap cairan sel sehingga daun menguning dan massa bunga berbintik-bintik kotor. Biasanya, kutu ini hidup berkelompok di permukan bawah daun atau pada massa bunga dan biasanya serangan hebat biasanya terjadi di musim kemarau.
Untuk penyakit tanaman kol, ada busuk hitam yang menyerang semua fase pertumbuhan kubis bunga sehingga batang dan massa bunga menjadi busuk sehingga tidak dapat dipanen. Busuk lunak, akar bengkak membuat lama-lama pertumbuhan terhambat dan kerdil serta tidak bisa berbunga, bercak hitam, semai roboh.
“Pengendalian hama dilakukan dengan cara terpadu, melakukan pergiliran tanaman dengan tanaman selain famili Cruciferae, menyebarkan mikroba yang menjadi musuh alami dan menggunakan pestisida baik yang biologis maupun kimiawi. Untuk mencegah serangan hama dan penyakit, penyemprotan pestisida telah dilakukan walaupun belum ada gejala serangan dalam setiap 2 minggu,” jelas Akim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar