Medan. Kopi merupakan salah satu komoditas perkebunan yang banyak dibudidayakan
masyarakat, khususnya di Desa Matiti 1, Kecamatan Dolok Sanggul,
Kabupaten Humbang Hasundutan. Dari kopi, seorang petani mampu
menyekolahkan anaknya hingga sarjana. Begitupun, petani kopi kerap
diombang-ambingkan harga pasar yang turun secara tiba-tiba.
"Di sini (Dolok Sanggul-red) sebagian
besar masyarakat punya kebun kopi," kata Limhok Simanulang ketika
ditemui di ladang kopinya seluas setu hektare
Dikatakan Limhok, tanaman kopi di Desa Matiti yang umumnya
berusia 5 - 15 tahun yang lalu ditanam di sekitar lahan bercampur dengan
tanaman lain seperti kemenyan. Menurutnya, bertanam kopi bisa menjadi
sumber pendapatan selain dari kemenyan.
Bahkan, kopi merupakan
sumber mata pencaharian masyarakat yang tidak bisa dianggap sepele.
Limhok mencontohkan, dari bertanam kopi dirinya bisa menyekolahkan
anaknya hingga sarjana dari salah satu perguruan tinggi di Pematang
Siantar.
Namun demikian yang menjadi kendala saat ini adalah
harga jual kopi di tingkat petani yang kerapkali mengalami penurunan.
Bahkan, kebanyakan masyarakat tidak mengetahui alasan penurunan harga
jual kopi. "Kita tidak tahu alasannya kenapa harganya turun terus. Yang
jelas, kami tak bisa menolak harga berapapun yang dipatok sama
pengumpul," katanya.
Saat ini, kata dia, harga kopi di tingkat
petani sebesar Rp 16.000 per kilogram. Harga tersebut cukup rendah
dibanding harga setahun lalu yang mencapai Rp 30.000 per kilogram.
(dewaantoro)
Ia
menilai, dengan harga Rp 16.000, petani kopi hanya mendapatkan
keuntungan kecil. Padahal, untuk bisa memanen membutuhkan waktu 5 bulan
dari bakal buah. Selain itu, hama penggerek batang juga menyulitkan
petani lantaran serangannya bisa membuat bakal buah dan rantungnya
berwarna hitam dan kemudian mengering. "Perawatan kita sederhana saja,
jadi produksi juga tidak begitu besar," katanya.
, Kamis
(2/5).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar