"Gerakan itu untuk membangkitkan
kembali kesadaran masyarakat guna kembali pada pangan lokal yang menjadi
identitas bangsa," kata Humas MITI Pusat Mu'arif di Bogor, Jawa Barat.
Kampanye tersebut, juga dalam rangka memperingati Hari Kebangkitan Nasional pada tanggal 20 Mei 2013.
Ia menjelaskan, kampanye hari ini merupakan puncak acara dari serangkaian kegiatan yang telah dilaksanakan sejak Januari 2013, yaitu survei perilaku konsumen restoran waralaba asing dan lokal, lomba fotografi bertema "Membangkitkan Kebanggaan Terhadap Pangan Lokal", serta lomba penulisan opini.
Menurut dia, kampanye damai yang berlangsung serempak di empat kota besar, yakni Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Yogyakarta itu diikuti oleh lebih dari 200 peserta.
Selain kampanye lapangan itu, kata Mu’arif, pada hari Senin (20/5) akan ada kampanye secara masif melalui media sosial, seperti "Twitter" @gopanganlokal, dan "Facebook" gopanganlokal.
Dikemukakannya, hasil survei MITI terhadap 500 konsumen di empat kota besar di Indonesia, yaitu Bandung, Surabaya, Jakarta, dan Yogyakarta, menunjukkan pola perilaku konsumsi masyarakat Indonesia yang lebih memilih panganan asing ketimbang lokal.
"Kondisi itu membuat kami tergerak untuk melakukan pencerdasan masyarakat untuk kembali kepada identitas lokal dan nasional," katanya menegaskan.
Perubahan pola perilaku itu, kata Mu’arif, menyebabkan maraknya impor mulai dari buah, sayur hingga makanan kemasan serta ketergantungan yang tinggi pada beras.
Sebagai contoh, kata dia, berdasarkan data Organisasi Pangan PBB (FAO) pada tahun 2011/ 2012, impor untuk beras mencapai 2,9 juta ton, sedangkan gandum 5,73 juta ton.
"Akibatnya membuat Indonesia belum mampu mencapai kedaulatan pangan," katanya.
Mu’arif mengatakan, konsep kedaulatan pangan berarti mengembalikan hak atas pangan kepada masyarakat sesuai dengan potensi lokal yang dimiliki. Dengan demikian, masyarakat akan mampu memenuhi sendiri kebutuhan pangannya, mandiri, dan tidak bergantung pada pasokan wilayah lain.
"Membudayakan kembali pangan lokal bukan hanya akan menghilangkan ketergantungan pada salah satu makanan pokok saja, melainkan juga menambah asupan gizi yang lebih beragam," katanya.
Selain itu, juga meningkatkan kesejahteraan petani serta membangkitkan perekonomian para pelaku usaha pangan nasional dan menghemat pengeluaran negara untuk impor. Di samping itu, dengan kembali mengonsumsi pangan lokal, bangsa Indonesia tidak akan kehilangan budayanya.
Gerakan tersebut, lanjut Mu’arif, bertujuan membangkitkan kesadaran masyarakat untuk bangga pada pangan lokal dan mulai beralih kepada pangan lokal keseharian. "Keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat dapat menjadi motor penggerak dalam gerakan ini melalui pembiasaan menu makanan sehari-hari yang beragam," katanya.
Menurut Muarif, gerakan itu bisa dimulai dari keluarga saat ini dan mulai dari hal yang paling kecil. MITI adalah sebuah LSM yang didirikan sejak 2004 beranggotakan 300 doktor dari berbagai belahan dunia. Pendiri dan pembina MITI adalah mantan Menristek Suharna Surapranata.(ant)
Kampanye tersebut, juga dalam rangka memperingati Hari Kebangkitan Nasional pada tanggal 20 Mei 2013.
Ia menjelaskan, kampanye hari ini merupakan puncak acara dari serangkaian kegiatan yang telah dilaksanakan sejak Januari 2013, yaitu survei perilaku konsumen restoran waralaba asing dan lokal, lomba fotografi bertema "Membangkitkan Kebanggaan Terhadap Pangan Lokal", serta lomba penulisan opini.
Menurut dia, kampanye damai yang berlangsung serempak di empat kota besar, yakni Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Yogyakarta itu diikuti oleh lebih dari 200 peserta.
Selain kampanye lapangan itu, kata Mu’arif, pada hari Senin (20/5) akan ada kampanye secara masif melalui media sosial, seperti "Twitter" @gopanganlokal, dan "Facebook" gopanganlokal.
Dikemukakannya, hasil survei MITI terhadap 500 konsumen di empat kota besar di Indonesia, yaitu Bandung, Surabaya, Jakarta, dan Yogyakarta, menunjukkan pola perilaku konsumsi masyarakat Indonesia yang lebih memilih panganan asing ketimbang lokal.
"Kondisi itu membuat kami tergerak untuk melakukan pencerdasan masyarakat untuk kembali kepada identitas lokal dan nasional," katanya menegaskan.
Perubahan pola perilaku itu, kata Mu’arif, menyebabkan maraknya impor mulai dari buah, sayur hingga makanan kemasan serta ketergantungan yang tinggi pada beras.
Sebagai contoh, kata dia, berdasarkan data Organisasi Pangan PBB (FAO) pada tahun 2011/ 2012, impor untuk beras mencapai 2,9 juta ton, sedangkan gandum 5,73 juta ton.
"Akibatnya membuat Indonesia belum mampu mencapai kedaulatan pangan," katanya.
Mu’arif mengatakan, konsep kedaulatan pangan berarti mengembalikan hak atas pangan kepada masyarakat sesuai dengan potensi lokal yang dimiliki. Dengan demikian, masyarakat akan mampu memenuhi sendiri kebutuhan pangannya, mandiri, dan tidak bergantung pada pasokan wilayah lain.
"Membudayakan kembali pangan lokal bukan hanya akan menghilangkan ketergantungan pada salah satu makanan pokok saja, melainkan juga menambah asupan gizi yang lebih beragam," katanya.
Selain itu, juga meningkatkan kesejahteraan petani serta membangkitkan perekonomian para pelaku usaha pangan nasional dan menghemat pengeluaran negara untuk impor. Di samping itu, dengan kembali mengonsumsi pangan lokal, bangsa Indonesia tidak akan kehilangan budayanya.
Gerakan tersebut, lanjut Mu’arif, bertujuan membangkitkan kesadaran masyarakat untuk bangga pada pangan lokal dan mulai beralih kepada pangan lokal keseharian. "Keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat dapat menjadi motor penggerak dalam gerakan ini melalui pembiasaan menu makanan sehari-hari yang beragam," katanya.
Menurut Muarif, gerakan itu bisa dimulai dari keluarga saat ini dan mulai dari hal yang paling kecil. MITI adalah sebuah LSM yang didirikan sejak 2004 beranggotakan 300 doktor dari berbagai belahan dunia. Pendiri dan pembina MITI adalah mantan Menristek Suharna Surapranata.(ant)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar