Pernyataan sikap LSM yang diterima di Jakarta, Jumat (20/1) menyebutkan, hutan mangrove yang berada di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) Tanjung Balai dan DAS Sei Babalan, Kabupaten Langkat, merupakan kawasan hutan lindung dengan luas sekitar 30.506 hektare.
Selain itu, kawasan tersebut dinilai merupakan tempat pemijahan benih ikan dan biota hutan laut mangrove yang juga memberikan pendapatan alternatif bagi nelayan karena dalam satu bulan tersebut, kawasan mangrove itu bisa menghasilkan hingga sekitar 50 - 60 liter madu.
LSM memaparkan, sejak tahun 2006 kawasan hutan mangrove yang dirambah dan dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit seluas 16.446 hektare. Perubahan fungsi itu dilakukan oleh tiga perusahaan perkebunan sawit yang menurut para LSM tersebut, aktivitas perambahan itu terus berlangsung karena diduga "dibeking" oleh sejumlah oknum.
Akibat perambahan tersebut, masih menurut dia, telah merugikan negara hingga sebesar Rp 160 miliar serta berakibat memiskinkan masyarakat yang berada di enam desa yaitu Desa Perlis, Klantan, Lubuk Kasih, Lubuk Kertang, Alur Dua, Kelurahan Barandan Barat dan Kelulahan Sei Bilah.
Sedangkan dampak negatif lainnya dari aktivitas perambahan perkebunan tersebut adalah hilangnya mata pencaharian nelayan akibat ditutupnya 30 lebih paluh atau anak sungai (paluh Burung Lembu, Terusan Habalan, Napal dan Tanggung) dengan diameter 3-4 meter.
Paluh itu sendiri merupakan sumber penghidupan, di mana nelayan-nelayan bubu, ambai, belat, jaring menggantungkan hidupnya, serta biasa menjadi tempat berkembangnya ikan-ikan seperti ikan kakap, ikan merah, ikan kerapu, dan ikan senangin.
Untuk itu, gabungan LSM itu menuntut antara lain agar Gubernur Sumatera Utara, Dinas Kehutanan Propinsi, dan Polda Sumut menindak perusahaan yang telah menyengsarakan nelayan dan merugikan nelayan.
Selain itu, LSM juga mendesak agar beberapa perusahaan itu untuk merehabilitasi kawasan mangrove yang telah dirubah fungsinya dan membuka kembali paluh/anak sungai yang telah ditutup akibat dari pengkonversian ekosistem mangrove.
Berbagai LSM itu antara lain adalah Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumut, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), LBH Medan, Gerakan Mahasiswa Intelektual Langkat (Gemilang), dan Green Student Movement (GSM). (ant)
Selain itu, kawasan tersebut dinilai merupakan tempat pemijahan benih ikan dan biota hutan laut mangrove yang juga memberikan pendapatan alternatif bagi nelayan karena dalam satu bulan tersebut, kawasan mangrove itu bisa menghasilkan hingga sekitar 50 - 60 liter madu.
LSM memaparkan, sejak tahun 2006 kawasan hutan mangrove yang dirambah dan dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit seluas 16.446 hektare. Perubahan fungsi itu dilakukan oleh tiga perusahaan perkebunan sawit yang menurut para LSM tersebut, aktivitas perambahan itu terus berlangsung karena diduga "dibeking" oleh sejumlah oknum.
Akibat perambahan tersebut, masih menurut dia, telah merugikan negara hingga sebesar Rp 160 miliar serta berakibat memiskinkan masyarakat yang berada di enam desa yaitu Desa Perlis, Klantan, Lubuk Kasih, Lubuk Kertang, Alur Dua, Kelurahan Barandan Barat dan Kelulahan Sei Bilah.
Sedangkan dampak negatif lainnya dari aktivitas perambahan perkebunan tersebut adalah hilangnya mata pencaharian nelayan akibat ditutupnya 30 lebih paluh atau anak sungai (paluh Burung Lembu, Terusan Habalan, Napal dan Tanggung) dengan diameter 3-4 meter.
Paluh itu sendiri merupakan sumber penghidupan, di mana nelayan-nelayan bubu, ambai, belat, jaring menggantungkan hidupnya, serta biasa menjadi tempat berkembangnya ikan-ikan seperti ikan kakap, ikan merah, ikan kerapu, dan ikan senangin.
Untuk itu, gabungan LSM itu menuntut antara lain agar Gubernur Sumatera Utara, Dinas Kehutanan Propinsi, dan Polda Sumut menindak perusahaan yang telah menyengsarakan nelayan dan merugikan nelayan.
Selain itu, LSM juga mendesak agar beberapa perusahaan itu untuk merehabilitasi kawasan mangrove yang telah dirubah fungsinya dan membuka kembali paluh/anak sungai yang telah ditutup akibat dari pengkonversian ekosistem mangrove.
Berbagai LSM itu antara lain adalah Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumut, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), LBH Medan, Gerakan Mahasiswa Intelektual Langkat (Gemilang), dan Green Student Movement (GSM). (ant)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar