Medan. Hingga kini, masih banyak petani
di Sumatera Utara (Sumut) yang terjerat dengan sistem ijon. Ini
dilakukan karena petani tidak memiliki uang yang cukup untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya sehari-hari. “Banyak petani yang terpaksa menjual
hasil tanamannya sebelum bisa dipanen. Di sisi lain, fasilitas kredit
dari perbankan yang bisa dimanfaatkan petani tidak terserap secara
maksimal,” kata seorang petani di Desa Tanjung Rejo, Kecamatan Percut
Sei Tuan, Deliserdang, Sutiman, Senin (29/4) di
Medan.
Menurutnya, kurun waktu 3 bulan, yakni
dari saat penanaman sampai panen, petani harus mengeluarkan biaya yang
tidak sedikit. Misalnya untuk beli pupuk atau obat, mereka terpaksa
minjam. “Bahkan harus jual ijon, kalau tidak, kita makan apa," katanya.
Dikatakanya,
untuk mendapatkan hutang/pinjaman, tidak terlalu rumit. Peminjam
biasanya menawarkan pinjaman dengan beberapa persyaratan diantaranya
besaran persen dari pelunasan. "Kalau bayar, kita kena bunga bisa sampai
10 persen," katanya.
Yang lebih muddah, menurutnya, dengan
menjual hasil tanamannya sebelum bisa dipanen. Dengan begitu, biasanya
persentasenya lebih kecil namun konsekuensinya, ketika panen, berarti
panennya sudah bukan menjadi miliknya lagi. "Kita hanya memanen punya
orang," katanya.
Kepala Bidang Tanaman Pangan Dinas Pertanian
Sumatera Utara, John A Sinaga mengatakan, sistem ijon sangat merugikan
petani karena besarnya persentase yang harus dibayar petani. Padahal,
sebenarnya petani bisa meminjam ke perbankan, karena ada fasilitas untuk
membantu petani.
Selama ini, kata dia, sekira Rp 2 triliun
kredit yang bisa diakses petani untuk melanjutkan usahanya dengan
persentase bunga yang lebih kecil. Menurutnya, masih sedikitnya petani
yang mengakses kredit di perbankan dikarenakan minimnya sosialisasi.
Padahal, di perbankan, misalnya untuk Bank Rakyat Indonesia, bunganya
hanya 4%, sedangkan selama ini petani berani dengan pinjaman yang
bunganya bisa sampai 10 - 15 persen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar