Oleh : Muhammad Syahputra, ST.
Agak terkejut memang, ketika membaca sebuah berita bahwa nilai impor beras Indonesia dari luar negeri mencapai 8,5 triliun rupiah. Padahal orang tua kita selalu bilang bahwa Tanah Air Indonesia adalah sebuah bangsa yang memiliki tanah pertanian yang sangat subur, bahkan dalam sebuah lirik lagu disebutkan "tongkat dan batupun jadi tanaman" sebagai ungkapan yang menyatakan betapa suburnya tanah air tercinta ini. Tapi mengapa kini kita harus mengimpor beras dari luar negeri, dengan kata lain berarti pangan bangsa Indonesia ternyata tergantung pada orang asing, bagaimana seandainya mereka tidak mau lagi mengimpor beras ke Indonesia, bisa kelaparan dong rakyat Indonesia.
Tidak tahu apakah tanah ini sudah tidak subur lagi, ataukah memang kebijakan pemerintah yang sudah tidak menyuburkan lagi. Diera tahun 80 dan 90 an dalam pelajaran geografi disekolah selalu dikatakan bahwa sebahagian besar mata pencaharian penduduk Indonesia adalah petani, namun sekarang tidak tahu apakah datanya masih seperti itu atau sudah berubah, kalau memang sebahagian besar penduduk Indonesia bermata pencaharian sebagai petani tentu kita tidak akan kekurangan bahan pangan seperti beras dan lain sebagainya yang harus diimpor dari luar negeri, namun realitanya dapat kita saksikan bahwa telah terjadi perubahan cara hidup masyarakat Indonesia, bertani sudah tidak lagi menjadi primadona masyarakat Indonesia sebagai pekerjaan, justru malah menjadi petani dianggap sebagai suatu pekerjaan yang tidak menjanjikan, bahkan mungkin terkesan ketinggalan zaman.Agak terkejut memang, ketika membaca sebuah berita bahwa nilai impor beras Indonesia dari luar negeri mencapai 8,5 triliun rupiah. Padahal orang tua kita selalu bilang bahwa Tanah Air Indonesia adalah sebuah bangsa yang memiliki tanah pertanian yang sangat subur, bahkan dalam sebuah lirik lagu disebutkan "tongkat dan batupun jadi tanaman" sebagai ungkapan yang menyatakan betapa suburnya tanah air tercinta ini. Tapi mengapa kini kita harus mengimpor beras dari luar negeri, dengan kata lain berarti pangan bangsa Indonesia ternyata tergantung pada orang asing, bagaimana seandainya mereka tidak mau lagi mengimpor beras ke Indonesia, bisa kelaparan dong rakyat Indonesia.
Masyarakat Indonesia kini lebih suka bekerja sebagai buruh atau menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri, yang menurut mereka penghasilannya lebih menjanjikan, walaupun sebagai TKI diluar negeri tak sedikit masyarakat Indonesia yang kembali hanya jasadnya saja, bahkan ada juga yang jasadnya pun tak kembali namun inipun tidak membuat surut masyarakat Indonesia untuk menjadi TKI keluar negeri, justru malah jumlah masyarakat yang mendaftar untuk ingin menjadi TKI keluar negeri setiap tahunnya terus saja meningkat.
Pemerintah tentunya harus segera mengambil sikap terhadap masalah ini, mengapa mata pencaharian yang dahulu menjadi primadona masyarakat Indonesia dan telah dipatenkan sebagai mata pencaharian sebahagian besar penduduk Indonesia justru kini malah semakin ditinggalkan. Menjadi petani kini menjadi suatu profesi yang sangat menakutkan bagi masyarakat Indonesia sendiri, karena petani salau identik dengan kemiskinan dan kesusahan. Hal ini sebenarnya tidak perlu terjadi andai pemerintah sejak awal memperhatikan dan mem buat kebijakan-kebijakan yang menguntungkan dan mensejahterakan para petani.
Kebijakan pemerintah untuk mengimpor beras dalam jangka panjang justru malah mensejahterakan petani-petani luar negeri sebagai negara pengimpor beras, dan malah semakin menghancurkan kesejahteraan para petani dalam negeri. Kondisi petani Indonesia saat ini seperti kata pepatah "sudah jatuh tertimpa tangga lagi". Ini adalah salah satu contoh kebijakan pemerintah yang tidak memihak kepada petani lokal, adalah kebijakan pemerintah yang mungkin menjadi salah satu faktor yang menyebabkan petani tidak menjadi pilihan mata pencaharian masyarakat Indonesia, dan seharusnya juga pemerintah sadar akan hal ini, terutama para penguasa pengambil kebijakan dinegeri ini.
Harusnya ada kebijakan dari pemerintah untuk menggalakkan kembali hasil pertanian di Indonesia, apa lagi sekarang teknologi pertanian berkembang semakin canggih, untuk membajak sawah petani tidak lagi harus menggunakan kerbau untuk menarik luku, kini sudah ada traktor yang dapat membajak sawah dengan waktu yang lebih cepat. Dan yang tidak kalah pentingnya juga adalah tentang pemanfaatan teknologi hasil pertanian hingga pemasaran produk hasil pertanian, sehingga tidak ada lagi petani lokal yang merugi karena produk hasil pertanian mereka tidak dapat beredar dipasaran akibat kebijakan impor yang lebih tidak memihak kepetani lokal.
Lahan Pertanian
Lahan pertanian semakin lama juga semakin berkurang, lahan pertanian dan persawahan sudah banyak yang berubah fungsi menjadi lahan perumahan, kawasan pabrik industri dan lain sebagainya. Bayangkan saja hampir setiap tahunnya disetiap kabupaten lahan pertanian yang berkurang hampir rata-rata mencapai 5000 hektar, ironinya lagi lahan pertanian tersebut masih dianggap sebagai lahan pertanian yang masih produktif. Bayangkan saja jika setiap tahun pengurangan lahan pertanian terus terjadi maka Indonesia akan kekuarangan lahan pertanian yang berarti kita akan terancam krisis bahan pangan.
Seharusnya pemerintah segera mengambil tindakan akan hal ini, baik itu pusat maupun di daerah. Pemberian Izin Mendirikan Bangunan seharusnya lebih ketat dilakukan. Pemerintah mesti lebih selektif lagi dalam menerbitkan izin untuk lahan pertanian yang akan dialihfungsikan menjadi lahan perumahan ataupun yang lainnya. Hal ini dimaksudkan agar lahan pertanian yang masih produktif masi bisa terus terjaga dan diproduktifkan.
Disisi lain perkembangan jumlah penduduk yang melaju kian pesat juga dianggap sebagai salah satu faktor yang menyebabkan maraknya pengembangan lahan perumahan yang memicu terjadinya alihfungsi lahan pertanian. Tidak dapat kita pungkiri bahwa kebutuhan akan perumahan sebagai tempat hunian keluarga setiap harinya semakin meningkat seiring dengan perkembangan jumlah penduduk yang terus bertambah. Namun hal ini tentunya tidak serta merta harus mengalihfungsikan lahan pertanian menjadi perumahan.
Disinilah dituntut kejelian pemerintah dalam mengambil tindakan akan hal ini, harus ada alternatif lain yang dapat dijadikan acuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan rumah tinggal yang layak. Pengembangan rumah susun misalnya, hal ini dianggap sebagai salah satu cara untuk mengurangi pemakaian lahan pertanian yang berlebihan. Dinegara-negara maju yang penduduknya banyak seperti China juga telah mengembangkan rumah susun sebagai hunian tempat tinggal keluarga yang layak. Apalagi baru-baru ini anggota DPR kita telah melakukan kunjungan kerja ke Rusia untuk studi banding tentang Rumah Susun, yang tentunya telah menghabiskan anggaran yang tidak sedikit, untuk itu rakyat kinipun menunggu hasilnya.
Program Mensejahterakan Petani
Program pemerintah untuk mensejahterakan petani nampaknya masih menjadi mimpi dan harapan bagi para petani diseluruh Indonesia yang hingga kini mimpi dan harapan tersebut belum juga terwujud, ironinya pemerintah justru malah mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang terkesan merugikan para petani loka. Impor beras adalah merupakan kebijakan yang dianggap paling menyengsarakan para petani Indonesia, belum lagi impor komoditi pertanian lainnya.
Tidak hanya mengeluarkan kebijakan mengimpor beras, pemerintah juga mengeluarkan kebijakan untuk mengimpor garam, yang juga telah banyak dikeluhkan oleh para petani garam Indonesia. Kebijakan ini juga sempat mendapat penolakan dari komponen-komponen petani garam termasuk dari Kementrian Kelautan dan Perikanan, bahkan pihak Menteri Kelautan dan Perikanan sempat menyegel beberapa gudang peyimpanan garam impor, dan hal ini berujung dengan dicopotnya Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad melalui resafel Kabinet Bersatu Jilid II oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Lagi-lagi pemerintah mengeluarkan kebijakan yang menyengsarakan petani, bayangkan saja hingga saat ini PT. Cheetham Garam Indonesia Perusahaan Modal Asing (PMA) asal Australia sebagai salah satu perusahaan importir garam di Indonesia, dan telah memiliki izin importir telah mengimpor garam lebih dari 25.000 ton. Pemerintah seharusnya lebih bisa membina para petani garam Indonesia agar bisa menyuplai berbagai jenis garam yang dibutuhkan oleh masyarakat, baik untuk konsumsi maupun untuk industri
Sebenarnya Indonesia bisa untuk tidak mengimpor beras, asalkan pemerintah benar-benar memberi kebijakan yang mendukung para petani untuk bisa berbuat lebih banyak, dan selektif dalam mengalihfungsikan lahan pertanian yang masih produktif. Dengan kata lain pemerintah harus bisa lebih menghidupkan sektor pertanian.
Penulis adalah Ketua Forum Bina Remaja Mandiri (FBRM). Email: saputrasukses@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar