Belum lama ini, China menolak buah
manggis dan salak dari Indonesia karena diduga mengandung logam berat.
Meski sejumlah kalangan menilai penolakan itu mengandung unsur politis,
namun penolakan itu tetap harus menjadi cambuk bagi pemerintah khususnya
petani untuk intropeksi diri terutama dalam menghasilkan produk-produk
pertanian yang tidak mengandung residu pestisida maupun logam berat.
Tidak hanya itu, pengusuha juga harus melakukan pemeriksaan ke
laboratorium untuk lebih memastikan apakah produk tersebut mengandung
residu pestisida berbahaya atau tidak sebelum dipasarkan.
“Sebaiknya memang begitu. Pengusaha
ataupun eksportir harus memeriksakan produk pertanian apakah itu pangan
ataupun hortikultura untuk memastikan bahwa produk tersebut benar-benar
tidak mengandung residu pestisida berbahaya bagi kesehatan sebelum
dipasarkan terutama ke luar negeri.Sehingga tidak ada lagi pasar yang menolak produk pertanian asal Indonesia,” ucap Kepala Dinas Pertanian Sumatera Utara (Sumut) M Roem melalui Kepala Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura (BPTPH) Sumut Bahruddin Siregar, Jumat pekan lalu di Medan.
Menurut Bahruddin, pengujian laboratorium untuk produk-produk pertanian yang akan dipasarkan penting dilakukan terutama dalam menghadapi era perdagangan bebas nanti.
Karena hanya laboratoriumlah yang mampu menyediakan data mutu dan residu pestisida apakah suatu produk hasil pertanian aman atau tidak untuk dikonsumsi.
Apalagi isu keamanan pangan sudah merupakan isu Nasional dan Internasional. Ini disebabkan kesadaran konsumen akan keamanan pangan meningkat.
Makin ketatnya persyaratan keamanan pangan berakibat pada meningkatnya tuntutan terhadap mutu pangan (kualitas produk), terjadinya hambatan perdagangan hasil pertanian terutama dalam ekspor.
Keberadaan laboratorium kata dia, sangat dibutuhkan baik perusahaan swasta khususnya pestisida dan hasil pertanian maupun pemerintah dalam rangka membantu melaksanakan pengujian baik pengujian mutu pestisida maupun produk tanaman.
“Harganya tidak mahal, berkisar Rp 500.000 per sampel. Itu juga pemeriksaannya di Laboratorium Pengujian Mutu dan Residu Pestisida BPTPH Sumut.
Daripada direekspor atau dipulangkan kembali ke negara asal, kan jauh lebih rugi. Biaya transportasi saja sudah berapa? Belum lagi barang yang dipulangkan kualitasnya akan menurun selama diperjalanan,” terangnya.
Biaya tersebut jauh lebih murah dibanding laboratorium yang terakreditasi yang ada di Medan.
“Laboratorium Pengujian Mutu dan Residu Pestisida BPTPH Sumut juga sudah terakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN) sejak tahun 2007 lalu dan secara berkala sekali empat tahun dilakukan reakreditasi,” aku Bahruddin.
Bahkan, Laboratorium Pengujian Mutu dan Residu Pestisida BPTPH Sumut merupakan satu-satunya di Sumatera Utara untuk pengujian tanaman pangan dan hortikultura.
“Sekali lagi kami menyarankan bagi pengusaha yang melakukan kegiatan ekspor impor terutama produk pertanian agar melakukan pemeriksaan kandungan kimia berbahaya yang kemungkinan ada di produk tersebut sebelum dipasarkan,” katanya mengimbau.
Umumnya lanjut dia, untuk pestisida yang diuji adalah mutu dari formulasi pestisida atau kandungan bahan aktif dan sifat fisiko kimia seperti pH, dan bobot jenis. Sedangkan untuk sayur mayur, buah-buahan dan pangan yang diuji adalah residu pestisida.
“Biasanya pengujian residu pestisida pada hasil pertanian dari golongan organochlor, organophosphate, pyretroid dan karbamat,” jelasnya. (MB)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar