"Tantangan terbesar, sebenarnya pada
pola pikir petani sendiri karena ada keengganan untuk mengubah yang
selama ini sudah ada, mengingat telah turun-temurun," ujar Konsultan
Bidang Pemberdayaan Masyarakat PT Medco E&P Indonesia Wahyudin di
Palembang, Senin (15/4).
Seusai menghadiri seminar "Kemitraan dalan pengembangan agribisnis sumber daya lokal dan display hasil karya gemilang binaan Tanggung Jawab Sosial PT Medco E&P", ia mengemukakan, petani tetap saja berpegang teguh pada cara konvensional meskipun telah diinformasikan bahwa pengelolaan lahan dengan cara organik akan lebih menguntungkan.
Selain produk yang sehat dan ramah lingkungan, pertanian jenis organik ini juga menghasilkan delapan ton padi untuk setiap hektarenya atau unggul sekitar enam ton, serta panen sebanyak dua kali dalam setahun.
"Saat pertama kali dikenalkan di Kabupaten Banyuasin tahun 2009, masih banyak petani yang ragu sehingga hanya mencoba-coba, semisal memiliki total lahan tiga hektare maka yang diperuntukkan organik hanya setengah hektare saja. Namun setelah melihat keberhasilan maka setiap tahun terjadi penambahan lahan," ujarnya.
Meski awalnya sangat lambat yakni hanya menjangkau 5 hektare, namun pada 2012 telah menjadi 40 hektare setelah terjadi penambahan secara bertahap yakni 14 hektare pada 2010 dan 23 hektare pada 2011.
Hasil itu membuat pihaknya optimistis mencapai 60 hektare pada 2013, apalagi kesadaran masyarakat setempat mulai membaik seperti membuat pupuk kompos dari jerami dan kotoran sapi.
Terkait dengan pemasaran produk padi organik itu, menurutnya sama sekali tidak terdapat kendala berarti. "Para petani biasanya melepas ke pasaran dengan harga Rp9.000 per kilogram, sementara harga itu hanya berselisih Rp1.000 dari beras jenis biasa. Meski relatif lebih mahal tapi permintaan tetap tinggi karena masyarakat telah memahami keunggulan jenis organik," katanya.
Pengembangan padi organik terus diupayakan untuk menekan ketergantungan petani terhadap pestisida. Pertanian jenis ini merupakan sistem budidaya yang mengandalkan bahan-bahan alami tanpa menggunakan bahan kimia sintetis.(ant)
Seusai menghadiri seminar "Kemitraan dalan pengembangan agribisnis sumber daya lokal dan display hasil karya gemilang binaan Tanggung Jawab Sosial PT Medco E&P", ia mengemukakan, petani tetap saja berpegang teguh pada cara konvensional meskipun telah diinformasikan bahwa pengelolaan lahan dengan cara organik akan lebih menguntungkan.
Selain produk yang sehat dan ramah lingkungan, pertanian jenis organik ini juga menghasilkan delapan ton padi untuk setiap hektarenya atau unggul sekitar enam ton, serta panen sebanyak dua kali dalam setahun.
"Saat pertama kali dikenalkan di Kabupaten Banyuasin tahun 2009, masih banyak petani yang ragu sehingga hanya mencoba-coba, semisal memiliki total lahan tiga hektare maka yang diperuntukkan organik hanya setengah hektare saja. Namun setelah melihat keberhasilan maka setiap tahun terjadi penambahan lahan," ujarnya.
Meski awalnya sangat lambat yakni hanya menjangkau 5 hektare, namun pada 2012 telah menjadi 40 hektare setelah terjadi penambahan secara bertahap yakni 14 hektare pada 2010 dan 23 hektare pada 2011.
Hasil itu membuat pihaknya optimistis mencapai 60 hektare pada 2013, apalagi kesadaran masyarakat setempat mulai membaik seperti membuat pupuk kompos dari jerami dan kotoran sapi.
Terkait dengan pemasaran produk padi organik itu, menurutnya sama sekali tidak terdapat kendala berarti. "Para petani biasanya melepas ke pasaran dengan harga Rp9.000 per kilogram, sementara harga itu hanya berselisih Rp1.000 dari beras jenis biasa. Meski relatif lebih mahal tapi permintaan tetap tinggi karena masyarakat telah memahami keunggulan jenis organik," katanya.
Pengembangan padi organik terus diupayakan untuk menekan ketergantungan petani terhadap pestisida. Pertanian jenis ini merupakan sistem budidaya yang mengandalkan bahan-bahan alami tanpa menggunakan bahan kimia sintetis.(ant)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar